Peristiwa pemukulan terhadap guru Dahrul oleh Adnan dan anaknya di SMKN 2 Makassar pekan lalu merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Padahal semua terjadi karena sang guru memberi sanksi keras kepada siswa sebagai bentuk hukuman. Bahkan kelanjutannya, karena pemukulan ini, guru dan siswa SMKN 2 Makassar menyatakan akan mogok belajar.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengutuk pemukulan tersebut dan menyatakan hal tersebut tidak dapat ditoleransi.
Peristiwa kekerasan terhadap guru bukan hanya sekali-dua kali terjadi, tapi sudah terjadi berulangkali di seluruh Indonesia. Terdakwa guru di Sidoarjo, misalnya, harus mendapat vonis hukum percobaan dari pengadilan karena mencubit siswa. Tulisan ini lebih memfokuskan pada betapa perlunya melindungi guru. Ihwal perlindungan siswa akan dimuat pada tulisan lain.
Peristiwa memprihatinkan di Makassar menjadikan profesi guru berisiko tinggi, seperti profesi kesehatan. Perundungan dan kriminalisasi terhadap guru menjadikan semua pemangku kepentingan terhadap sekolah harus berpikir lebih mendalam bagaimana melindungi guru, juga siswa maupun keseluruhan pemangku kepentingan terkait masalah hukum ini.
Ihwal perlindungan profesi guru, kita bisa belajar dari profesi kesehatan. Selama ini profesi kesehatan seperti dokter, perawat, dan apoteker memiliki kerjasama erat dengan asuransi kesehatan dan asosiasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, dan Ikatan Apoteker Indonesia) terkait dengan tuntutan malpraktek dari pasien. Maka, jika terjadi tuntutan atau klaim malpraktek, biasanya hanya diselesaikan pada majelis konsil kedokteran, dan sangat jarang berakhir di pengadilan.
Hal ini tentu menjauhkan profesi kesehatan dari ancaman kriminalisasi dan kekerasan, karena masalah tuntutan malpraktek umumnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan dengan kompensasi yang pas dari pihak asuransi. Bisakah privelese perlindungan yang dinikmati para praktisi kesehatan juga dinikmati para guru?
Sebenarnya perlindungan profesi guru sudah diatur di Pasal 39 Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005. Semua pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan, baik pemerintah, yayasan, maupun publik, wajib mengupayakan perlindungan hukum, profesi, dan keselamatan pekerjaan kepada guru.
Sementara itu, Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2008 tentang Guru mengatur otonomi guru untuk memberikan sanksi kepada siswa yang melanggar norma kesusilaan. Namun, ternyata di era reformasi ini, implementasi terhadap UU dan PP tersebut masih jauh panggang dari api. Apakah yang terjadi?
Jika dilihat secara sosial maupun politik, ternyata kekuatan lobi asosiasi profesi guru tidak sekuat asosiasi profesi kesehatan ataupun profesi lain seperti advokat, teknik maupun agamawan. Salah satu indikatornya adalah bagian hulu dari profesi guru, yaitu penjaminan mutu program studi pendidikan guru itu sendiri. Sampai sekarang, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), selaku lembaga penjaminan mutu perguruan tinggi secara nasional, belum mengizinkan asosiasi profesi guru untuk membentuk Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi (LAM-PT) untuk melakukan akreditasi program studi pendidikan guru.
Sementara itu, pada rumpun kesehatan, BAN-PT sudah mengizinkan pembentukan LAM-PT untuk akreditasi prodi kesehatan secara mandiri oleh asosiasi profesi. Sebentar lagi rumpun ilmu teknik dan agama akan menyusul.
Di ujung lain, masalah di bagian hilir adalah keengganan BAN-PT memberikan mandat kepada asosiasi guru dikarenakan belum adanya peraturan yang mengaturnya, dan munculnya keberadaan beberapa asosiasi profesi guru, yaitu PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), IGI (Ikatan Guru Indonesia), dan PGMI (Persatuan Guru Madrasah Indonesia) yang menurut beberapa pengamat belum memiliki kepentingan yang sama.
