Menjelang Idul Fitri aksi terorisme memukul Arab Saudi sebanyak tiga kali dalam sehari. Pertama, aksi bom bunuh diri yang menargetkan kantor konsulat Amerika Serikat di Jeddah. Pelaku akhirnya meledakkan diri secara “prematur” dan hanya melukai dua petugas keamanan diplomat yang berusaha melumpuhkannya dengan berondongan peluru.
Kedua, aksi bom bunuh diri menargetkan sebuah masjid di daerah Qatif. Aksi kedua ini terbilang gagal; bom meledak lebih dulu di luar masjid dan tak ada korban dalam kejadian ini.
Ketiga, semoga ini yang terakhir, ledakan keras bom bunuh diri menyasar petugas keamanan yang bertugas tak jauh dari Masjid Nabawi, Madinah. Empat polisi dilaporkan tewas di lokasi kejadian dengan tubuh berserakan dan lima lainnya dilarikan ke rumah sakit dengan luka berat.
Meskipun belum ada kelompok teror yang mengklaim bertanggang jawab, banyak kalangan mencurigai kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sebagai aktor utama serangan teror berantai di Saudi itu. Saya pun menduga kuat jaringan kelompok inilah pelakunya.
ISIS memang memiliki riwayat “rajin” mengklaim sebagai pelaku aksi teror. Namun perlu dicatat pula, belum pernah terjadi ISIS melakukan bantahan atas tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Ini berbeda dengan kelompok Al-Qaidah yang tak segan menyanggah secara terbuka atau menyatakan berlepas diri, meski tudingan mengarah kepadanya.
Intinya adalah, aksi terorisme yang terkait ISIS tak selalu disertai dengan pernyataan pertanggungjawaban organisasi. Sekali lagi, saya berpendapat tiga aksi bom bunuh diri di Saudi pelakunya adalah ISIS.
Mencermati seksama bom bunuh diri pertama di dekat kantor Konsulat AS di Jeddah, saya yakin publik memahami kenapa ISIS memiliki “kebijakan” menyasar tempat ini, meski tak ada nyawa melayang (kecuali nyawa si pelaku).
Kejadian kedua di sebuah masjid di Qatif, saya menilai publik juga sudah “mengerti” alasan ISIS memilih lokasi ini. Apalagi bukan kali ini saja Qatif disasar ISIS; daerah Qatif rata-rata penduduknya adalah Muslim Syiah, mazhab minoritas di Arab Saudi.
Kejadian ketiga yang paling menyedihkan sekaligus sulit dimengerti banyak orang, kenapa lokasinya di dekat Masjid Nabawi? Inikah kelakuan kelompok yang mengaku paling menegakkan Sunnah Nabi? Mengapa mereka meledakkan bom di kota suci Madinah? Inikah yang disebut jihad oleh kaum Khilafah?
Mencermati aksi terkutuk ini, kita tak bisa hanya melihat satu kejadian, karena pada dasarnya tiga aksi ini terkait meski ada selisih waktu. Saya mengistilahkan aksi yang pertama itu sebagai “aksi pembuka” dan itulah mengapa mereka memilih Konsulat AS untuk mencuri perhatian dunia. Apalagi kejadiannya bersamaan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Amerika Serikat, 4 Juli.
Kemudian di saat Arab Saudi menjadi sorotan karena peristiwa di Konsulat AS, serangan bom kedua diluncurkan untuk lebih “menggemakan” teror. Aksi bom kedua ini juga sarat muatan sektarian yang menjadi ciri khas ISIS selama ini. Rupanya kelompok teror ini belum lelah memprovokasi agar konflik sektarian meletus di Arab Saudi.
Lalu aksi ketiga seperti “pukulan pamungkas” dari bom-bom sebelumnya. Ini bukan sekadar tragedi yang waktunya terjadi di bulan suci, tapi lokasinya di tanah suci. Kenapa ISIS senekat ini?
Kadang kita perlu melirik tulisan-tulisan propaganda ISIS untuk mengetahui jalan pikiran mereka. Kenapa mereka bertindak sedemikian keji dan gencar melancarkan aksi teror di bulan suci Ramadhan.
Sebelumnya ISIS memang pernah mengkampanyekan akan meningkatkan serangan di bulan Ramadhan. Di balik itu, ISIS sebenarnya memiliki keyakinan, seperti tertuang dalam tulisan yang diunggah di internet oleh media penerbitan milik ISIS, Maktabah al-Himmah, bahwa “Ramadhan adalah Bulan Penaklukan” (Sahr al-Futuhat).
Di situ ISIS menguraikan penaklukan dan peperangan yang terjadi sejak masa kenabian pada bulan Ramadhan seperti Perang Badar (2 Hijriyah), penaklukan kota Makkah (8 Hijriyah), penaklukan Andalusia oleh Dinasti Umawiyah (92 Hijriyah), penaklukan Sicilia oleh Dinasti Abbasiyah (212 Hijriyah), peperangan di ‘Ain Jaluut di Syam pada masa Dinasti Mamalik (658 Hijriyah), dan lain-lain.
Kemudian ISIS menyimpulkan sekaligus berupaya mem-branding bahwa Ramadhan adalah bulan peperangan, di mana pun, termasuk di tanah suci Madinah!
Pernah juga saya membaca sebuah artikel yang dimuat oleh buletin online An-Naba edisi 22 yang dikelola ISIS dan banyak dikutip media di Timur Tengah. Intinya adalah “membebaskan” tanah suci Makkah dan Madinah dari Kerajaan Arab Saudi lebih diprioritaskan dibanding Baitul Maqdis (Yerusalem) dari Israel.
Seorang anggota ISIS pada tulisan yang lain juga menambahkan, pada masa kenabian dulu tidak ada prioritas membebaskan kota Yerusalem, akan tetapi kota Makkah (Fath al-Makkah). Kota Yerusalem justru baru dibebaskan pada masa Khalifah Umar bin Khattab.
Meski argumen-argumen seperti ini terkesan dipaksakan, tetap tak bisa diabaikan begitu saja. Sebab, di luar sana, bisa jadi ada saja yang menganggap ini adalah suatu “kebenaran” jika pemahaman-pemahaman seperti ini dibiarkan. Ledakan bom di Madinah adalah buktinya.
Ada pepatah Arab yang berbunyi Likulli Saqithatin Laqithatun, setiap barang yang jatuh pasti akan ada yang memungut. Bisa juga berarti setiap kata atau pemikiran pasti ada yang mendengarkan, bahkan mengamalkannya, meski bertentangan dengan akal sehat. Tentu orang yang mendengarkan dan mengamalkan itu adalah mereka yang tak punya pendirian. Juga kata pepatah Arab, Atba’u kulli na’iqin, yang bermakna membeo pada setiap siulan.
Maka, tugas melawan ekstremisme tidak hanya dilakukan para patriot negara memburu kaum ektremis di tempat persembunyian, tapi juga kalangan ulama, termasuk sejarawan Islam. Yakni, dengan memberikan pemahaman sejarah peradaban Islam dengan hikmah, agar tidak diselewengkan kaum ektremis untuk membenarkan aksi-aksi kejinya.