Penyebab kematian almarhum Munir Said Thalib masih menjadi misteri bahkan setelah 12 tahun kepergiannya. Bahkan Pollycarpus yang merupakan salah satu pelaku lapangan telah menghirup udara bebas setelah menjalani masa pidananya.
Komisi Informasi Pusat (KIP) telah memutuskan kalau dokumen laporan Tim Pencari Fakta kasus meninggalnya Munir (TPF Munir) harus diumumkan ke publik. Namun, melalui Sekretariat Negara yang merupakan tergugat dalam sengketa informasi tersebut, negara merespons dengan menyatakan kalau dokumen arsip laporan hasil TPF Munir tidak ada di Sekretariat Negara (hilang), atau patut diduga sengaja untuk dihilangkan atau untuk dikuasai sendiri.
Putusan KIP tersebut adalah langkah maju mengungkap kebenaran penyebab kematian Munir. Akan tetapi pernyataan Sekretariat Negara yang menyatakan arsip laporan hasil TPF tersebut tidak ada (hilang) membuat upaya pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan kembali harus tertunda.
Respons cepat Presiden Jokowi terhadap hilangnya dokumen laporan hasil TPF dengan memerintahkan Jaksa Agung untuk mencari dokumen tersebut memang harus diapresiasi. Namun, pada sisi lain, langkah Presiden tersebut dinilai sangat tidak tepat karena hanya akan memperpanjang rantai impunitas bagi pelaku yang menjadi otak pembunuhan Munir.
Memperlama pengungkapan kebenaran penyebab kematian Munir adalah menunda terungkapnya kebenaran dan tegaknya keadilan. Artinya, langkah cepat dan efektif harus dipilih dan diputuskan oleh Presiden Jokowi mengingat telah 12 tahun tidak jua diketahui siapa yang menjadi otak pembunuhan Munir.
Setidaknya ada tiga langkah penting yang bisa diambil oleh Presiden Jokowi dalam menyikapi perkembangan terkait dengan pengungkapan kasus Munir.
Pertama, memanggil kembali TPF Munir yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemanggilan ini bertujuan untuk meminta kembali dokumen laporan hasil TPF Munir mengingat pembentukan TPF Munir berdasarkan kewenangan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang diatur dalam UUD 1945.
Selain itu, langkah pemanggilan ulang akan lebih menyederhanakan proses dan waktu untuk memperoleh dokumen laporan hasil TPF Munir dibandingkan dengan menyuruh Jaksa Agung untuk mencarinya. Apalagi beberapa orang anggota TPF Munir bentukan Presiden Yudhoyono telah menyatakan kesediaan untuk kembali menyerahkan dokumen laporan hasil TPF Munir.
Kedua, membentuk TPF Munir yang baru. Sebagaimana diungkapkan oleh Hendardi bahwa salah satu rekomendasi TPF Munir bentukan Presiden Yudhoyono dengan membentuk TPF Munir yang baru. TPF Munir yang baru tersebut harus diberikan kewenangan yang lebih luas daripada TPF Munir sebelumnya (Tempo edisi 17-23/10/2016).
Ketiga, Presiden harus memerintahkan Kapolri dan Jaksa Agung untuk melakukan penyelidikan atau penyidikan atas hilangnya dokumen laporan hasil TPF yang telah diserahkan kepada Presiden Yudhoyono pada 24 Juni 2005.
Rekomendasi ketiga ini sejatinya merupakan langkah penting dalam mengungkap aktor yang katanya gerah dengan kritik dan aktivitas Munir sebagai penggiat hak asasi manusia (HAM). Sebab, posisi dokumen laporan hasil TPF Munir memiliki dua makna. Pertama, sebagai arsip negara dan yang kedua sebagai dokumen penting yang sangat menentukan bagaimana keberlanjutan proses hukum pengungkapan penyebab kematian Munir.
Hilangnya dokumen tersebut ataupun sengaja untuk dikuasai sendiri dengan bertujuan menutupi fakta sebagaimana tertulis dalam laporan TPF Munir tersebut secara disengaja artinya sama saja telah melakukan upaya untuk menghalang-halangi atau merintangi proses hukum yang bertujuan mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan (obstruction of justice).
Apalagi delik obstruction of justice telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta undang-undang lainnya. Dengan begitu, aktor-aktor yang menerima dan menguasai dokumen laporan hasil TPF Munir harus diselidiki satu persatu setelah TPF Munir melaporkan hasil kerjanya kepada Presiden Yudhoyono. Hal ini sangat penting untuk menunjukkan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menegakkan hukum tidak tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Bukan begitu, Pak Jokowi?