Sabtu, April 27, 2024

Siasat Partai Mengakali Putusan Mahkamah Konstitusi

M. Nurul Fajri
M. Nurul Fajri
Alumni Program Magister Ilmu Hukum dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

pilkada-dprMenteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (tengah) mengikuti rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Gedung Nusantara, Jakarta, Jumat (15/4). Rapat membahas RUU tentang Perubahan atas UU Pilkada. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

Proses revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) yang kini tengah diselesaikan oleh Komisi II DPR, DPD, dan Kementerian Dalam Negeri ternyata bergerak liar menuju pembaharuan UU Pilkada. Bukan memperbaiki materi UU Pilkada yang memperkuat demokrasi substansial, yang muncul ke permukaan justru upaya mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pencalonan yang membuat demokrasi jalan di tempat.

Fraksi-fraksi di DPR kini sedang berupaya mencari jalan agar anggota DPR, DPD, DPRD, anggota TNI/Polri, PNS dan pegawai BUMN/BUMD tidak harus mundur dari jabatannya untuk maju sebagai calon kepala atau wakil kepala daerah. Padahal putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 telah menegaskan setiap anggota/pimpinan DPR, DPD, DPRD, anggota TNI/Polri, PNS dan pegawai BUMN/BUMD harus mundur dari jabatannya jika hendak maju sebagai calon kepala atau wakil kepala daerah.

Revisi UU Pilkada memang dikebut penyelesaiannya guna menyambut gelaran pilkada tahun 2017 nanti. Ditargetkan selesai pada akhir April ini, sejumlah catatan perbaikan tentu sudah diperoleh jika berangkat dari evaluasi penyelenggaraan pilkada serentak edisi pertama. Dengan waktu yang relatif sangat singkat, memang sulit berharap kalau hasil revisi UU Pilkada akan menjadi sebuah UU Pilkada yang ideal.

Jika tidak berharap lebih, harapan paling sederhana dari hasil revisi UU Pilkada adalah UU Pilkada hasil revisi ketika dilaksanakan jangan sampai melahirkan polemik dan permasalahan yang sama sebagaimana yang telah terjadi di pilkada serentak tahun 2015. Namun kenyataan proses pembahasan di DPR saat ini tampak jauh panggang dari api.

Lihat saja proses pembahasaan di DPR bukan menyasar poin-poin krusial UU Pilkada yang dianggap bermasalah pada penyelenggaraan pilkada serentak pada tahun 2015 lalu, tapi lebih memilih bagaimana kemudian menghidupkan kembali norma yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 dianggap diskriminatif atau tidak adil karena tidak berlaku bagi calon petahana.

Sementara itu, berdasarkan putusan MK tersebut, setiap anggota/pimpinan DPR, DPD, DPRD, anggota TNI/Polri, PNS dan pegawai BUMN/BUMD harus mengundurkan diri. Pertimbangan MK hingga mewajibkan pengunduran diri berpijak pada dua poin utama sebagai muaranya: menyangkut tanggung jawab dan amanah serta potensi penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan politik.

Tidak hanya itu, MK juga menjelaskan bahwa persyaratan pengunduran diri bukanlah ketentuan diskriminatif yang membatasi hak asasi, namun hanya konsekuensi atas sebuah pilihan karena adanya perbedaan nilai dan prinsip pada rezim pengaturan yang berbeda. Jika merunut penyelenggaraan pilkada langsung, kemunculan calon kepala atau wakil kepala daerah yang berasal dari anggota legislatif hampir selalu ada dalam setiap penyelenggaraan pilkada.

Tanpa adanya persyaratan pengunduran diri jika hendak maju pada pilkada, maka anggota legislatif tidak akan kehilangan jabatannya sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD kalaupun tidak berhasil memenangkan pilkada. Karenanya, sulit sebenarnya mempercayai bahwa perdebatan tentang persyaratan kemunduran berada pada ranah aturan yang diskriminatif dan tidak adil. Karena yang terlihat ke permukaan justru kuatnya aroma kepentingan pribadi dan partai.

Dalih bahwa menghidupkan norma yang telah dibatalkan oleh MK untuk dapat mengatasi kekurangan calon dalam pilkada sejatinya bukanlah alasan yang tepat. Sebab, kekurangan calon dalam pilkada bukan lahir karena persyaratan pengunduran diri bagi anggota/pimpinan DPR, DPD, DPRD, anggota TNI/Polri, PNS dan pegawai BUMN/BUMD jika hendak maju sebagai calon kepala atau wakil kepala daerah pada pilkada.

Jadi? Jika dicermati seksama, alasan utamanya lebih karena kegagalan sistemik partai politik, khususnya dalam melakukan proses kaderisasi dan rekrutmen politik. Keteguhan hati politisi Senayan dan partai-partai untuk kembali menghidupkan ketentuan tentang syarat pengunduran diri, jika kemudian memang disahkan sebagai hasil revisi UU Pilkada, sudah dapat diprediksi akan berujung pada persidangan di MK.

Maka, jika ingin berbuat lebih dalam revisi UU Pilkada terkait pencalonan kepala daerah, alangkah lebih baik fokus perhatiannya ditujukan pada upaya menjamin demokrasi partai di tingkat lokal serta menihilkan praktek mahar politik. Hal ini jauh lebih mendorong perwujudan demokrasi substansial daripada kemudian berkelit dengan ketentuan yang sangat berpotensi kembali dibatalkan oleh MK.

M. Nurul Fajri
M. Nurul Fajri
Alumni Program Magister Ilmu Hukum dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.