Pada 2023 ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tengah memperingati miladnya yang ke-48. Untuk ukuran sebuah organisasi, usia 48 bisa dianggap cukup dewasa. Tentu, ada banyak hal dari lembaga ini yang dapat dilihat dan dianalisis, terutama terkait dengan kiprahnya di tengah-tengah umat sejak berdirinya pada 1975 sampai saat ini.
Mengutip Deliar Noer dalam Administrasi Islam di Indonesia (1983), berdirinya MUI, yang telah dimulai dari tingkatan daerah, tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan khususnya dalam menghadapi ancaman dari gerakan pendirikan ideologi negara di luar NKRI, yakni Darus Islam (DI). Di sini, keterlibatan para ulama, yang kemudian tergabung dalam MUI, dipandang sebagai hal yang sangat penting.
Dalam perjalanannya, MUI tampaknya mengalami dinamika atau pasang surut dalam hal hubungannya dengan pemerintah dan masyarakat secara umum. Di periode awal, ketika dipimpin HAMKA, misalnya, lembaga ini, boleh dikatakan, memainkan peran kritis vis-a-vis pemerintah. Namun, seiring waktu, pada kepengurusan-kepengurusan berikutnya, MUI cenderung akomodatif, terkadang seperti pendukung pemerintah.
Sebagai Penengah
Kalau dilihat dari perspektif komunikasi, mengacu pendapat Dan Nimmo dalam karya klasiknya, Political Communication and Public Opinion in America (1978), ulama sama halnya dengan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, disebut sebagai pemuka pendapat (opinion leader). MUI, yang notabene di dalamnya banyak berkumpul para ulama, dengan demikian, dapat dianggap sebagai pemuka pendapat.
Salah satu peran yang biasa dimainkan oleh para pemuka pendapat adalah menjadi mediator atau penengah antara organisasi atau lembaga dengan masyarakat atau khalayaknya. Dalam hal ini, MUI dapat memainkan peran tersebut antara pemerintah Indonesia di satu pihak, dan masyarakat di pihak lain.
Tentu saja, peran MUI di atas merupakan sesuatu yang strategis. Di satu sisi, MUI dapat menerjemahkan apa yang dinginkan oleh pemerintah kepada masyarakat luas. Di sisi lain, ia juga bisa menyampaikan apa yang diharapkan masyarakat dari pemerintah dalam banyak masalah, mulai dari masalah agama, sosial, bahkan politik.
Dalam situasi seperti ini, MUI diharapkan benar-benar berada di tengah, tidak condong kepada salah satu pihak. Sekalipun lembaga ini pada awalnya diangkat oleh pemerintah, dan mendapatkan dana darinya, tetapi tidak berarti harus menghilangkan independensinya, sehingga pada gilirannya terlalu berpihak pada pemerintah seraya mengabaikan harapan masyarakat.
Sebaliknya, MUI juga tidak seharusnya terlalu larut dalam mengikuti kemauan masyarakat sehingga kemudian berhadapan secara diametral dengan pemerintah. Hal ini berlaku untuk semua persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, termasuk politik praktis. Kasus Pilkada DKI 2017 lalu mungkin bisa dijadikan contoh berkaitan dengan kecenderungan tersebut. Hal seperti itu tentu diharapkan tidak terjadi lagi di masa-masa yang akan datang.
Kalau MUI dapat memainkan peran mediator atau penengah antara pemerintah dan masyarakat secara independen, maka eksistensinya diharapkan akan semakin baik di mata masyarakat. Ia akan dinilai sebagai lembaga yang berkomitmen untuk mengedepankan keadilan untuk semua pihak, termasuk beragam kelompok di masyarakat dengan latar belakang suku, ras, dan agama yang berbeda-beda.
Tetap dengan Jati Dirinya
Seperti telah disinggung di atas, MUI sejak awal pembentukannya diharapkan dapat berkontribusi terhadap stabilitas politik dan keamanan, khususnya terkait dengan kehidupan keagamaan. Ancaman nyata saat itu adalah munculnya gerakan Darul Islam (DI) yang berkeinginan untuk mendirikan negara Islam, yang nyata-nyata bertentangan dengan dasar negara Pancasila.
Saat ini, ancaman terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia masih tetap ada, bahkan dalam derajat tertentu berpotensi mengancam persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Gerakan-gerakan intoleransi, radikalisme, bahkan terorisme, misalnya, kerap ditemui di tengah-tengah masyarakat. Yang memprihatinkannya lagi, kadang-kadang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam itu sendiri.
Yang jauh lebih berbahaya lagi, penyebaran ajaran-ajaran tersebut, tidak hanya dilakukan melalui pertemuan secara langsung (face to face), tetapi justeru lebih intens melalui beragam media, terutama media-media sosial. Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, dan platform lainnya kini banyak digunakan untuk diseminasi ajaran-ajaran yang berbahaya itu.
Dengan karakteristik media sosial yang mudah diakses oleh semua orang (accesible), di mana saat ini hampir semua orang memiliki akun, juga bersifat interaktif, dan tidak dibatasi apa pun (borderless), maka penyebaran ajaran-ajaran bersebarangan dengan Pancasila mudah sekali dilakukan. Maka, sangat mungkin tingkat keterpaparan masyarakat yang mengkonsumsi media sosial cukup tinggi.
Oleh karena itu, MUI diharapkan, selain menjadi penengah antara kepentingan pemerintah dan masyarakat, juga menjadi lembaga penjaga umat dari berbagai kecenderungan ajaran atau ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti radikalisme dan terorisme tersebut.
Dengan demikian, sikap tegas MUI terhadap ajaran-ajaran yang bertentangan dengan nilai-nilai kesejatian Islam yang damai dan toleran, mesti terus dilakukan. Tidak perlu ragu untuk mengatakan tidak terhadap kelompok-kelompok tersebut sekali pun mereka adalah orang-orang Islam sendiri. Jangan sampai terkesan, MUI seperti kurang tegas apalagi dianggap melindungi mereka.
Dalam hal ini, komitmen MUI tidak lain adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Setiap kali ancaman muncul dan berpotensi merusak persatuan dan kesatuan tersebut, khususnya terkait kehidupan keagamaan, MUI mesti berada di garda terdepan untuk menangkalnya. Itulah sejatinya jati diri (khittah) MUI sejak awal didirikan di negara ini.
Perbedaannya hanyalah pada wujud ancamannya. Kalau dulu lebih pada gerakan kelompok yang ingin mendirikan negara Islam, sekarang lebih terlihat pada gerakan radikalisme dan terorisme. Tetapi, kedua wujud ancaman tersebut sebenarnya sama-sama berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau MUI kembali ke jati dirinya, yakni sebagai penengah, dan keterlibatan mereka di tengah-tengah masyarakat untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan bersama-sama dengan komponen masyarakat lainnya, misalnya, dengan menangkal semua ajaran yang mengancam kehidupan keagamaan, maka peran lembaga ini akan semakin kuat dan menonjol. Dan, pada akhirnya akan mendapatkan apresiasi dari banyak pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Selamat milad MUI!