Senin, November 4, 2024

Menghilang ke Mana Kritisisme Jokowi dan Kita atas Pertamina?

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
- Advertisement -

Ramah pada Pertamina

Sungguh menarik melihat bagaimana pemberitaan tentang tumpahan minyak berkembang.  Sudah lebih dari satu bulan sejak hari pertama tumpahan minyak terjadi pada 12 Juli 2019, dan hanya di hari-hari pertama saja berita tampak didominasi oleh kejadian. Dampak dari kejadian digambarkan secara selintas, kebanyakan hanya terkait dengan panjang atau luas tumpahan plus lokasinya.

Pertamina sendiri mengakui bahwa pada awalnya mereka memperkirakan 3.000-an barel tumpah per harinya, lalu meralat dengan menyatakan bahwa tumpahan volumenya ‘hanyalah’ 400-500 barel per hari. Akibatnya, 234 hektare terumbu karang di perairan Karawang terindikasi terdampak. Selain itu, 12 desa di Karawang dan Bekasi, serta 7 pulau di Kepulauan Seribu sudah dinyatakan oleh Karliansyah, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK.

Pernyataan-pernyataan dari pimpinan daerah yang wilayahnya tercemar, yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta, terutama terkait dengan dampak atas nelayan. “Soal kompensasi (ganti rugi) sudah disepakati satu pintu. Jadi nanti pembayaran dikoordinir oleh pimpinan yang sudah disepakati. Target dalam 10 hari ini jangan sampai mereka tidak ada penghasilan sama sekali,” kata Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, pada 7 Agustus 2019.

Pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dua hari kemudian terdengar lebih ringan. “Banyak ikan dalam keramba yang mati, kemudian juga kawasan tempat mereka (nelayan) biasa melaut itu terganggu.” Kedua pernyataan itu dikutip oleh Kompas.com.

Lebih jauh, kedua kepala daerah tersebut secara terbuka menyatakan apresiasinya kepada Pertamina. Dikutip oleh Kumparan, pada 9 Agustus 2019, Anies menyatakan, “Penanganan di tepi pantai enggak lagi dikelola petugas pantai yang enggak punya pengalaman mengelola oil spill seperti ini dan berjalan baik, saya tahu persis tim dari mereka bekerja cukup cepat.

Dalam berita lainnya, dikutip oleh Kompas.com, Ridwan Kamil mengatakan, “Siapa yang mengerjakan untuk mengatasi masalah ini. Kita harus apresiasi Pertamina karena Pertamina mengerjakan orang Amerika. Jadi mereka menyewa engineer dari Amerika untuk mengatasi masalah di sini, dan itu bayarannya mahal!

Pemerintah Pusat juga segendang sepenarian. Detik.com pada 5 Agustus 2019 menampilkan berita bertajuk Soal Tumpahan Minyak Pertamina, Menteri LHK Pikir-pikir Beri Sanksi. Di situ, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyatakan bahwa kementeriannya memantau secara lekat dari awal kejadian, bekerjasama dengan Kementerian ESDM. Berita kemudian juga mengulas soal upaya Pertamina mengelola tumpahan minyak itu.

Seminggu kemudian, Karliansyah dikutip oleh BBC Indonesia menyatakan bahwa tumpahan minyak di pantai sudah ditangani dengan baik oleh Pertamina, seraya mengharapkan agar Pertamina bisa menyelesaikan persoalan ini pada akhir Agustus 2019. Pertamina sendiri menyatakan ekspektasi yang lebih lama, yaitu pada akhir September 2019.

Tuntutan Masyarakat Sipil vs Komunikasi Pertamina

Tidak adakah yang bersikap kritis atas situasi ini? Tentu masih ada. Beberapa media massa menuliskan bahwa Merah Johansyah dari JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) mendesak Pertamina untuk lebih terbuka kepada publik tentang penyebab dari tumpahan minyak. Dia menyatakan adanya indikasi penutupan informas.  Keterbukaan yang seharusnya, menurut Johansyah, adalah dengan menampilkan kamera pengawas anjungan mulai beberapa hari sebelum kejadian. Dari situ akan bisa diketahui apakah ada kelalaian atau pelanggaran standar operasional prosedur (SOP).

JATAM adalah salah satu dari empat organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (Kormas) dalam kasus ini. Setelah mengamati perkembangan kasus selama hampir satu bulan, pada 7 Agustus 2019, JATAM bersama Greenpeace Indonesia, WALHI, dan KIARA menyerukan hal tersebut. Mereka, dalam siaran persnya, telah melayangkan permohonan informasi publik kepada Pertamina terkait penyebab utama dan kronologis rinci operasi yang memicu tumpahan minyak, sesuai mekanisme yang tertera dalam Pasal 22 UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

- Advertisement -

Kormas mendesak agar dalam jangka waktu selambatnya sepuluh hari kerja, Pertamina dapat memberikan seluruh informasi yang mereka mohonkan itu.

