Rabu, Oktober 16, 2024

Mempertanyakan Wacana Koalisi Partai Islam Oleh PKS dan PPP

Rully Satria
Rully Satria
Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM

Menyatakan bahwa Islam hanya berhubungan dengan kehidupan spiritual, tanpa kita sangkut pautkan sama sekali dengan masyarakat dan negara, mungkin sama jauhnya dari kenyataan dengan menyatakan bahwa Islam telah memberikan sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang menyeluruh dan terperinci.

Fenomena yang terjadi sejak berakhirnya kolonialisme Barat pada pertengahan abad ke-20, negara-negara Muslim (Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaisya dan Aljazair) mengalami kesulitan dalam upaya ,ereka mengembangkan sintesis yang memungkinkan antara praktik dan pemikiran politik Islam dengan negara di daerah mereka masing-masing.

Di Indonesia, dalam hal hubungan politiknya dengan negara, sudah lama Islam mengalami jalan buntu. Baik pemerintahan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial, yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Dikarenakan alasan ini, sepanjang lebih baik dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan “menjinakkan” partai-partai Islam.

Akibatnya tidak saja para pemimpin dan aktivis Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945 (menjelang Indonesia meredeka) dan lagi pada akhir 1950-an (dalam perdebatan di Majelis Konstituante mengenai masa depan konstitusi Indonesia), tetapi para aktivis Islam ini juga disebut “kelompok minoritas” atau “kelompok luar”.

Gerakan Islam memiliki dinamika yang begitu menarik dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kelompok-kelompok Islam terus mengalami berbagai pasang-surut sejak sebelum Indonesia menjadi sebuah republik. Sebagai contoh, hal ini dapat terlihat dari kebijakan kolonial Belanda yang melemahkan gerakan Islam (Effendy 2009:4).

Setelah merdeka, Masyumi memang memenangkan pemilu pertama dengan kemampuannya untuk merepresentasikan diri sebagai wahana kepentingan politik Islam. Pada masa Orde Baru, negara mendorong aktivitas beragama tetapi mengekang aktivitas politik berdasarkan agama (2009:4).

Seolah menyambung pendapat sebelumnya, Hefner, seorang Indonesianis yang termasyhur, mengatakan bahwa gerakan Islam memperlihatkan afiliasinya dengan kelas menengah oposisi yang membuat rezim ketakutan (Hefner 2001:11). Kondisi yang penuh dinamika ini dapat dijadikan sebagai salah satu konteks pendorong kemunculan variasi gagasan Islam di Indonesia.

Sejarah panjang politik Indonesia modern, para aktivis politik Islam belum mampu membuat sebuah tradisi memerintah yang kuat, terkecuali era 1950-an, ketika beberapatokoh aktivis politik Islam diberi kepercayaan untuk memimpin kabinet dari kantor- kantor birokrasi yang penting terutama di Departemen Agama, sayangnya para aktivis politik Islam tidak memainkan peran penting dalam lembaga-lembaga negara dan kantor-kantor birokrasi, mereka malah mengambil sikap dan langkah menjauh dari negara.

Secara sosiologis sebenarnya ada keharusan intrinsik bagi para aktivis politik Islam untuk memainkan peran penting dalam proses pemerintahan dan pembuatan kebijakan di Indonesia, hal itu semata-mata karena umat Islam adalah kelompok masyarakat terbesar di negara ini.

Jika kita melihat dari peristiwa yang terjadi di antara 1945-1950 Islam politik telah berhasil dikalahkan secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat pemilihan umum maupun secara simbolik. Yang lebih menyedihkan lagi, Islam politik seringkali menjadi sasaran ketidakpercayaan, dicurigai menentang ideologi negara pancasila. Di sisi lain, para aktivis politik Islam memandang negara dengan mata curiga.

Terlepas dari keinginan negara untuk mengakui dan membantu umat Islam dalam mepratikkan ajaran agama mereka, mereka memandang negara tengah melakukan manuver untuk menghilangkan arti penting pemikiran politik Islam dan pada saat yang sama mendukung gagasan mengenai sebuah masyarakat politik yang sekuler.

Cara untuk mengatasi kesenjangan-kesenjangan di atas adalah para pemimpin dan aktivis Islam politik harus menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga politik dan birokrasi yang ada sekarang. Para pemimpin dan aktivis Islam politik harus dapat memainkan peran secara baik dalam proses-proses pembuatan kebijakan negara jika mereka memasuki lembaga-lemabag politik dan birokrasi yang formal.

