Dalam film dokumenter Ridding the Tiger, saya melihat seorang bapak tua bilang, “Saya berjuang agar tidak dijajah.” Saya juga pernah dengar lagu “Pahlawan yang Dilupakan” milik The Gembels pada dekade 1970-an tentang bekas pejuang yang tidak mendapat apa-apa dari negaranya—karena dia tak pernah meminta, dia ihklas agar Indonesia tidak dijajah saja.
Mereka tak minta gelar Pahlawan Nasional—karena mereka adalah pejuang sejati. Tapi tetap saja banyak yang dapat gelar itu. Ada yang betul-betul dapat karena jasa besar. Ada juga yang jadi Pahlawan Nasional walau jasanya sama saja dengan tokoh lain yang belum atau tak mungkin dapat gelar pahlawan karena ada kecelakaan sejarah. Banyak orang yang sudah jadi Pahlawan Nasional tak pernah minta jadi pahlawan nasional barangkali.
Indonesia adalah negara dengan pahlawan nasional yang sangat banyak. Makin hari selalu ada saja tokoh yang diajukan sebagai pahlawan nasional. Tentu saja lama-kelamaan politis. Karena menjadi keturunan pahlawan nasional itu sebuah keuntungan—yang bisa menaikkan pamor di masyarakat. Gelar pahlawan makin membawa petaka. Muncul kegilaan untuk menjadikan tokoh yang punya jejak dijadikan sebagai Pahlawan Nasional.
Beberapa tahun silam, Anis Matta selaku pimpinan Partai Keadilan Sejahtera, salah satu partai Islam, mengusulkan gelar pahlawan nasional untuk Suharto. Tentu mengherankan, Islam memang merupakan agama yang mengajari kejujuran, kesederhanaan, keadilan, tentu juga mengajarkan kasih sayang. Tapi mengapa PKS mengusulkan seseorang yang punya reputasi buruk soal hak azasi manusia sebagai Pahlawan Nasional.
Bagi orang-orang yang masih peduli soal HAM dan paham Islam, usulan PKS tersebut tentu bisa merusak citra Islam yang tidak mengajarkan seeorang menjadi penjahat kemanusiaan. Toh rupanya PKS masih konsisten dengan niatnya—yang mereka anggap suci dan Islami—menobatkan Suharto sebagai pahlawan.
Jelang lengsernya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), entah dari mana munculnya wacana mengangkat Sarwo Edhi Wibowo sebagai Pahlawan Nasional. Banyak orang Indonesia tahu kalau Sarwo Edhi WIbowo adalah bapak mertua dari sang Presiden kala itu. Masalah penolakan publik yang sadar sejarah, tak lain karena Sarwo Edhi diduga terlibat dalam persekusi terhadap orang-orang yang dituduh komunis.
Banyak yang betul-betul komunis mati, tentu juga banyak yang bukan komunis ikut mati. Itu semua dilakukan tanpa pengadilan. Masyarakat beradab hanya menghukum setelah mengadili. Sarwo Edhi yang pendiam itu malah menyebut jumlah korban sekitar tiga juta jiwa, padahal sumber lain hanya menyebut angka ratusan ribu saja.
Menjadikan Suharto dan Sarwo Edhi yang penuh darah sebagai pahlawan nasional jelas kegagalan besar bagi penengakan HAM pemerintah Joko Widodo. Beruntung sekali jika Suharto dan Sarwo Edhi belum jadi, tapi adalah penghinaan bagi logika, kemanusiaan, dan juga dunia pendidikan. Pendidikan bukan untuk melahirkan pembunuh. Negara dan masyarakat sudah cukup menghargai dua tokoh itu dengan Bintang Gerilya—karena mereka pernah ikut gerilya melawan serdadu Belanda—atau paling besar Bintang Mahaputra. Tak perlu gelar Pahlawan Nasional.
