Minggu, November 24, 2024

Membunuh Calon Perseorangan

Khairul Fahmi
Khairul Fahmi
Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), pengajar Hukum Tata Negara, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
- Advertisement -
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Punama (kanan) bersama Walikota Surabaya Tri Rismaharini (kiri) mengikuti Rapat Terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo bersama Menteri Kabinet Kerja membahas Penilaian Standar Bisnis di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (9/5). Rapat tersebut juga membahas mengenai kemudahan berusaha (ease of doing business), ijin investasi, IMB, pendaftaran properti, ijin PLN untuk penyambungan listrik, pembayaran pajak, perdagangan lintas negara, akses perkreditan, perlindungan pada investor minoritas, penegakan kontrak, serta penyelesaian perkara kepailitan. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/pd/16
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Punama di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (9/5). ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

Haluan perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang awalnya diarahkan untuk menjawab sederet catatan buruk yang ada, agaknya sedang dibelokkan Dewan Perwakilan Rakyat. Bukannya fokus memperbaiki ketentuan yang turut menyumbang hadirnya sejumlah masalah dalam Pilkada Serentak 2015, DPR justru mengutak-atik norma terkait calon perseorangan yang sesungguhnya sudah dapat dianggap selesai. Syarat dukungan sebesar 6,5 sampai 10 persen dari jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) hendak dinaikkan menjadi 11,5 sampai 15 persen dari jumlah penduduk.

Jika ditilik ke belakang, syarat 6,5 sampai 10 persen dalam UU No. 8/2015 merupakan hasil penambahan syarat dukungan sebagaimana diatur sebelumnya sebesar 3 sampai 6,5 persen dalam UU No. 12/2008. Yakni, penambahan dimaksud telah berdampak pada menurunnya jumlah kontestan Pilkada Serentak 2015 dibanding pada 2010.

Pada 2010 terdapat 1.083 pasangan calon di 244 pilkada, sementara dalam Pilkada Serentak 2015 hanya terdapat 827 pasangan calon di 269 daerah yang melaksanakan pilkada (Kompas, 1/3). Artinya, dengan syarat, 6,5 sampai 10 persen saja, terjadi penurunan jumlah kontestan dari rata-rata 4,5 pasangan calon per daerah menjadi 3 pasangan (Kompas, 21/4). Jika syarat tersebut kembali dinaikkan ke angka usulan DPR, bisa dipastikan jumlah kontestan pilkada akan mengalami penurunan hingga rata-rata 1,5 hingga 2 pasangan calon saja.

Urgensi Perseorangan
Tidak sekadar penurunan jumlah kontestan, di tengah buruknya proses pencalonan internal partai politik, jalur perseorangan tentu menjadi alternatif. Kanal perseorangan akan menjadi jalan lain untuk tampilnya calon-calon berkualitas yang tidak diberi ruang oleh parpol. Pada saat yang sama, perseorangan juga solusi untuk bagaimana menekan praktik mahar pencalonan yang sampai saat ini masih bercokol di benak para elite parpol.

Kalaulah keberadaan calon perseorangan memiliki arti penting, lalu untuk maksud apa DPR bersikukuh kembali menaikkan syarat dukungan calon perseorangan? Adakah langkah itu untuk tujuan memperbaiki sistem penyelenggaraan pilkada, atau malah sebaliknya?

Bila bertujuan baik, tentu DPR mesti menjelaskan, kelemahan apa yang terkandung dalam syarat dukungan 6,5 sampai 10 persen dari jumlah pemilih sehingga ia harus diubah? Kelemahan apa yang tersimpan sehingga dapat membahayakan bagi hadirnya pilkada yang kondusif, jujur, dan adil?

Lebih jauh, dalam putusan pengujian UU Pilkada, Mahkamah Konstitusi memang menyatakan, penentuan syarat dukungan merupakan open legal policy pembentuk UU, namun bukan berarti persyaratan dapat ditetapkan secara sewenang-wenang. Setiap syarat mesti berangkat dari landasan filosofi yang jelas, sehingga apa pun itu ia akan dapat dirumuskan sesuai tuntutan kebutuhan hukum penyelenggaraan pilkada.

