Selasa, April 23, 2024

Mengingat Mantan

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman

sbyPresiden ke-6 Indonesia yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, didampingi Ani Yudhoyono, bersalaman dengan Bupati Jepara Ahmad Marzuki (kanan) di Jepara, Jawa Tengah (15/3). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho.

Presiden Republik Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, belakangan disebut mantan untuk satu alasan yang tak keliru. Ia tiba-tiba datang kembali dalam kehidupan kita, dan hal pertama yang kita dengar darinya adalah keluhan-keluhan senewen.

Selaiknya seorang mantan, bukan?

Ia lantas mencoba mengingatkan kita akan indahnya masa-masa bersamanya. Namun, sebagaimana kita mengingat mantan, kita mengingatnya dengan perasaan benci (meski tidak benci-benci amat), geram (tapi mungkin lebih tepat lagi gemas), serta selaku pembawa kenangan-kenangan menyebalkan.

Kendati memberikan pekerjaan rumah yang memusingkan untuk humas yang dimandati menambal citranya nanti, kita bisa memahami hasrat menggebu-gebu SBY untuk membandingkan masanya dengan pemerintahan sekarang. Gambarannya: siapakah mantan yang senang melihat mantannya bahagia dengan kekasih baru?

Tetapi—perkenankan kini saya agak serius—pergolakan politik Indonesia sendiri pada dasarnya tak pernah lepas dari drama masyarakat dengan mantan-mantannya. Intrik-intrik pemilu selalu dirangsang oleh perbandingan dengan mantan. Saya bahkan sulit mengingat kapan terakhir kali bayang-bayang mantan tak punya andil dalam sejarah politik negeri ini.
Sebut saja mudahnya pada masa-masa kita masih menjalani hubungan bersama SBY sendiri.

Publik pada masa itu tengah gandrung-gandrungnya bernostalgia tentang satu mantan yang tak mungkin kembali lagi. Mantan yang kita bayangkan akan menggoda kita apabila ia melihat kita yang masygul, gundah gulana, ragu dengan hubungan yang ada. “Piye kabare? Enak jamanku toh?” begitu katanya.

Kalau Anda ingat, harga kebutuhan seakan tak pernah berhenti terkerek naik pada saat itu. Mengatur pejabat sama ruwetnya dengan mengatur harga. Partai-partai penguasa terungkap terlibat korupsi spektakuler. Berbondong-bondong berita bentrok, kejahatan, serta kelompok-kelompok masyarakat main hakim sendiri kian memperkeruh rasa aman.

Dalam kemelut batin tersebut, rasa yang pernah ada pun kembali merekah. Wajar. Perasaan bahwa seorang mantan yang pernah mengatur Indonesia dengan tangan besinya mampu lebih memberikan keamanan menjelma menjadi kerinduan buta. Dan fakta-fakta sejarah yang seharusnya tak sesulit itu diingat pun raib entah ke mana.

Kita mestinya bisa mengulas bagaimana dulu sang mantan—Suharto, sebut saja namanya—mempersilakan anak-anak dan handai taulannya mengacak-acak rumah kita. Di sisi lain, di bawah kecaman rezim, kita hanya dapat bergeming—memelototi dengan penuh siksaan tindak-tanduk mereka nan semena-mena.

Berbagai komoditas tanam dimonopoli hingga para petani membakar tanamannya sendiri. Dana-dana berbagai proyek negara ludes secara terang-terangan di depan mata. Belum lagi penyerobotan hak-hak hidup masyarakat, tanah sebutlah, secara telanjang maupun pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya.

Dan hal ini baru sangat sedikit di antara litani kelaliman sang mantan. Tetapi, orang-orang telanjur dikuasai kerinduan yang tak masuk akal; termasuk merindukan yang satu ini: tindakan sadis rezim sang mantan menghabisi para kriminal dan meninggalkan mayatnya di tengah jalan. Menurut beberapa suara dari masyarakat, hanya dengan cara demikian masyarakat dapat ditertibkan dan rakyat hidup tenang.

Para politisi, kelompok manusia paling sigap menangkap kesempatan, lantas berusaha mengeksploitasi kerinduan ini dan mengecer citra sang mantan yang entah tegas entah diktator. Dalam Pemilu 2014, sebagian tak berhasil. Sebagian terpilih. Dan satu orang, yang kebetulan bukan hanya menyerupainya tapi juga pernah terjalin kekerabatan dengannya, menjadi kompetitor paling berat presiden kita saat ini.

Dan tentu saja kita tak seyogianya lupa, presiden saat ini pun terpilih karena citra mantan yang lain. Anda seharusnya masih ingat, waktu itu ia dianggap merakyat, mau bekerja, dan langsung bertindak. Berbeda dengan sang mantan yang dianggap sedikit-sedikit menghilang, sedikit-sedikit mengeluh, sedikit-sedikit pencitraan.

Dan mari layangkan pandangan sedikit lebih jauh ke belakang. Selepas sang mantan yang memimpin secara otoriter lengser, siapakah sosok yang kontan melejit kepopulerannya? Putri mantan pertama kita.

Megawati, sosok tersebut, bukan orator yang ulung. Orang-orang sejak awal sulit menjumpainya menyampaikan pemikiran maupun ide yang bernas. Tetapi, ia memiliki darah sang mantan pertama sekaligus mungkin yang terindah. Siapa lagi sosok lain yang akan pernah diingat sebagai proklamator dan dari mulutnya Indonesia dinyatakan telah merdeka?

Tulisan ini bisa mengajak Anda menilai lebih jauh lagi. Saya tak yakin kita akan menemukan kapan masyarakat Indonesia absen memikirkan mantannya. Namun, saya harap intinya sudah tersampaikan dan sebuah teori politik terbuktikan: bayang-bayang mantan selalu hadir di sini.

Donald Trump sendiri dapat melenggang secara mengherankan tak lepas berkat nostalgia semacam. Mulutnya yang sembarangan rupanya berhasil mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang mampu mengembalikan Amerika ke masa-masa jayanya—saat ia masih dipimpin oleh para hawkish yang tak sungkan menginvasi dan tak ada negara lain yang berani macam-macam. Buktinya, beberapa tahun setelah kepresidenannya berakhir dengan reputasi kurang terhormat, popularitas George W. Bush kembali terkerek. Amerika merindukannya. Dan kini mereka memiliki calon yang lebih menjanjikan: Trump.

Hanya saja, naas bagi SBY, ingatan masyarakat kita masih cukup tajam untuk mengenang waktu-waktu mengesalkan bersamanya. Alih-alih dirindukan, hal sebaliknya pun terjadi.

Namun, mengingat selama ini kita terbius nostalgia dalam mengingat mantan, nampaknya kita perlu lebih sering melakukan hal serupa. Ada baiknya kita mulai mengingat mereka dari perbuatan yang benar pernah dilakukannya terlebih dahulu. Barangkali—barangkali saja—dengan demikian, kita dapat memilih lebih baik.

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.