Pahlawan sejatinya adalah tokoh yang menjadi teladan bagi sebuah bangsa. Bagaimana mungkin sebuah bangsa punya seorang jenderal yang diduga penuh darah sebagai panutan dan teladannya? Sama saja itu memposisikan Indonesia sebagai bangsa yang tak peduli pada HAM; bangsa pengobral nyawa; negara tak beradab di mata negara lain. Tentu saja ini bisa merusak mental generasi muda Indonesia di masa depan.
Mendukung Suharto dan Sarwo Edhi berarti membenarkan peristiwa massal yang tidak menghargai hak hidup orang lain. Di mana Kemanusiaan yang Adil dan Beradab? Di mana rasa “saling mencintai sesama manusia”? Di mana pula sikap “tidak semena-mena terhadap orang lain”? Lalu di mana sikap “berani membela kebenaran dan keadilan” kita sebagai manusia?
Tentu ada maksud politis dari para politisi yang menginginkan ada gelar Pahlawan Nasional pada tokoh yang merekaa inginkan. Pengikut setia Orde Baru pasti mau Suharto jadi pahlawan nasional. Entah siapa yang bakal bahagia dan untung kalau Sarwo Edhi jadi pahlawan? Semua orang tahu jika popularitas orangtua bisa menguntungkan anak mereka dalam kehidupan sosial,dan juga politik. Selalu ada keturunan orang besar yang ingin moyangnya jadi Pahlawan Nasional untuk modal kampanye, baik jadi anggota DPR atau kepala daerah. Betapa pentingnya embel-embel Pahlawan Nasional itu.
Siapa tak kenal Megawati? Bayangkan jika dia bukan anak Sukarno? Apakah dia bisa seperti sekarang? Citra Sukarno sebagai Proklamator Republik Indonesia saja sudah cukup menguntungkan Megawati. Megawati telah mengajarkan kita jika nama besar orangtua bisa mengumpulkan massa, walau si anak atau keturunan orang besar itu bukan orang cerdas—alias otak ayam, meminjam istilah Ben Anderson—untuk jadi pemimpin. Di mana seorang pemimpin yang bisa harus cerdas untuk membawa rakyat yang dipimpinnya pada kesejahteraan. Pemimpin macam itu lebih sering terlihat gagal.
Gelar Pahlawan Nasional juga bisa menjadi malapetaka bagi rakyat banyak jika mereka memilih pemimpin hanya karena sang pemimpin adalah anak atau keturunan orang besar tanpa melihat kemampuan calon pemimpin. Sebab, elite politik masa kini—yang bernaung dalam keluarga tertentu—sangat sadar pentingnya gelar Pahlawan Nasional untuk menghimpun massa.
Tentu saja bukan hanya ada satu keluarga politisi yang ingin membangun dinasti politiknya. Di level daerah orang-orang kenal keluarga Yasin Limpo dan Alex Nurdin. Di level nasional orang-orang tahu: Keluarga Cikeas–dengan Yudhoyono sebagai Ketua Partai Demokrat dan Sarwo Edhi sang mertua menjadi pamor keluarga, Keluarga Cendana, yang tak lain keturunan Suharto yang dulu pernah coba berpolitik tapi gagal dapat pendukung mayoritas, dan Keluarga Sukarno, yang sudah terpecah-pecah namun masih kuat.
Hampir tiap tahun setelah reformasi 1998—yang dianggap gagal—pemerintah rajin sekali memberi gelar Pahlawan Nasional pada tokoh besar. Ini bukti bahwa Indonesia adalah bangsa yang mencintai elitisme, hanya orang-orang besar yang dihargai.
Nyatanya pemberian gelar pahlawan juga menjadi perkara politis. Yang menjadi pahlawan lebih sering politisi atau militer—belakangan bahkan selalu ada wacana tokoh militer bersimbah darah korban politiknya. Pahlawan dari kalangan nonpolitisi dan militer sangat langka sekali.