Jumat, Maret 29, 2024

Menakar Kompleksitas Pemerintahan Baru Israel

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Politik domestik Israel mengalami komplikasi hebat pasca pemilu dipercepat beberapa hari lalu. Hasil pemilu menunjukkan tak ada blok yang bisa membentuk pemerintahan sendiri. Pemerintahan Israel bersifat parlementer: pemerintahan didasarkan pada jumlah koalisi dalam parlemen. Angka minimal untuk membentuk pemerintahan adalah separuh jumlah anggota plus satu, yakni 61 anggota Knesset.

Sementara kedua blok, baik Kanan-Agama pimpinan Netanyahu maupun Kiri Tengah pimpinan Benny Gantz, dipastikan tak mencapai angka itu. Blok pertama hanya memiliki kursi 55, sedangkan blok kedua sedianya memiliki 57 kursi, ini pun dengan catatan joint list turut mendukung.

Pada perkembangan terkini, sesudah konsultasi panjang dan melelahkan para pemimpin partai dengan presiden, mendadak suara Joint List (Partai-Partai Arab di Israel) terpecah. Balad, salah satu anggota Joint List, menolak mendukung Gantz.

Presiden Israel Reuven Rivlin pun memberi mandat kepada Netanyahu untuk membentuk pemerintahan (25/9). Meski Likud kalah dari partai Biru Putih, tapi jumlah kursi koalisi yang berhasil digalang sedikit lebih banyak daripada koalisi Biru Putih.

Sebenarnya ada delapan kursi tersisa, yakni milik partai Yizrael Beituna. Ia bisa jadi kartu kunci. Jika partai ini mau bergabung dengan salah satu koalisi, maka pemerintahan baru Israel mudah terbentuk. Tapi, Lieberman, ketua partai ini, benar-benar “alergi” bergabung dengan Netanyahu, dan jelas berbeda haluan dengan partai Biru Putih pimpinan Gantz. Hampir tak mungkin bagi partai ultranasionalis ini untuk berkompromi dengan koalisi Biru Putih, khususnya dalam masalah-masalah perdamaian dengan Palestina.

Pembentukan pemerintahan baru Israel kembali dibayang-bayangi ancaman deadlock lagi. Kemungkinan Netanyahu gagal membentuk pemerintahan dalam 20 hari ke depan cukup besar. Sebagaimana diketahui, pemilu ini adalah pemilu dipercepat setelah kegagalan pembentukan pemerintahan sebelumnya.

Sebelumnya, pembentukan pemerintahan gagal dengan tak tercapainya kompromi mengenai pengecualian wajib militer bagi remaja yang sedang belajar agama Yahudi Orthodox. Netanyahu bersedia mempertahankan pengecualian itu, sementara “calon kawan” koalisinya, Yizrael Beituna, bersikeras meminta itu dihapus. Pemilu pun gagal melahirkan pemeritahan baru saat itu. Situasi itu juga terbayang kembali dalam proses pembentukan pemerintahan saat ini.

Saling Mengunci

Sangat sulit membentuk koalisi pemerintahan dengan hasil pemilu sekarang, kecuali melalui pembentukan pemerintahan persatuan. Artinya, kedua blok atau sebagiannya bergabung dengan blok lain. Tapi, hal ini tak mudah terjadi dalam lanskap politik Israel.

Partai-partai di Israel bukan partai pragmatis, apalagi oportunis. Mereka bahkan sangat ideologis dan loyal dengan platform partai dan konstituen. Mereka lebih baik tak memperoleh kue kekuasaan daripada mendapat catatan buruk dari konstituen. Mereka tak terbiasa mengorbankan platform partai atau kepentingan konstituen hanya untuk kursi kekuasaan.

Kedua pihak pada mulanya setuju untuk membangun pemerintahan persatuan. Partai yang relatif di luar dua blok ini, yakni Yizrael Beituna, pimpinan Lieberman, juga menyerukan hal itu sejak awal. Faktanya, beberapa usaha sudah dilakukan dan kembali menemui kegagalan. Persoalannya adalah siapa yang berhak memimpin koalisi? Apakah Netanyahu, pimpinan blok Likud, ataukah Gantz, pimpinan blok Biru Putih? Ataukah ada rotasi kepemimpinan seperti masa Shamir dan Rabin?

Gantz seharusnya lebih berpeluang, setidaknya ia adalah pemimpin partai dengan suara terbanyak dalam pemilu ini. Tapi, faktanya, ia pun tak berhasil membangun kesepakatan dengan partai lawan.

