Jumat, Maret 29, 2024

Mengagendakan MBKM Sebagai Wahana Pergerakan

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta

Dalam seminar bertema “Agenda Kapitalisme dalam Kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM)” di Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, belum lama ini, ada catatan menarik yang perlu dan mendesak untuk segera ditindaklanjuti. Catatannya adalah MBKM baru sebatas konsep teknis yang isi dan luas pengertiannya masih terlalu mengawang-awang. Karena itulah, kebijakan itu perlu dikaji ulang dengan jeli dan waspada agar tidak sekadar menjadi slogan dan mampu mewujudkan kemerdekaan dalam pendidikan sebagai wahana pergerakan masyarakat.

Dalam buku Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang (Yayasan Obor Indonesia, 1986), Kenji Tsuchiya berpendapat bahwa jejak langkah awal pendidikan nasional di Indonesia justru digagas sebagai suatu bentuk pergerakan.

Artinya, pendidikan yang baru diperkenalkan pada awal abad ke-20 di Hindia Belanda dimanfaatkan sebagai wahana untuk memperjuangkan gagasan tentang konsep institusi tandingan (counter-institution) yang mampu menentang dan mengimbangi institusi kolonial yang sudah ada dan terlebih dahulu berkuasa. Maka bukan kebetulan jika Taman Siswa misalnya, yang lahir pada tahun 1922, secara meyakinkan hadir sebagai suatu institusi nasional yang bercita-cita menggantikan institusi kolonial.

Dari sejarah seperti itu menjadi jelas bahwa sejak semula pendidikan merupakan suatu pergerakan yang mengekspresikan perlawanan terhadap sistem dan gaya kolonial, termasuk ideologinya. Yang dimaksud sebagai sistem adalah bentuk “Negara Birokrat” (Beambtenstaat) yang mengkristal dalam identitas “Pangreh Praja” (Binnenland Bestuur). Sedangkan ideologinya mengarah pada “kemajuan” (ontwikkeling) dan/atau “tugas mulia” (mission-sacree/opheffingspolitiek) yang bertujuan “memperadabkan pribumi”. Sementara gayanya dikerangkai dalam rezim “ketertiban dan keamanan” (rust en orde) yang dijalankan dengan pola “kelugasan” (zakelijkheid) dengan berpura-pura “sabar” sembari menghitung untung-rugi atas dasar efisiensi.

Dengan arah pergerakan itu, susunan masyarakat kolonial yang dibentuk secara “dualistis” menjadi terbongkar dan dijadikan sebagai “bahan bakar” perlawanan oleh para pemimpin nasionalis seperti Ki Hadjar Dewantara dan Soekarno. Berkat kejelian dan kewaspadaan merekalah, praktik “dualisme” yang menciptakan politik rasis antara “kulit putih versus pribumi” dan ekonomi ganda (dual economy) ala Boeke dan masyarakat plural (plural society) ala Furnivall dapat diungkap secara kritis dan tajam. Itulah mengapa, baik Dewantara maupun Soekarno, sama-sama berkeyakinan, sebagaimana dicatat Tsuchiya di atas, bahwa “Apabila Indonesia merdeka, Belanda tentu akan bangkrut.”

Dalam konteks ini, pendidikan sebagai pergerakan menuntut suatu institusi tandingan yang mampu mengimbangi, bahkan menggantikan, institusi kolonial. Tuntutan itulah yang mendorong tokoh-tokoh nasionalis Indonesia selalu berupaya untuk menghapus paradigma kolonial dengan menciptakan paradigma nasional.

Sebagai contohnya, ketika kumpulan surat Kartini dibukukan oleh Abendanon dengan diberi judul Dari Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht), para tokoh nasionalis justru menggantinya dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang yang dilakukan oleh Armijn Pane. Penggantian itu menunjukkan bahwa “kegelapan” (duisternis) bukan disebabkan oleh kebodohan, melainkan karena kolonialisme. Sementara “terang” (licht) tidak sekadar berkaitan dengan modernisme ala Barat, tetapi adalah perjuangan untuk bebas dari penjajahan.

Pembentukan institusi tandingan dalam pendidikan itu menjadi ciri khas dari pergerakan nasional. Salah satunya melalui Taman Siswa yang pada tahun 1932 mengorganisir kekuatan kaum nasionalis untuk melawan aturan tentang “Sekolah Liar” (Wilde Scholen Ordonnantie).

Peraturan yang bertendensi mengontrol sekolah swasta yang tak bersubsidi itu dinilai hanya menguntungkan pemerintah kolonial, namun seolah-olah ditampilkan sebagai bagian dari “tugas mulia” dengan gaya yang “lugas” atau berpura-pura “sabar”. Dengan didukung oleh seluruh partai nasionalis dan sejumlah perkumpulan sosial, pendidikan, keagamaan, etnik, serta komite, peraturan itu pun akhirnya dicabut dan menjadi kemenangan pertama gerakan kaum nasionalis. Tanggal dicabutnya peraturan itu, yaitu pada 1 Oktober, ditetapkan sebagai “hari lahirnya kebebasan sejati” (Shiraishi, 2001).

Perjuangan untuk menjadi institusi tandingan melalui pendidikan memang merupakan konsep yang paling menonjol di era pergerakan nasional. Taman Siswa telah mampu merintis dan menciptakan sistem pendidikan nasional yang berasaskan pada sifat ngemong atau asuh dan dikenal sebagai “sistem among” untuk melahirkan “model manusia idaman” (ideal human type) ala Indonesia. Dengan sistem itu, metode pengajaran dan kurikulum yang disusun berpusat pada pembentukan institusi dan diri pribadi yang mampu menolak ”materialisme” dan “individualisme”. Masuk akal jika perhatian terhadap lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti pondok, pawiyatan, atau pesantren, termasuk para pembimbingnya seperti pandita, ajar/kyai, dan guru, sangat diutamakan.

Sebagaimana dikaji oleh Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 – 1946 (Marjin Kiri, 2018), semangat pesantren yang ditempa oleh empat nilai, yaitu: kesederhanaan, kerjasama, solidaritas, dan keikhlasan, telah mampu mengobarkan perlawanan di Jawa sebelum dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Tak heran jika pendidikan yang berakar pada sistem pondok asrama sejak semula telah dipilih sebagai arena atau panggung utama untuk membangun suatu pergerakan nasional yang dicita-citakan mampu menjadi sebuah institusi tandingan. Karena itulah, Ki Hadjar Dewantara yang semula bernama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat membangun “Keluarga Besar Taman Siswa” sebagai bentuk masyarakat baru yang berupaya menandingi masyarakat luar bentukan kolonial. Melalui tapa brata, demokrasi dan kepemimpinan, serta model manusia ideal, Taman Siswa mampu menjadi institusi tandingan yang mengesankan dan meyakinkan.

Di masa kini saat sistem pendidikan nasional tampak semakin menjauh dari cita-cita masa lalu menjadi enak dan perlu untuk membangkitkan kembali semangat dasar dari pembentukan institusi tandingan yang telah melahirkan pergerakan dalam pendidikan. Barangkali dari situ masih tersisa imajinasi untuk mendidik para “pandita” dan “satria” (panindito-sinatrio) baru yang berkemauan kuat dan berpikiran bebas agar tidak terperangkap lagi dalam suasana dan pemikiran kolonialisme, atau liberalisme, baru, seperti tampak dalam kebijakan MBKM.

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.