Publik masih harus menunggu beberapa hari ke depan untuk mengetahui apakah seluruh informasi yang diminta oleh Kormas itu bakal dipenuhi. Kormas pasti akan mengadakan konferensi pers lagi apabila waktu yang telah diberikan itu sudah terlewati. Tetapi, di berbagai media sosial dan aplikasi pesan, publik telah mendapati materi paparan Pertamina yang berjudul Responsible & Capable: Penanganan Intensif Peristiwa di Anjungan YY Pengeboran Sumur YYA-1. Dari situ, ada banyak informasi yang bisa diperoleh publik, walau tentu saja sifatnya sepihak.

Bagian ringkasan peristiwa di dalam dokumen tertanggal 5 Agustus 2019 dan setebal 24 halaman itu menjelaskan tentang awal kejadian di pukul 01.30 WIB tanggal 12 Juli hingga 18 Juli ketika tumpahan minyak telah mencapai pantai arah barat, atau sejauh 2 km dari anjungan tempat kejadian.

Sesungguhnya sangatlah aneh membuat ringkasan yang berakhir pada tanggal tersebut, mengingat tanggal penyampaiannya adalah lebih dari dua minggu kemudian. Lantaran demikian, siapa pun yang membaca dokumen itu tak akan mendapatkan kejelasan kapan tindakan-tindakan yang dipaparkan di sepanjang dokumen itu terjadi.

Dokumen itu menjelaskan bagaimana Pertamina melakukan penanganan tumpahan minyak di lepas pantai (dalam 4 slide) dan di pesisir pantai (dalam 13 slide). Dengan mengomunikasikan dirinya dalam Pertamina Sigap, Pertamina seakan memberikan jaminan kepada publik bahwa mereka akan bisa melakukan penanganan dengan memuaskan.  Gambar-gambar yang dipilih untuk merepresentasikan dirinya sangatlah menarik.  Aktivitas penanganan di pesisir pantai, perbandingan antara kondisi sebelum versus sesudah penanganan, kerjasama dengan TNI dan Polri, koordinasi dengan pemangku kepentingan di pusat dan daerah, plus aktivitas posko kesehatan.

Jelas, itu semua bukanlah keterbukaan informasi sebagaimana diinginkan oleh kelompok masyarakat sipil. Namun, paket informasi itu menjelaskan mengapa upaya Pertamina yang terkesan responsible dan capable sangat dominan mewarnai media massa cetak maupun daring.  Sementara itu, sesungguhnya kondisi masih jauh dari selesai dengan memuaskan.

Selain penghentian semburan yang targetnya masih di penghujung September—yang artinya, kalau data dari Pertamina itu reliabel, masih ada kemungkinan sekitar 500 barel tumpah per harinya hingga enam minggu ke depan—sementara tahap pemulihan, pascapemulihan, dan rutinnya masih lebih lama.

Menjaga Sikap Kritis

Menurut dokumen Pertamina itu, tahap penanggulangan akan dilaksanakan pada Juli-Agustus. Tetapi, dengan pernyataan bahwa semburan baru akan selesai sebulan kemudian, tidakkah ini berarti tahapan tersebut molor? Banyak masyarakat awam yang berpikir bahwa dengan membersihkan minyak di pesisir, maka pekerjaan pemulihan telah selesai.  Sesungguhnya masih banyak pekerjaan pemulihan yang harus dilakukan.

Kalau Pertamina benar-benar menggunakan standar tanggung jawab sosial perusahaan yang betul, bukan sekadar menggunakan kata responsible tanpa maknanya yang tepat, dalam kasus ini mereka harus melakukan restorasi habitat, sebagaimana yang dinyatakan dalam ISO 26000 International Guidance on Social Responsibility untuk Subjek Inti 4. Restorasi artinya adalah mengembalikan ke kondisi semula, sehingga mustahil dapat diselesaikan dalam jangka pendek berbilang bulan saja.

Publik sangat sulit untuk mendapatkan pengetahuan soal apa yang sebenarnya terjadi di operasi Pertamina tersebut. Kormas telah memanfaatkan instrumen hukum yang tepat untuk memastikan pengetahuan publik yang komprehensif. Namun, hal itu tentu saja jauh dari memadai. Publik tak disuguhi kabar yang berimbang lantaran media massa malah sibuk menjadi corong Pertamina, bukan menjadi mata dan telinga kepentingan publik.

Hal tersebut mungkin saja tak disengaja oleh media massa. Pertamina yang proaktif memberikan informasi dari sisinya memang menyediakan bahan reportase yang bernilai berita. Namun, tidakkah media massa seharusnya mengambil posisi yang lebih kritis?

Dalam kasus tumpahan minyak di Teluk Meksiko, atau kasus bencana lingkungan di mana pun, publik disuguhi berita-berita tentang dampak lingkungan dan sosialnya. Alih-alih mengambil sudut pandang yang ramah pada perusahaan, dalam setiap kasus pencemaran oleh perusahaan, media massa seharusnya mewakili kesengsaraan publik dan Ibu Pertiwi.

