Sabtu, April 20, 2024

Menakar Kesungguhan Partai dalam Pilkada

Asrinaldi Asril
Asrinaldi Asril
Pengajar Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang
Pasangan calon Bupati dan Wabup Klaten nomor urut 1 Mustafid Fauzan - Sri Harmanto, nomor 2 One Krisnata - Sunarto, dan nomor 3 Sri Hartini - Sri Mulyani, mengikuti debat terbuka tahap kedua di Klaten, Jawa Tengah, Senin (9/11). Debat terbuka tahap kedua Pilkada Kabupaten Klaten diselenggarakan dengan tema "Kesejahteraan Rakyat." ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/kye/15.
Pasangan calon Bupati dan Wabup Klaten nomor urut 1 Mustafid Fauzan – Sri Harmanto, nomor 2 One Krisnata – Sunarto, dan nomor 3 Sri Hartini – Sri Mulyani, mengikuti debat terbuka tahap kedua di Klaten, Jawa Tengah, Senin (9/11). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/kye/15.

Benarkah partai politik telah bersungguh-sungguh memperjuangkan calon kepala daerah yang diusung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada)? Pertanyaan ini perlu diajukan karena dari kecenderungan yang terlihat partai justru tidak lagi peduli dengan calon kepala daerah yang diusungnya. Bahkan ada kesan bahwa partai menyerahkan semua proses pemenangan calon kepala daerah ini kepada calon itu sendiri.

Yang menarik, pengurus partai seolah-olah tidak lagi mau tahu dengan calon kepala daerah yang bertanding dalam pilkada tersebut. Hal ini sangat kontras dengan masa pendaftaran calon yang semua pengurus partai politik tampak sibuk memfasilitasi bakal calon kepala daerah untuk mendaftar di partai mereka. Bahkan menjelang pendaftaran calon kepala daerah ditutup, intensitas komunikasi elite partai dengan calon kepala daerah ini semakin tinggi agar kesepakatan mereka tercapai.

Sayangnya, fenomena ini bertolak belakang dengan kenyataan di masa kampanye. Setelah penetapan calon kepala daerah dilakukan, komunikasi calon kepala daerah dengan pengurus partai cenderung berkurang. Malah yang terlihat partai politik seperti lepas tangan dengan urusan pemenangan ini. Apalagi jika calon kepala daerah tidak memiliki logistik yang cukup untuk mengerakkan mesin politik partai yang telah mengusungnya.

Ini semua bermula dari ketidakmampuan calon menyediakan uang untuk memfasilitasi kerja mesin partai. Akibatnya, mesin partai pun mogok bekerja. Pada akhirnya kader partai politik yang mulanya ingin membantu memenangkan calon kepala daerah justru memilih menjadi penonton. Mereka hanya memantau dari luar apa yang dikerjakan calon dan tim pemenangannya.

Ini sungguh menyedihkan di tengah keinginan partai politik menguasai proses pemilihan kepala daerah. Jamak diketahui Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menempatkan partai politik sebagai aktor utama yang menentukan siapa yang layak dicalonkan jadi kepala daerah. Celakanya, peran itu sengaja tidak dimanfaatkan dengan baik dan malah membiarkan calon yang diusung bekerja sendiri.

Anehnya lagi pengurus dan kader partai baru mau bekerja jika ada imbalan yang diberikan kepada mereka untuk dikelola agar bisa memenangkan pilkada tersebut. Pragmatisme politik seperti ini sepertinya telah menjadi tradisi yang terus diwariskan dalam setiap pilkada.

Kenyataan ini bertolak belakang dengan konsep ideal sebuah partai politik yang hadir untuk mendapatkan kekuasaan melalui keikutsertaannya dalam pemilu dan pilkada. Langkahnya jelas bahwa untuk memenangkan pilkada, partai politik harus berusaha mencalonkan individu yang berkualitas dan berpotensi menang. Tidak jarang untuk mewujudkan keinginan ini, partai akan berjuang keras membantu calon kepala daerah untuk memenangkan pilkada.

Tentu kemenangan dalam pilkada akan mengangkat kredibilitas dan marwah partai di hadapan pendukungnya. Selain menjadi kebanggaan kader, nama besar partai akan terbangun dalam ingatan publik, khususnya menghadapi pemilihan yang lebih besar lagi, yaitu pemilu. Sayangnya, pemahaman seperti ini tidak begitu menjadi perhatian pengurus partai di daerah. Jika calon kepala daerah yang mereka usung tidak mampu menyediakan pembiayaan yang cukup, maka pengurus partai cenderung memilih untuk bersikap pasif dalam pilkada.

Melihat kenyataan ini sebenarnya dapat dipahami bahwa partai politik telah gagal menanamkan idealisme kepada kadernya. Kader partai terombang ambing dalam pragmatisme politik yang lazim dilakukan elitenya. Tak adanya teladan dari elite partai membuat kader di daerah kehilangan pegangan. Akibatnya, tidak sedikit kader partai di daerah yang hanya bekerja untuk imbalan tertentu. Karenanya tidaklah mengherankan jika masuknya kader baru ke partai politik lebih termotivasi kepada pemenuhan kepentingan dan bukan karena panggilan idealisme politiknya untuk kemajuan bangsa.

Keadaan ini tentu harus segera diperbaiki sebelum kepercayaan masyarakat mencapai titik nadir. Indikasi semakin rendahnya kepercayaan masyarakat bisa dilihat dari berkurangnya sikap hormat publik kepada elite partai. Secara tidak langsung fakta ini juga membuktikan ada yang salah dengan pengelolaan partai di Indonesia. Apalagi dengan dilaksanakannya pilkada, partai menjadi kekuatan politik yang dominan dalam menentukan setiap tahapan dalam pilkada. Ketika partai politik tidak bisa memainkan fungsinya dengan baik, pelaksanaan pilkada tentu akan bermasalah.

Karena itu, UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota mesti mulai direvisi, terutama dari aspek tahapan dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam pilkada. Misalnya, dari aspek pencalonan yang harus didahului dengan mekanisme uji publik. Uji publik ini bertujuan untuk mengantisipasi berkembangnya politik uang dan dominasi partai untuk menentukan bakal calon yang akan dipilih masyarakat.

Sebenarnya mekanisme uji publik ini sudah ada dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang menjadi rancangan UU Pilkada. Akan tetapi, pasal tentang uji publik ini telah dihapus oleh partai politik. Dampaknya justru bisa disaksikan sekarang. Betapa publik di daerah kecewa dengan proses pencalonan yang justru disertai dengan transaksi tertentu.

Selain itu, perlu ada kewajibkan bagi partai politik untuk sadar dengan tanggung jawabnya ketika mengambil peran aktif sebagaimana desain yang mereka inginkan dalam UU Pilkada. Elite partai harus menyadari bahwa setiap proses pilkada yang mereka ikuti adalah bagian dari akuntabilitas mereka terhadap masyarakat di daerah. Kelemahan kita selama ini adalah ketidakberanian untuk memberikan sanksi politik kepada partai yang tidak konsisten melaksanakan fungsinya. Bahkan elite partai tidak merasakan adanya beban moral ketika mereka gagal melaksanakan fungsi partai dalam masyarakat.

Asrinaldi Asril
Asrinaldi Asril
Pengajar Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.