Mengapa judul tulisan ini ada kata anti di dalam kurung? Karena fikih—yang secara harfiah bermakna pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal—sebagai ilmu yang membahas tentang hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik tentang dirinya, hubungannya dengan sesama, dengan alam, dan dengan Tuhannya, dalam praktik ternyata memiliki perspektif yang beragam. Karena keragaman perspektif inilah yang kemudian memunculkan beragam mazhab fikih.
Sementara itu, terorisme—yang diidentikkan dengan puncak kekerasan—juga memiliki ragam makna dan perspektif. Sebagai contoh, di medan perang antara teroris dan pahlawan hanya dibedakan dengan garis batas antara kawan dan lawan. Bagi kawan, teroris bisa dianggap pahlawan, begitu juga sebaliknya seorang pahlawan adalah teroris bagi lawan.
Oleh karena itu, apakah kita mau membahas tentang fikih terorisme, ataukah fikih antiterorisme, akan tergantung pada dari sudut pandang mana kita melihatnya. Bagi sementara kalangan yang membenarkan tindakan teror, istilah fikih terorisme akan lebih tepat. Sementara bagi yang menolak tindakan teror, tentu istilah fikih antiterorisme yang dianggap tepat.
Yang pasti, dengan memunculkan istilah fikih terorisme atau antiterorisme, ini membuktikan bahwa terorisme (ternyata) punya kaitan erat dengan agama (khususnya Islam), karena istilah fikih hanya ada dalam terminologi agama Islam. Meskipun tentu, sebagai tindakan, teror juga bisa—atau bahkan banyak—dilakukan dengan motif yang sama sekali tidak ada kaitan dengan agama. Pada perspektif terakhir inilah, yang banyak disuarakan oleh tokoh-tokoh agama, pada setiap muncul aksi terorisme di berbagai belahan dunia.
Sebagai seruan, apa yang dilakukan tokoh-tokoh agama itu tidak salah, karena dilandasi keyakinan bahwa agama sama sekali tidak membenarkan tindakan teror. Akan tetapi, mungkin perlu juga melihat kenyataan di lapangan bahwa masih ada kalangan yang berdasarkan dalil-dalil agama, membenarkan tindakan teror. Meskipun secara kuantitas sangat kecil, bahayanya bisa sangat besar.
Artinya, menyerukan bahwa terorisme tidak ada kaitan dengan agama, meski benar secara normatif, sama saja dengan mengabaikan fakta bahwa masih ada kalangan yang melakukan tindakan teror dengan motif untuk menegakkan kebenaran agama. Mungkin akan lebih tepat jika dikatakan bahwa terorisme tidak dibenarkan oleh agama apa pun. Frase “tidak ada kaitan” berbeda dengan “tidak dibenarkan”—yang kedua lebih faktual dari yang pertama.
Selain lebih faktual, frase “tidak dibenarkan” juga akan mengundang perdebatan, atau lebih tepatnya dialog, antara mereka yang tidak membenarkan dan yang membenarkan. Saya kira, proses dialog inilah yang sangat penting dalam penyusunan fikih terorisme atau antiterorisme.
Jadi, mengapa fikih (anti) terorisme? Untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang (anggapan, keyakinan) yang membenarkan dan menyalahkan terorisme.
Di dalamnya harus mencakup beragam pendapat tentang terorisme: yang setuju, tidak setuju, dan yang berpendapat di antara keduanya. Masing-masing pendapat harus disertai argumentasi yang memadai. Selain argumentasi, yang tidak kalah penting adalah bagaimana dampaknya, terutama bagi masa depan kemanusiaan. Karena alasan untuk membenarkan atau tidak membenarkan suatu tindakan, yang tidak bisa diabaikan adalah soal bagaimana dampaknya bagi kehidupan sosial.
Jika masing-masing pendapat dibarengi dengan argumentasi yang memadai, saya yakin fikih (anti) terorisme akan menjadi pelajaran sangat penting dan berharga bagi siapa pun yang membacanya. Publik pembacanya diajak berpikir, mengapa, misalnya, dalam hukum positif kita, terorisme masuk dalam kategori kejahatan luar biasa—sama seperti korupsi dan penyalahgunaan narkoba.
Harus diakui masih ada kalangan yang membenarkan terorisme karena menganggapnya sebagai bagian dari strategi perang. Dan tragisnya, pemaknaaan perang bisa berarti fisik dan non-fisik. Suasana yang bagi kita tampak damai, belum tentu damai juga bagi mereka yang menganggap ada perang non-fisik. Salah satu ciri dari perang non-fisik adalah tidak adanya batas teritorial.
Bukan itu saja, bagi mereka, bahkan perang fisik pun tidak ada batasan teritorialnya karena dilandasi satu keyakinan bahwa seluruh umat Muslim di dunia ini ibarat satu tubuh, yang apabila disakiti satu bagian maka akan merasa sakit secara keseluruhan. Pada saat ada keyakinan bahwa yang tidak jadi korban merasa ikut jadi korban, maka bisa juga ada keyakinan yang membenarkan adanya korban yang meskipun secara faktual sebenarnya tidak bersalah.
Tindakan kekerasan yang memakan korban (pihak) yang tidak bersalah inilah salah satu ciri khas dari tindakan teror (terorisme). Kita tidak setuju dengan pandangan seperti ini karena siapa pun bisa saja dibunuh tanpa kesalahan yang jelas. Padahal ada firman Allah yang menegaskan bahwa “membunuh satu jiwa yang tidak bersalah sama saja dengan (seakan-akan) membunuh manusia seluruhnya”. Artinya, dosa yang paling besar (berat) adalah membunuh manusia yang tidak berdosa.
Banyak dalil (hadits atau ayat al-Quran) yang dipahami secara sempit (dengan memakai kacamata kuda) yang berimplikasi pada pembenaran tindakan-tindakan yang sejatinya tidak benar. Contoh yang paling banyak disalahpahami adalah dalil-dalil tentang perang, yang langsung dipraktikkan begitu saja tanpa melihat dalil-dalil lain yang melarang pembunuhan, tindakan kekerasan, dan tindakan-tindakan lain yang berdampak pada kerusakan di muka bumi.