Jumat, April 26, 2024

Menghentikan Ceramah, Ngapain Sih?

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.

Ceramah Hanan Attaki dihentikan. Ceramah Felix Siaw dihalangi. Diskusi feminisme dibubarkan. Acara pemutaran film dilarang. Ada begitu banyak kasus semacam ini. Pertanyaannya, ngapain sih?

Masing-masing pihak, yang sebenarnya bukan aparat negara dan tidak berwenang menghentikan, merasa punya alasan. Kalau kita tanya, alasan mereka bisa panjang lebar. Tapi substansinya sangat sederhana: mereka tidak suka pada gagasan yang disampaikan dalam ceramah atau diskusi itu. Rasa tidak suka itu diekspresikan dengan melarangnya. “Aku tidak suka kau bicara, maka kau tak boleh bicara.”

Apakah dengan menghentikan ceramah itu gagasan tadi mati? Tidak. Gagasan tidak bisa dihentikan dengan pelarangan. Gagasan soal khilafah, misalnya, tidak berhenti menyebar hanya karena pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia. Bahkan gagasan komunis juga tidak sama sekali sirna setelah puluhan tahun dilarang.

Bagi yang dihalangi, tindakan itu justru membuat mereka yakin bahwa mereka benar. Kebenaran memang akan mengalami tantangan, karena banyak yang tidak suka pada kebenaran, pikir mereka. Mereka jadi tambah bersemangat. Setiap halangan adalah tantangan yang membuat perjuangan makin layak dilakukan.

Padahal sebenarnya juga bukan begitu. Halangan, upaya-upaya pembubaran itu tidak punya makna apa pun terkait substansi diskusi atau ceramah. Itu hanya soal manajemen pengelolaan negara yang amburadul. Di negeri ini konstitusi menegaskan bahwa setiap warga negara berhak untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat. Tapi hak itu bisa dikebiri dengan sesuka hati oleh gerombolan berisi puluhan orang saja.

Konyolnya, sering pula pembubaran itu justru dilakukan oleh polisi, atas desakan gerombolan tadi. Alasan polisi, agar jangan terjadi keributan. Polisi, yang seharusnya menjaga tegaknya konstitusi, menganjurkan agar keinginan gerombolan pelanggar konstitusi dituruti, karena tidak ingin ada keributan. Polisi tidak menindak, atau setidaknya memberi tahu dan meluruskan para pelanggar itu.

Bagi saya, apapun substansi diskusi atau ceramah, pihak yang menghalangi dan membubarkan adalah pihak yang salah. Saya tidak bisa membenarkan pembubaran, meski isi ceramah atau diskusi tidak saya setujui. Membubarkan ceramah dan diskusi adalah tindakan anarkis. Anarki tidak bisa dibenarkan, meski korbannya adalah pihak-pihak yang tidak kita sukai.

Kejadian pembubaran ini menggambarkan betapa kacaunya negeri ini dalam berbagai sisi. Pertama, masyarakat tidak tahu mana yang benar, mana yang salah. Misalnya, kalau ceramah Felix Siaw itu melanggar hukum, kenapa dibiarkan saja oleh aparat? Sebaliknya, kalau menghalangi ceramah Felix Siaw itu salah, kenapa dibiarkan juga oleh aparat? Artinya, wilayah yang memang tidak jelas, tidak diatur dengan tegas. Atau, sudah ada aturannya, tapi aparat tidak berani bertindak tegas.

Kedua, ada pihak-pihak yang bisa bertindak meski tidak berwenang. Banser, FPI, Pemuda Pancasila, atau siapa pun juga, bukanlah lembaga yang punya wewenang apapun. Mereka tidak boleh melakukan tindakan apa pun terhadap suatu acara. Bahkan terhadap sebuah acara yang dilakukan tanpa izin pun, yang boleh mereka lakukan hanyalah melaporkannya ke pihak yang berwenang.

Ketiga, membiarkan hal-hal begini terus berlanjut, sama artinya dengan membiarkan potensi konflik horizontal tumbuh berkembang. Kelompok A tidak suka pada gagasan kelompok B, dan mereka melakukan penghalangan dan intimidasi. Lain kali, kelompok B membalas. Kalau itu terus terjadi, nanti konfliknya akan berkembang jadi konflik terbuka.

Seharusnya bagaimana? Lawanlah gagasan dengan gagasan. Saya pernah melihat anak muda NU yang berani datang ke ceramah Nur Sugik. Ia bertanya Nur Sugik, dengan argumen berbasis kitab agama. Nur Sugik tidak bisa menjawab, dan mengaku tidak pernah mengaji kitab.

Kalau tidak suka dengan isi ceramah Felix Siaw atau Hanan Attaki, undanglah mereka untuk berdebat secara beradab. Atau, sebarkan gagasan pembantahnya. Sebarkan secara lebih banyak, lebih masif, lebih cerdas. Dengan cara itu masyarakat akan berpikir dan memilih sendiri mana yang menurut mereka benar.

Melarang orang menyampaikan gagasan adalah tindakan memilihkan apa yang harus didengar dan dipikirkan oleh orang lain. Lha. Siapa yang memberimu wewenang untuk melakukan itu? Tidak ada yang berwenang mengendalikan pikiran orang. Biarkan orang berpikir. Sampaikan saja informasi dan gagasan yang menurut kita benar.

Dugaan saya, pihak-pihak yang melarang atau membubarkan itu tidak sanggup beradu gagasan. Mereka bahkan mungkin tidak punya gagasan. Mereka sekadar ikut pada apa yang dikatakan oleh orang-orang. Bahkan untuk sekadar mengulangi perkataan itu mereka tak sanggup. Tapi mereka tidak sanggup juga untuk menahan gemas terhadap menyebarnya gagasan yang tidak mereka sukai. Lalu mereka berusaha menghentikannya dengan kekerasan.

Kunci masalah ini memang ada pada aparat. Aparat harus bisa menegaskan dengan tindakan, bahwa kebebasan berkumpul dan berekspresi adalah hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara. Aparat perlu lebih berkeringat untuk menegaskan hal itu. Jangan hanya mencari jalan mudah, yang penting tidak ada keributan.

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.