Di sinilah letak persoalannya. Kedua pihak saling mengunci. Gantz dan koalisinya secara umum benar-benar tak mau dipimpin oleh Netanyahu yang sedang dibelit sejumlah kasus hukum. Pemerintahan persatuan bisa dipimpin oleh Likud, tapi syarat Gantz cs adalah Netanyahu mundur sebagai pimpinan partai itu. Tapi, ini jelas tak mudah.

Netanyahu mati-matian mempertahankan posisinya sebagai perdana menteri. Sebab, ia membutuhkan imunitas dari kasus hukum yang membelitnya beberapa tahun terakhir. Dan itu hanya dimiliki ketika ia jadi perdana menteri. Posisi sebagai menteri saja tak membuatnya imun dari kasus hukum. Ia bisa segera diadili atas sejumlah kasus hukum.

Melihat konstelasi ini, prospek perdamaian Israel Palestina sebenarnya lebih memiliki peluang daripada hasil pemilu sebelumnya. Kendati ketidakpastian menyelimuti pembentukan pemerintahan kali ini, kegagalan blok Likud untuk mendominasi Knesset kali ini jelas sesuatu yang menggembirakan. Kampanye yang ditebar Netanyahu sungguh buruk bagi masa depan perdamaian. Ia berusaha mengambil hati pemilih Israel yang makin condong ke ideologi “Iron Wall” dengan isu-isu provokatif seperti aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat.

Celakanya, kekalahan partai Likud tak disertai keberhasilan koalisi Biru Putih untuk mengumpulkan dukungan parlemen melebihi koalisi Netanyahu. Kepercayaan antara partai-partai Arab di Israel dengan Partai berhaluan “dovist” terlihat masih sangat lemah. Karena itu, Gantz gagal meyakinkan seluruh partai Arab untuk mendukungnya yang mengakibatkan dia gagal memperoleh mandat dari Presiden untuk membentuk pemerintahan.

Menguatnya suara koalisi Biru Putih dan partai-partai Arab sebenarnya memberikan harapan penting. Yang sempat menggembirakan lagi, Gantz tertarik untuk mengajak koalisi dengan partai Joint List yang merupakan gabungan partai-partai Arab di negara Israel. Menurut diskusi penulis dengan sejumlah profesor Arab yang menjadi warga negara Israel, partai Arab sering jadi pemenang ketiga dalam pemilu. Tapi, tidak pernah mereka diajak bicara untuk membentuk koalisi pemerintahan.

Kecenderungannya, partai Arab menjadi musuh bersama. Sempat dirangkulnya partai Arab sesungguhnya adalah tanda-tanda baik bagi proses perdamaian. Bagaimanapun, partai ini dapat membantu memperjuangkan terwujudnya perdamaian melalui Knesset maupun keterlibatannya dalam pemerintahan jika pemerintahan bisa terbentuk.

Faktanya, Netanyahu yang memperoleh mandat. Kita berharap Netanyahu gagal membangun pemerintahan. Hasil pemilu kali ini, bagaimanapun, adalah momentum berharga bagi arah baru Israel yang lebih pro perdamaian. Sekali lagi, dengan catatan Netanyahu gagal lagi membentuk pemerintahan dan blok Biru Putih mendapat mandat membangun pemerintahan yang menyertakan partai-partai Arab.

Menilik kuatnya anti-Bibi di kalangan politisi dan masyarakat Israel, peluang Netanyahu berhasil membentuk pemerintahan memang masih ada, meski sangat tipis.

Sudah 19 tahun proses perdamaian Israel-Palestina dapat dikatakan macet. Proses perdamaian serius terakhir adalah tahun 2000, yakni perjanjian Camp David II yang nyaris menciptakan perdamaian historik. Sesudah itu proses konferensi atau pembicaraan yang digelar praktis hanya basa basi belaka. Tak ada agenda besar untuk mendiskusikan isu-isu yang membelit.

Kita berharap usaha Netanyahu membentuk pemerintahan gagal dilakukan dalam waktu 20 hari ini sehingga peluang diberikan kepada koalisi lain yang lebih pro perdamaian. Kita berharap pemerintahan baru Israel, jika terbentuk nanti, dapat membuat proses perdamaian makin kondusif, setidaknya membuat peluang untuk mendorong proses negosiasi kembali terbuka.

Kolom terkait

Israel Pasca Netanyahu Keok

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.