Jumat, Maret 29, 2024

Mengepung Papua dengan Tambang

Andre Barahamin
Andre Barahamin
Peneliti di Yayasan PUSAKA: Pusat Studi, Advokasi & Dokumentasi Hak-hak Masyarakat Adat. Juru Kampanye Forum Advokasi Penyelamat Hutan dan Tanah Rakyat.
Karyawan PT Freeport Indonesia melaksanakan upacara HUT ke-69 Kemerdekaan RI  di area tambang bawah tanah Deep MLZ, Tembagapura, Papua, Minggu (17/8). Tambang bawah tanah Deep MLZ milik PT Freeport Indonesia tersebut berkedalaman 1,4 kilometer dari permukaan tanah. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/Asf/ama/14.
Karyawan PT Freeport Indonesia melaksanakan upacara HUT ke-69 Kemerdekaan RI di area tambang bawah tanah Deep MLZ, Tembagapura, Papua, Minggu (17/8/2014). Tambang bawah tanah Deep MLZ milik PT Freeport Indonesia tersebut berkedalaman 1,4 kilometer dari permukaan tanah. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/Asf/ama/14.

Karena Freeport masih jadi sorotan nasional, ada baiknya jika kita kali ini bicara soal tambang di Papua.

Pasti banyak yang belum tahu bahwa PT Freeport Indonesia, yang wilayah jajahannya membentang seluas lebih dari 2,6 juta hektare di Kabupaten Mimika dan Kabupaten Paniai, bukan satu-satunya pemain sektor tambang di tanah Papua. Di Provinsi Papua sendiri, tercatat ada 141 perusahaan (di luar Freeport) yang sedang menjalani studi kelayakan, telah berada di tahap eksplorasi atau bahkan telah beroperasi produksi skala penuh.

Sementara itu, ada 105 perusahaan lain yang berlokasi di Provinsi Papua Barat, limabelas di antaranya telah aktif berproduksi. Selain emas dan tembaga serta nikel, batu bara adalah salah satu mineral favorit yang menjadi alasan beroperasinya perusahaan-perusahaan tersebut.

Menurut data yang dikumpulkan oleh Yayasan PUSAKA, total luas tanah ulayat orang asli Papua yang dirampas untuk pertambangan berjumlah 9.110.793 hektare. Pembagiannya, ada 5.932.071 hektare di Provinsi Papua dan 3.178.722 hektare sisanya di Provinsi Papua Barat.

Angka yang fantastis.

Sekarang kita masuk ke pembicaraan yang kedua. Apakah luasan lahan yang diberikan oleh negara kepada perusahaan-perusahaan tambang tersebut telah melalui mekanisme yang adil bagi orang asli Papua? Apakah hak-hak ulayat komunitas-komunitas adat tidak dilanggar ketika negara menyerahkan hutan dan bentang pegunungan untuk dikeruk perusahaan tambang?

Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengurutkan beberapa pertanyaan mendasar sebagai indikator awal.

Pertama, apakah komunitas-komunitas orang asli Papua turut diundang dan ditanyakan serta diberikan hak penuh untuk memutuskan mengenai pengelolaan sumber daya tersebut atau tidak. Menjawab hal tersebut dapat menggiring kita untuk memahami apakah orang asli Papua memang bersepakat dengan cara pandang elite nasional yang lebih memilih berdirinya perusahaan-perusahaan tambang pengeruk perut bumi lalu kemudian membiarkan hutan sagu dan sungai-sungai mereka tercemar sehingga menimbulkan degradasi lingkungan yang masif dan terus-menerus.

Kita juga akan dibantu untuk mendapatkan petunjuk apakah orang asli Papua memang memutuskan untuk menerima kepunahan keanekaragaman hayati, berkurangnya mutu, dan kelimpahan hasil hutan yang berkelindan dengan masalah mengenai hancurnya sumber-sumber pangan tradisional sebagai ganti emas dan batu bara.

