Minggu, Oktober 6, 2024

Mengalah pada Korupsi

Mimpi Ujian

Feri Amsari
Feri Amsari
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

dom-1455780632Sejumlah aktivis berunjuk rasa menolak pelemahan terhadap KPK. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Kalah adalah kata yang pantang terucap dari bibir“ panglima pemberantasan korupsi”. Namun, tanpa ragu, sebelum perang dimulai, Pelaksana Tugas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki sudah menyerah kalah terlebih dulu.

Sejak kata “kalah” itu terucap, peta yang mendeteksi musuh KPK tak saja berada di luar pagar hingga menyebar ke dalam gedung lembaga antikorupsi itu. Bukan tidak mungkin, upaya menghancurkan gerakan antikorupsi dilakukan di jantung pertahanan lembaga pemberantasan korupsi itu sendiri. KPK dirusak dari dalam!

Serangan melalui internal KPK tersebut bukan fakta baru. Selama KPK berdiri, kriminalisasi terhadap Novel Baswedan, Bibit – Chandra, dan Bambang Widjajanto-Abraham Samad, merupakan sejarah yang berulang.

Bahkan jauh sebelum KPK lahir, lembaga antikorupsi Indonesia di masa lalu juga dimatikan lewat metode yang kurang-lebih sama. Sejarah mencatat, lembaga antikorupsi seperti Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), Operasi Budhi, Komando Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) pada masa Orde Lama, dan Tim Pemberantasan Korupsi di masa Orde Baru, telah dibubarkan melalui penyusupan orang-orang “kalah” tersebut.

Apakah KPK akan terpuruk pada “lubang sejarah yang sama” untuk kesekian kali?

Melawan korupsi di sebuah negara yang korup tentu bukan perjuangan mudah. Sebagai sebuah kejahatan berkelompok, korupsi telah menjangkiti seluruh sistem bernegara dan aparatusnya. Kelompok bisnis dan politikus korup yang berlindung pada aparat “haus uang” telah menjalankan “bisnis mengemplang” uang rakyat yang merusak seluruh sistem kehidupan bernegara.

Kondisi yang sama terjadi bahkan di negara-negara yang bersih dari korupsi, seperti Singapura, Australia, dan Hong Kong. Kejahatan korupsi adalah momok masa lalu. Perlawanan terhadap korupsi membuat negara-negara tersebut menjadi lebih baik dalam segala bidang. Selain kebijakan pemimpin yang antikorupsi, perlawanan juga dilakukan masyarakat secara luas.

Jika masyarakat tak berperan dalam memberantas korupsi, sama artinya membiarkan “akar pohon korupsi” menguat dengan kecepatan menyebar bagaikan cendawan. Maka, perlawanan terhadap korupsi tak boleh surut. Pengakuan kalah dari aparat penegak hukum bermasalah bukan akhir dari perlawanan terhadap korupsi.

Perang melawan korupsi oleh rakyat tetap akan terjadi. Namun, membentuk gerakan perlawanan rakyat yang berkualitas bukan perkara mudah.

Vinay Bhargava menuturkan pemberantasan korupsi memerlukan koalisi rakyat yang luas dari berbagai elemen masyarakat. Meski koalisi rakyat itu penting dalam pemberantasan korupsi, Bhargava meragukan koalisi tersebut dapat terorganisasi secara baik (Challenging Corruption in Asia; 2004).

Keraguan Bhargava itu menjadi nyata jika melihat perlawanan masyarakat Indonesia terhadap korupsi. Banyak elemen yang bergerak sendiri-sendiri tanpa pernah berpikir untuk melakukan konsolidasi efektif agar kekuataan sosial menjadi besar.

Agar konsolidasi masyarakat antikorupsi itu menguat, kehadiran sosok yang dihormati semua pihak diperlukan. Sosok itulah yang akan mempersatukan banyak elemen masyarakat untuk duduk bersama dan menyusun strategi perlawanan.

Perlawanan dari rakyat banyak tak diperlukan apabila Presiden bersikap tegas. Sebagai figur yang masih “hijau” dalam kemelut politik di negeri ini, Joko Widodo lemah “membaca” lawan atau kawan. Akibatnya, figur-figur yang terbuka menyerang KPK tetap dijadikan pimpinan sementara.

Jika Jokowi cermat menganalisis, kematian KPK dapat berujung pelumpuhan kewenangan Presiden. Bukankah musuh-musuh Istana adalah lembaga dan individu yang kerap menyerang Jokowi?

Jika bertekad menguatkan KPK, Jokowi memperkuat kedudukannya sebagai Presiden.

Maka, langkah Jokowi menempatkan figur-figur bermasalah di KPK harus diperbaiki. Langkah mudah yang dapat ditempuh adalah menarik kembali pimpinan sementara yang bermasalah. Jokowi dapat mencari nama baru dari tujuh nama calon pimpinan sementara yang pernah diusulkan KPK.

Pembenahan itu tak memerlukan produk hukum baru berupa peraturan pengganti perundang-undangan/instruksi presiden. Presiden cukup menerbitkan keputusan presiden yang menarik pimpinan sementara KPK bermasalah dan melantik yang baru. Kepres itu dapat diterbitkan kapan saja. Presiden harus bernyali dan tak mengalah pada korupsi!

 

Feri Amsari
Feri Amsari
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.