Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bermaksud memperluas kebijakan ganjil genap untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Rencananya, kebijakan ini akan diterapkan pada setiap Senin sampai Jumat, kecuali Hari Libur Nasional, dari pukul 06.00 – 10.00 dan 16.00 – 21.00. Kendaraan bernomor plat ganjil beroperasi pada tanggal ganjil, dan kendaraan bernomor plat genap beroperasi pada tanggal genap. Sejak 7 Agustus sampai 8 September ini adalah periode sosialisasi; adapun pemberlakuan ganjil genap ini mulai 9 September 2019.
Sejumlah ruas jalan yang terkena kebijakan tersebut antara lain: Jl. Pintu Besar Selatan, Jl. Gajah Mada, Jl. Hayam Wuruk, Jl. Majapahit, Jl. Medan Merdeka Barat, Jl. M.H Thamrin, Jl. Jenderal Sudirman, Jl. Sisingamangaraja, Jl. Panglima Polim, Jl. Fatmawati (mulai simpang Jl. Ketimun 1 sampai simpang Jl. TB Simatupang), Jl. Suryopranoto, Jl. Balikpapan, Jl. Kyai Caringin, Jl. Tomang Raya, Jl. Jenderal S. Parman (mulai dari simpang Jalan Tomang Raya sampai simpang Jalan KS. Tubun), Jl. Gatot Subroto, Jl. M.T Haryono, Jl. H.R. Rasuna Said, Jl. D.I Panjaitan, Jl. Jendral A. Yani (mulai simpang Jl. Perintis Kemerdekaan sampai simpang Jl. Bekasi Timur Raya), Jl. Pramuka, Jl. Salemba Raya, Jl. Kramat Raya, Jl. St. Senen, dan Jl. Gn. Sahari.
Sebagai pengecualian, ada beberapa kendaraan bermotor yang boleh memasuki kawasan ganjil genap ini, yakni kendaraan yang membawa masyarakat disabilitas, ambulans, pemadam kebakaran, angkutan umum (plat kuning), kendaraan listrik, sepeda motor, angkutan barang khusus BBM dan BBG. Selain itu adalah kendaraan para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara Republik Indonesia yakni: Presiden/Wakil Presiden; Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Daerah, dan Ketua Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi/Komisi Yudisial/Badan Pemeriksa Keuangan.
Pengecualian juga berlaku untuk kendaraan dinas operasional berplat dinas, TNI dan POLRI, kendaraan Pimpinan dan Pejabat Negara Asing serta Lembaga Internasional yang menjadi tamu negara, kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas, kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Polri, seperti kendaraan pengangkut uang (Bank Indonesia, antarbank, pengisian ATM) dengan pengawasan dari Polri.
Selain jalan-jalan tersebut, sejumlah gerbang tol yang akan mengarah pada rute yang dikenakan ganjil genap juga dikenakan kebijakan ini, sehingga bisa meminimalisasi pelanggaran karena yang akan melanggar sudah dicegat di awal perjalanan.
Tidak Diskriminatif
Perluasan ganjil genap ini bukanlah kebijakan baru. Ini mengulang kebijakan yang sudah dilaksanakan pada saat ASIA GAMES dan ASIA PARA GAMES 2018 yang dirasakan sukses karena target perjalanan atlet dari penginapan ke venue dan sebaliknya 30 menit dapat tercapai, dan masyarakat saat itu juga bisa menerimanya. Tapi, memang konteks permasalahannya agak berbeda. Saat itu ibaratnya negara sedang punya hajatan besar, sehingga ketika sejumlah jalan ditutup untuk kepentingan memperlancar hajatan, warga bisa memakluminya, karena hajatan itu biasanya sebentar saja, tidak selamanya.
Sedangkan kebijakan perluasan ganjil genap sekarang ini adalah untuk selamanya, karenanya respons publik mungkin berbeda dengan saat itu. Saat itu masyarakat bisa dibilang dapat menerima penuh, terbukti tidak ada keluhan atas kebijakan ganjil genap yang sehari penuh.
Tetapi saat ini sikap masyarakat terhadap kebijakan perluasan ganjil genap ada yang setuju, tapi ada pula yang menolak dengan argumen mereka masing-masing. Bagi yang setuju, kebijakan ini dianggap sebagai salah satu solusi kongkret untuk mengurangi kemacetan. Dengan adanya perluasan ganjil genap ini, masyarakat yang kendaraannya tak bisa beroperasi pada saat tanggal genap/ganjil, diharapkan dapat melakukan mobilitas geografis dengan menggunakan angkutan umum.
Adapun mereka yang menolak umumnya menganggap bahwa layanan angkutan umum saat ini belum menjangkau seluruh wilayah Jakarta, dengan begitu perluasan ganjil genap dinilai akan mengganggu mobilitas mereka.
Sebagai pecinta dan pengguna angkutan umum, saya mendukung setiap kebijakan tentang pembatasan penggunaan angkutan pribadi, termasuk perluasan ganjil genap. Hanya saja saya berharap kebijakan tersebut tidak boleh diskriminatif: yang dibatasi pergerakannya hanya roda empat saja, tapi juga roda dua. Kalau roda dua susah dibatasi dengan sistem ganjil genap, maka perlu pembatasan dengan sistem wilayah atau kawasan, seperti pernah dilakukan pada tahun 2015-2016 yang menjadikan Jl. MH Thamrin dan Medan Merdeka Barat sebagai area yang terlarang untuk sepeda motor.