Setelah itu, kita dapat beranjak ke pertanyaan kedua yang penting untuk dicari jawabnya. Kita patut bertanya benarkah orang asli Papua memilih untuk menyerahkan tanah–yang dianggap sebagai ‘Ibu’ dalam kosmologi mereka–agar dapat ditukar dengan perubahan iklim yang ekstrim, bencana banjir, longsor, dan air bandang (semisal kasus yang terjadi di Jayapura, Wasior, dan Masni) serta kekeringan panjang yang mengundang kelaparan?

Indikator ketiga, mungkinkah orang asli Papua memilih menghancurkan sistem nilai dan tradisi sosial mereka yang berbasiskan pada kolektifitas? Prinsip tersebut mengharuskan tanah sebagai sumber kehidupan komunal mesti dimiliki dan dikelola bersama. Itu sebabnya, secara tradisional orang asli Papua tidak mengenal sistem tenurial tanah individualis dalam kacamata modern yang mendistribusikan tanah untuk dijadikan properti masing-masing orang.

Apakah prinsip kolektifitas tersebut kemudian dinyatakan gagal oleh asli Papua lalu diganti dengan pengerukan habis emas, tembaga, dan batu bara oleh pihak asing? Eksploitasi alam yang selalu datang beriringan dengan kemiskinan struktural dan diskriminasi panjang tanpa henti dengan rentetan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia bagi komunitas di sekitar lahan konsesi tambang.

Tiga pertanyaan dasar yang saya sajikan di atas menjadi bahan refleksi penting sebelum kemudian kita bicara soal pembukaan ladang tambang baru dan perpanjangan izin kontrak karya, semisal Freeport yang sedang hangat belakangan ini. Namun untuk dapat menjawab hal-hal di atas, langkah pertama yang mesti dilakukan adalah mendengar pendapat orang asli Papua itu sendiri. Sesuatu yang sependek pengetahuan saya, selalu absen dilakukan oleh Indonesia yang dikendalikan oligarki modal ini.

Orang asli Papua, pada kenyataan dan prakteknya, adalah satu contoh kasar bagaimana komunitas-komunitas adat yang masih bersandar pada alam dianggap primitif, terbelakang, dan tidak paham soal hitungan keuntungan finansial berlipat ganda yang dijanjikan oleh industri tambang. Kelompok-kelompok yang berpegang pada prinsip kehidupan yang ramah lingkungan diposisikan sebagai penghalang upaya untuk menumpuk kekayaan melalui pertambangan emas, batu bara, tembaga, dan nikel.

Kondisi hampir serupa memang juga terjadi di berbagai tempat lain di Indonesia. Namun yang membuat Papua menjadi khusus adalah pertautan sejarah kolonialisme, rasisme, dan kekerasan oleh polisi serta tentara yang belum menunjukkan gejala surut. Tanah Papua menjadi penuh darah karena proyek perampasan kekayaan alam dibarengi dengan tindakan etnosida Indonesia yang tampil dalam bentuk vulgar dan kasat mata. Jangan heran jika Papua hingga kini terus ditutup-tutupi dari pandangan masyarakat internasional. Jurnalis dan peneliti asing hingga kini masih terus dipersulit jika ingin mengakses Papua.

Itu mengapa pembicaraan tentang Freeport yang hangat hari-hari belakangan ini semestinya menjadi momentum bagi kita untuk mempertanyakan kembali keseluruhan industri pertambangan mineral dan batu bara di Papua dan juga di bagian lain Indonesia. Kita seharusnya berhenti bicara soal siapa yang akan mendapatkan saham atau berapa besar komisi yang didapatkan Indonesia. Dengan berani menyatakan tidak terlibat dalam skenario elitis yang mengaburkan pandangan kita dari pokok persoalan.

Pertanyaan kita seharusnya adalah: siapa yang butuh tambang? Elite pemerintah atau kita? Atau bertanya soal mana yang lebih penting. Tambang emas dan kerusakan lingkungan atau alam yang lestari dan hidup yang lebih bermartabat?

Andre Barahamin
Andre Barahamin
Peneliti di Yayasan PUSAKA: Pusat Studi, Advokasi & Dokumentasi Hak-hak Masyarakat Adat. Juru Kampanye Forum Advokasi Penyelamat Hutan dan Tanah Rakyat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.