Terkhusus, partisipasi mereka dalam hal ini akan menghapus kesan mengenai Islam yang memusuhi negara dan kantor-kantor birokrasi. Hal-hal diatas adalah pilar penting untuk menjamin terwujudnya cita-cita masyarakat Islam dan menata kehidupan Islam dalam kerangka tatanan sosial- politik dan ideologi yang dapat diterima secara nasional.

Seluruh pendekatan dan strategi di atas merupakan langkah-langkah yang harus diambil untuk memulihkan kembali harga diri dan citra para aktivisi politik Islam yang pada umumnya dipancang sebagai sasaran kecurigaan, bukan “orang dalam” atau kelompok minoritas dalam proses-proses politik di Indonesia. Hal ini penting untuk membangkitkan kembali rasa keterikatan umat Islam terhadap berbagai persoalan negara, yang sudah merosot antara lain dikarenakan kekalahan-kekalahan politik di masa lalu bukan dengan membuat wacana adanya koalisi Partai Islam.

Hal lain yang harus dikedepankan yaitu adanya tujuan sosial politik yang jelas seperti menolak gagasan negara Islam atau Ideologi Islam, tokoh-tokoh generasi seperti : Nurcholis Majid, M. Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, Akbar Tanjung telah memperlancar jalan bagi berlangsungnya integrasi ke dalam arus utama politik nasional. Jikalau dilihat dari pandangan politk praktis hal ini akan memperbesar kemungkinan bagi para pemimpin aktivis Islam politik hari ini untuk mempunyai suara dalam menentukan masa depan Indonesia atau terlibat dalam pembangunan nasional.

Hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia pada sebagian besar sejarahnya bercerita tentang hubungan yang tidak harmonis, terutama karena perbedaan-perbedaan para pendiri republik ini yang sebagian besar beragama muslim. Salah satu butir penting dalam perbedaan pendapat ketika negara ini berdiri apakah negara ini bercorak “Islam” atau “Nasionalis. Konstruksi kengeraan awal mengharuskan agar Islam karena Islam dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tetapi atas pertimbangan negara Indonesia yang majemuk, demi menjaga kesatuan nasional akhirnya konstruksi negara kita didasarkan pada Pancasila.

Dalam sejarah dahulu sempat terjadi pertarungan gagasan antara Soekarno dan Natsir perihal pemisahan Islam dan Negara, bukan keterkaitan secara formal antara Islam dan Negara. Natsir percaya watak holistic Islam, ia berpandanga bahwa “Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia itu adalah suatu kebudayaan yang lengkap”. Bagi Natsir, Islam tidak hanya terdiri dari praktik-praktik ibadah, melainkan juga prinsip-prinsip umum yang relevan mengatur hubungan antara Individu dan masyarakat.

Natsir berpikiran bahwa Islam hanya memberikan prinsip prinsip umum. Aturan-aturan yang lebih terperinci mengenai bagaimana sebuah negara harus diorganisasikan atau dijalankan tergantung kepada kemampuan para pemimpinnya melakukan ij’tihad dengan syarat hal-hal tersebut harus dilakukan secara demokratis. Dengan cara demikianlah tantangan-tantangan modernitas dapat dijawab. Berangkat dari beberapa pikiran Natsir ia menolak pandangan bahwa Islam menentang paham tentang kemajuan.

Pada saat pemerintahan Orde Baru, banyak pemimpin politik Islam yang menaruh harapan besar. Harapan itu tampak jelas di kalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikutnya selama periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Tetapi waktu Presiden Soeharto tidak terlalu berpihak untuk kemuculan Masyumi, malah setiap aktivitas politik mantan pemimpin Masyumi diikuti gerak geriknya, sehingga harapan kelompok Islam untuk memainkan peran pada era Orde Baru sirna.

Hari ini PKS dan PPP berupaya memainkan upaya untuk membuat gerbong yang sebelumnya telah dicoba namun tetap gagal yaitu Koalisi Partai Islam dalam pemilu. Berkaca dari hasil 4 periode pemilu cenderung suara partai Islam turun, tahun 2004 mendapatkan total 37,33%, pada tahun 2009 total suara partai islam 25,7%, pada pamilu 2014 29,7%, pada pemilu 2019 29,1% dan pada pemilu 2024 sepertinya akan mengalami penurunan kembali, dari beberapa hasil survei tidak ada potensi suara yang menjanjikan di antara Parpol dengan ideologi Islam mendapatkan trend yang baik, perlu kita pertanyakan kepada pembuat wacana ini apa yang melatar belakangi hadirnya wacana ini.

Rully Satria
Rully Satria
Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.