Dilihat dari teknis transportasi, kebijakan tersebut sudah tepat, sayangnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Bila mobil gerakannya dibatasi melalui sistem ganjil genap, sementara sepeda motor tidak ada pembatasan, maka kebijakan ini sebetulnya diskriminatif terhadap pengguna mobil pribadi. Memang, ganjil genap untuk sepeda motor sulit dilaksanakan, karena pengawasannya tentu tak mudah, mengingat motor sering zigzag sehingga polisi sulit mendeteksi plat nomor motor. Karena itu, kebijakan yang realistis diterapkan untuk sepeda motor adalah pembatasan dalam suatu kawasan.
Agar berdampak nyata terhadap pengurangan kemacetan di Jakarta, sehingga dapat menurunkan polusi udara, kebijakan ganjil genap perlu dilaksanakan secara konsisten untuk semua kendaraan roda empat, selain yang dikecualikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Artinya, usulan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bahwa taksi daring (taxi online) agar dikecualikan (tidak termasuk yang dikenakan ganjil genap), tentu tidak dapat diterima. Sebab, begitu ada pengecualian untuk taxi online, maka semua mobil pribadi nanti akan memasang stiker yang diusulkan Menteri Budi Karya agar dapat masuk ke kawasan ganjil genap. Bila hal ini terjadi, dijamin perluasan ganjil genap akan gagal total mengurangi kemacetan.
Mari Naik Angkutan Umum
Bagi warga DKI Jakarta yang sadar akan pentingnya udara bersih, sebetulnya tidak perlu keberatan dengan adanya perluasan kebijakan ganjil genap tersebut karena muaranya untuk kepentingan masyarakat sendiri. Jika jumlah kendaraan yang beroperasi berkurang dan kemacetan juga berkurang, udara akan lebih bersih dan yang akan menerima manfaatnya adalah masyarakat sendiri.
Keberatan boleh saja andaikan mobilitas mereka terganggu dengan adanya perluasan ganjil genap. Namun, berkaca pada situasi 25 tahun silam—ketika pergerakan warga DKI Jakarta masih didominasi dengan menggunakan angkutan umum—maka mobilitas warga Jakarta saat ini tidak akan terganggu dengan adanya perluasan kebijakan tersebut, mengingat sarana angkutan umum kita sekarang sudah memadai.
KRL Jabodetabek sekarang telah mampu mengangkut 1,1 juta penumpang per hari, BRT Transjakarta telah mampu mengangkut 850.000 orang perhari, MRT Lebak Bulus – HI mampu mengangkut 85.000 penumpang per hari dan kapasitas mereka bisa mencapai 270.000 penumpang. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk tidak mau naik angkutan umum.
Selama enam bulan terakhir saya telah naik semua rute Jak Lingko (Angkot yang sudah masuk dalam sistem manajemen PT Transportasi Jakarta/PT.TJ). Maka saya dapat mengetahui bahwa layanan angkutan umum di Jakarta itu sekarang telah menjangkau ke kampung-kampung yang sempit. Setelah turun dari Jak Lingko yang mengangkut dari lingkungan kampung, warga Jakarta dapat melanjutkan perjalanan dengan menggunakan Transjakarta, MRT, atau KRL Jabodetabek.
Proses integrase antarmoda yang baik ini tidak terjadi pada 25 tahun lalu. Kalau saat itu layanan angkutan umum masih buruk saja warga DKI Jakarta mau menggunakan angkutan umum, mengapa sekarang saat layanan angkutan umum sudah bagus, enggan menggunakan angkutan umum?
Jika dicermati, akar masalah keengganan masyarakat menggunakan angkutan umum bukan karena buruknya layanan, melainkan kemalasan mereka untuk berjalan sedikit saja guna mendapatkan angkutan umum. Kemalasan warga Jakarta untuk bergerak itu terlihat dari “sedikit-dikit naik motor.” Ke warung atau ke masjid yang hanya 100 meter saja naik motor. Kemalasan tersebut sebagai konsekuensi logis dari pemanjaan yang terlalu lama dengan mudahnya mendapatkan kredit motor.
Sikap manja tersebut perlu diperangi oleh Pemprov DKI Jakarta dengan memaksa warga DKI Jakarta naik angkutan umum. Tidak ada alasan lagi bagi warga DKI Jakarta untuk naik angkutan umum. Mari kita beramai-ramai naik angkutan umum setiap hari secara bergiliran agar Jakarta bebas macet tanpa harus membangun jalan baru dan agar udaranya bersih.
Fasilitas pedestrian yang bagus dan jalur sepeda perlu dibangun sampai ke kampung-kampung agar masyarakat mau jalan kaki menuju ke halte angkutan umum. Kota yang layak huni adalah kota yang sebagian besar pergerakan warganya dilakukan dengan mengunakan angkutan umum.
Kolom terkait
Ganjil Genap versus Ancaman Tol Layang Jakarta – Cikampek
Refleksi Sistem Ganjil-Genap dan Menanti ERP di Jakarta
Menggusur Motor dari Jalan-jalan Protokol