Menganalisa kasus tumpahan minyak di Teluk Meksiko dengan menggunakan pendekatan semiotika visual, George Kassinis dan Alexia Panayiotou menyimpulkan dalam Visuality of Greenwashing (2018) bahwa jelas terdapat jurang pemisah antara logic of representation dan logic of practice yang ditunjukkan oleh British Petroleum (BP). Gambaran visual yang dikurasi dengan hati-hati oleh BP memang mau menunjukkan citra tertentu yang berbeda dengan praktik dan kinerja yang mereka tunjukkan. Salah satu tujuan terpentingnya adalah untuk memulihkan citra perusahaan pasca-bencana.

Mengembalikan Marwah Media Massa

Belajar dari pengalaman tersebut, media massa seharusnya tidak sekadar menari dalam kendang yang ditabuh Pertamina. Publik juga seharusnya bertanya-tanya karena media massa sangat sedikit mengungkap soal dampak.

Berapa jiwa nelayan dan keluarganya yang terdampak? Berapa jiwa dan keluarga yang selama ini menggantungkan diri dari pariwisata kemudian kehilangan pendapatan? Bagaimana pendapatan dan kehidupan mereka terdampak? Apakah strategi bertahan hidup yang mereka manfaatkan selama ini relatif berhasil ataukah ada kelompok-kelompok tertentu yang kesejahteraannya benar-benar runtuh? Berapa lama lagi mereka bisa bertahan?

Apa yang terjadi pada pantai-pantai yang terkena tumpahan minyak? Apa dampak yang dapat terjadi pada terumbu karang yang diselubungi minyak itu? Apa yang terjadi pada berbagai spesies yang hidup di lepas pantai dan pesisir yang terkena tumpahan minyak?  Di mana saja dampak lingkungan itu teridentifikasi? Adakah perkiraan nilai total kerugian ekonomi dalam jangka panjang yang telah dihitung oleh para ahli? Rasanya media massa sangat sepi dari pemberitaan ini.

Salah satu kritisisme yang juga penting dimunculkan oleh media massa adalah kepada para pejabat pemerintah, dengan membandingkan sikap yang mereka telah tunjukkan versus apa yang seharusnya ditunjukkan. Apakah pantas seorang menteri atau gubernur tidak mengungkapkan kekecewaan atau bahkan kemarahan atas peristiwa seperti ini? Tidakkah ganjil bila mereka tidak memberikan sikap yang tegas, termasuk dalam soal meminta jaminan biaya pemulihan—dalam pengertian restorasi habitat—kepada Pertamina?

Tidakkah media massa tergerak untuk membandingkan sikap Presiden Indonesia dengan sikap Presiden AS, Barack Obama, ketika tumpahan minyak terjadi di Teluk Meksiko? Atau, membandingkan sikap Presiden Jokowi dalam kasus ini versus sikapnya pada kasus PLN tempo hari?

Apakah PLN memang lebih mengecewakan daripada Pertamina hingga Jokowi memerlukan diri untuk langsung melurug kantor pusatnya, sementara publik belum mendengar komentar Jokowi soal tumpahan minyak? ELSAM mendesak Jokowi untuk menerapkan prinsip pencemar membayar dan keadilan antargenerasi dalam kasus ini. Bagaimana Jokowi menanggapi desakan itu?

Media massa yang benar-benar mau mewakili kepentingan publik perlu menyiapkan diri untuk bermaraton dalam soal ini. Restorasi harus dikawal, begitu juga dengan kompensasi. Jangan sampai keadilan intra- dan antargenerasi tak terpenuhi. Lebih jauh lagi, publik perlu untuk mengetahui apakah sesungguhnya anjungan minyak lepas pantai yang lain—jumlahnya ratusan dan tersebar di banyak lokasi—telah memiliki sistem yang memadai untuk berhadap-hadapan dengan risiko yang sama.

Ketika otoritas AS memeriksa kesiapan anjungan minyak lepas pantai lainnya setelah peristiwa Teluk Meksiko, terungkap bahwa perusahaan-perusahaan lainnya juga bakal menghadapi risiko bencana yang sama bila mengalami peristiwa seperti BP. Segera setelahnya, kesiapsiagaan nasional ditingkatkan dengan perbaikan sistem yang menyeluruh untuk mencegah kondisi yang sama berulang kembali. Hal yang sama seharusnya juga dilakukan di sini oleh Kementerian ESDM. Tetapi, hal ini membutuhkan mata dan telinga publik untuk mengawalnya.

Kolom terkait

DEEPWATER: Komitmen Dangkal dan Kisah Horor di Teluk Meksiko

Pak Jokowi, Mau Dibawa ke Mana BUMN Kita?

Korupsi, Korporasi, dan Pencemaran Lingkungan

Benarkah Presiden Jokowi Pro-Lingkungan Danau Toba?

Bencana Asap dan Kejahatan Korporasi

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.