Tanpa bisa menjelaskan itu, penilaian banyak kalangan bahwa memperberat syarat pengajuan calon perseorangan mengandung “maksud jahat” sulit dibantah. Apalagi, keinginan DPR menaikkan syarat ke angka yang hampir mustahil dipenuhi juga dibarengi dengan upaya menerabas putusan MK yang menegaskan basis syarat dukungan calon perseorangan bukanlah jumlah penduduk, melainkan pemilih. Pada gilirannya, kesimpulan bahwa langkah tersebut untuk menjegal calon perseorangan benar adanya.

Fokus Revisi
Dibanding membahas syarat dukungan calon perseorangan yang nyata-nyata telah ditentukan batas-batasnya oleh MK, jauh lebih produktif bila DPR menggunakan waktu menyelesaikan persoalan pencalonan oleh parpol yang mengalami dualisme kepengurusan dan masalah mahar politik pencalonan.

Ihwal pencalonan oleh parpol yang tengah berkonflik, DPR sebaiknya mengevaluasi kebijakan jangka pendek yang diambil Komisi Pemilihan Umum untuk menyelamatkan proses Pilkada Serentak 2015 yang lalu. Bagaimanapun, ruang pengajuan calon kepala daerah oleh dua kepengurusan berbeda dalam satu partai harus segera ditutup.

- Advertisement -

Setidaknya, tiga alasan berikut dapat menjadi dasar pijakan. Pertama, prinsip dasarnya adalah satu badan hukum tidak boleh dipimpin oleh dua otoritas yang berbeda. Itu artinya hanya ada satu otoritas sah yang dapat mengatasnamakan satu badan hukum. Dalam konteks itu, pencalonan oleh satu parpol hanya boleh dilakukan oleh satu kepengurusan. Untuk menentukan kepengurusan yang sah, UU Pilkada mesti memberi penegasan.

Kedua, berdasarkan pengalaman Pilkada 2015, pencalonan oleh dua kepengurusan berbeda telah menimbulkan kerumitan dan masalah serius, ketika sebagian besarnya berujung gugatan terhadap penyelenggara melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara maupun MK.

Ketiga, pencalonan oleh dua kepengurusan justru tidak mendukung upaya penyelesaian konflik parpol secara baik. Alih-alih membantu, langkah tersebut justru menjerumuskan parpol ke dalam konflik dan dualisme kepengurusan yang berkepanjangan.

Selain hal itu, DPR juga mesti mengoptimalkan energinya untuk menciptakan aturan yang dapat menekan sedemikian rupa praktik pemberian mahar pencalonan. Hal itu dapat dilakukan dengan sejumlah langkah berikut ini. Pertama, larangan pemberian mahar pencalonan dipertegas berikut dengan sanksi pembatalan sebagai peserta pilkada, larangan bagi parpol untuk menjadi peserta dan mengajukan calon pada pemilu/pilkada berikutnya.

Kedua, mengatur sistem pembuktian dan mekanisme penanganan dugaan pemberian mahar yang lebih sederhana sehingga dengan mudah bisa dilaksanakan. Ketiga, memperkuat kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam melakukan pemeriksaan dan pemberian rekomendasi pembatalan karena terbukti menggunakan mahar pencalonan.

Dua fokus revisi tahapan pencalonan yang ditawarkan di atas tentu akan terasa berat bagi parpol. Sebab, sekalipun hal itu akan berdampak baik bagi kemajuan penyelenggaraan pilkada, namun tidak cukup menguntungkan bagi parpol untuk jangka pendek. Hanya saja, bagi parpol yang masih menyimpan niat baik dan bernalar sehat, langkah tersebut tentu akan dipilih ketimbang sekadar memenuhi hasrat menjegal calon perseorangan.

Semoga nalar sehat itu masih menyertai parlemen ketika hendak melanjutkan pembahasan revisi UU Pilkada setelah masa reses nanti.

Khairul Fahmi
Khairul Fahmi
Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), pengajar Hukum Tata Negara, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.