Ini berbeda sekali dengan di rumpun kesehatan dan teknik, yang asosiasi profesinya tersentralistik kepada satu pihak saja. Keberadaan beberapa organisasi profesi guru ini tidak unik, karena pada profesi lain juga terjadi. Profesi advokat, misalnya, juga punya beberapa asosiasi profesi, namun mereka tetap solid dan bisa menjalankan perlindungan profesinya dengan sangat baik karena memiliki kerjasama yang solid dengan penegak hukum.
Sebenarnya PGRI dengan Polri sudah memiliki MOU bernomor: 1003/UM/PB/XX/2012 mengenai perlindungan guru. Tetapi implementasinya tetap belum optimal, karena kriminalisasi guru tetap saja terjadi. Karena itu, MOU tersebut perlu disosialisasikan lebih intensif kepada guru dan penegak hukum, agar semua pihak bisa memahami pentingnya perlindungan guru.
Di sisi lain, perwakilan PGRI sudah menyarankan kepada pemerintah dan DPR untuk menyusun UU Perlindungan Guru, untuk mengimbangi UU Perlindungan Anak. Namun hingga kini belum ada respons lebih lanjut.
Saya termasuk pihak yang kurang setuju sentralisasi asosiasi guru oleh negara kepada satu badan hukum. Sebab, hal tersebut tidak demokratis dan melanggar prinsip kebabasan berbicara (freedom of speech) yang tertera di Pasal 28 UUD 1945. Saya lebih menyarankan agar beberapa asosiasi guru yang berbeda tersebut menjalankan aliansi strategis untuk memperkuat lobi profesi guru kepada semua pemangku kepentingan dunia pendidikan.
Semua perbedaan pendapat dan perdebatan yang selama ini terjadi di antara asosiasi yang berbeda tersebut harus dikesampingkan, karena profesi guru sebenarnya memiliki satu kepentingan, yaitu agar semua instrumen perundangan dan peraturan perlindungan guru dapat diimplementasikan secara optimal. Dengan begitu, profesi guru mendapat perlindungan seperti yang sudah dinikmati oleh profesi kesehatan dan advokat.
Walaupun kerjasama dengan pihak asuransi masih jauh dan belum memungkinkan, seharusnya pemerintah dan semua pemangku kepentingan memikirkan mekanisme yang terbaik jika masalah kekerasan ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan memerlukan kompensasi tertentu. Model asuransi kesehatan bisa dipelajari untuk itu.
Terkait akreditasi prodi pendidikan guru, jika semua profesi penting seperti kesehatan, teknik, dan agama sudah mengikuti instruksi BAN-PT untuk membentuk LAM-PT, maka profesi guru berada di persimpangan jalan. Dengan adanya beberapa organisasi profesi guru, siapakah yang harus memegang mandat untuk membentuk LAM-PT?
Jika menggunakan kacamata ilmu politik, solusinya tidak rumit. Semua buku teks kebijakan pendidikan menekankan bahwa semua regulasi pendidikan merupakan luaran dari proses lobi politik antara pemerintah dan DPR. Jika semua asosiasi tersebut memiliki kepentingan yang sama, yaitu bekerjasama dan beraliansi untuk membentuk LAM-PT, maka regulasi turunannya akan bisa diatur kemudian oleh pemerintah dan DPR.
Hal ini sangat penting, sebab jika bagian hulu pendidikan guru bisa diperkuat penjaminan mutunya, maka bagian hilir, terutama dalam konteks kerjasama dengan penegak hukum, akan bisa diimplementasikan dan diperkuat dengan lebih baik lagi.
Penguatan bagian hulu akan berimplikasi pada penguatan bagian hilir. Semua saran ini sangat penting untuk penguatan profesi guru. Dengan demikian, guru akan menjadi profesi yang semakin dihormati dan jauh dari perundungan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.