Minggu, November 10, 2024

Membumikan Bunyi Pancasila (2)

Andar Nubowo
Andar Nubowo
Sekjen Public Virtue Institute (PVI) Jakarta, Mahasiswa S3 Filsafat dan Epistemologi Ecole Normale Superieure (ENS) Lyon Perancis
- Advertisement -

Belum lagi bicara tentang kapitalisme dunia pendidikan, ketidakadilan hukum dan politik yang masih menjadi fakta di negeri ini. Pancasila juga tampak tak berdaya untuk menjadi “guidance” bagi masyarakat dalam menghadapi perubahan radikal dalam kehidupan sosial dan budaya.

Modernitas dan globalisasi persis seperti Dewa Janus yang membawa kabar kehidupan sekaligus kabar kematian, sisi kebaikan sekaligus sisi keburukan. Modernitas mendorong invensi teknologi dan peningkatan kualitas hidup, tetapi pada saat yang sama, kohesivitas sosial meluruh, moralitas semakin kabur, kelangsungan lingkungan hidup terancam oleh polusi air, udara, dan tanah.

Sedangkan globalisasi membawa kebaikan dan keburukan yang bersifat lokal itu mengglobal, keluar dari batas-batas teritorial, ideologis, dan politik. Singkat kata, modernitas dan globalisasi menciptakan risiko di sana-sini, sehingga tercipta sebuah “masyarakat penuh resiko” (risikogesselschaft, a risk society).

Perubahan yang diusung modernitas dan globalisasi menimbulkan kegamangan identitas sosial dan budaya akibat arus deras modernitas dan globalisasi serta juga Reformasi. Nilai-nilai lama pudar dan tidak segera digantikan oleh nilai-nilai baru yang lebih kontekstual. Kegamangan ini persis kondisi seperti yang digambarkan Mochtar Lubis, “wajah lama kita sudah tak tampak jelas di cermin, tapi wajah baru tak kunjung berbentuk jua”.

Karena kegamangan identitas ini, keramahtamahan, kehangatan, kegotongroyongan, dan kesantunan individual dan publik tergantikan oleh keberingasan, kebencian, kesalingtidakpercayaan, amok dan amarah. Sekarang ini, amok atas nama ideologi non Pancasila mewabah seakan adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, lumrah, dan tidak perlu disikapi sebagai sebuah ancaman, gangguan, bagi NKRI yang ber-UUD 1945, ber-Pancasila dan ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam kondisi yang ganjil ini maka menurut Jean Paul Sartre (1948) sikap dan tindakan penuh cinta dan kasih sayang adalah sebuah keganjilan.

Mengazalikan Indonesia

Berbagai persoalan dan anomali yang terjadi dewasa ini tidak lantas menggerus kesetiaan kita pada Pancasila. Tetapi, seharusnya pelbagai tantangan itu malah membuat kita semakin kreatif dan inovatif untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila dan membumi-bunyikan dalam sebuah sistem dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan, berkemakmuran dan berkesejahteraan.

Untuk itu, pertama-tama yang perlu dibangun adalah karakter bangsa. Pembangunan karakter ini harus didasarkan pada prinsip, nilai, dan kebudayaan bangsa Indonesia yang hakikatnya telah terkandung dalam kelima sila Pancasila. Dengan kata lain, pembangunan bangsa harus bersumber pada Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara.

Pembangunan karakter terkait erat dengan penanaman kebajikan-kebajikan moral. Kebajikan moral, menurut Aristoteles, tidak datang dengan sendirinya, namun manusia mempunyai kemampuan untuk mengembangkan dan menggapainya secara terus menerus. Oleh karena itu, Aristoteles melihat bahwa lembaga pendidikan yang dilangsungkan oleh lembaga politik atau negara sangat penting nilainya bagi pencapaian les vertus morales, di kalangan setiap warga bangsa.

Oleh karena itu, negara bertanggung jawab menyediakan pendidikan yang berkualitas, sehingga setiap warga bangsa dapat mencerap kebajikan moral (vertu morale) yang mendorongnya giat untuk berpartisipasi dalam proses-proses pembangunan nasional.

- Advertisement -

Pembangunan karakter juga dimaksudkan untuk mewujudkan sebuah bangsa yang berkarakter jujur, mandiri, bekerja-sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos kerja tinggi, membentuk kepribadian atau jatidiri bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, berbudi luhur, toleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi iptek, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berdasarkan Pancasila.

Selaras dengan pengarusutamaan karakter bangsa yang kuat, diperlukan jihad kebangsaan untuk membumi-bunyikan Teks Agung Pancasila itu dalam sebuah sistem dan kebijakan negara dan perundangan yang pro-rakyat, bukan pro-elit atau penguasa. Untuk itu, gagasan Kuntowijoyo soal “radikalisasi Pancasila” patut untuk diperhatikan. “Radikalisasi” dalam arti ini adalah revolusi gagasan, demi membuat Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini dikelola dengan benar.

Radikalisasi Pancasila dimaksudkan untuk; mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara (ideologisasi), mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu (objektifikasi), mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antar sila, dan korespondensi dengan realitas sosial (sumber referensial), Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, dan  menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

Radikalisasi Pancasila dimaksudkan untuk menciptakan “kaki-kaki operasional” Pancasila di setiap lini kehidupan. Untuk itu, kita perlu upaya untuk mengazalikan Pancasila sebagai ideologi negara. Ideologisasi Pancasila perlu dilakukan secara dialogis dan terbuka, sebab Pancasila bukanlah sebuah ideologi tertutup. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila tentu perlu bersikap luwes sekaligus tegas terhadap ideologi-ideologi lain.

Ideologisasi Pancasila yang tertutup—sebagaimana yang dilakukan pada pemerintahan sebelum Reformasi, justeru kontraproduktif terhadap penciptaan kebudayaan Pancasila yang berakar dalam.

Pancasila sebagai ideologi terbuka, tentu saja, mensyaratkan langkah objektifikasi Pancasila menjadi sebuah ilmu, budaya, dan sistem, yang dibangun di atas pondasi rasionalitas kritis. Melalui objektifikasi maka Pancasila bukan hanya sekumpulan perangkat prinsip dan nilai ideologis yang bisu dan tuli dari perubahan dan perkembangan jaman, sebaliknya ia aktif berdialog dengan tempus dan locus.

Ketika Pancasila berhasil diobjektifikasi maka Pancasila adalah sebuah sistem keilmuan dan kebudayaan yang dapat dijadikan sebagai alat ukur konsistensi dan koherensi setiap perundang-undangan sehingga tetap setia, selaras, dan koheren dengan sila-sila Pancasila dan sesuai dengan realitas empiris sosial, politik, ekonomi dan keadilan masyarakat.

Dalam konteks inilah, Pancasila diharapkan lebih dapat memberi arti atas keberadaan rakyat banyak, bukan berkhidmat bagi syahwat dan hasrat politik, ekonomi, dan hukum kaum elit penguasa feodalistik dan egoistik. Menjadikan Pancasila sebagai ideologi, ilmu, budaya dan alat kepentingan rakyat berarti pula menjadikan Pancasila sebagai kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh negara.

Akhirul kata, upaya serius pembangunan karakter bangsa dan radikalisasi Pancasila pada dasarnya merupakan jihad kebangsaan yang bertujuan untuk mengukuhkan dan mengokohkan Pancasila sebagai penjamin keazalian Indonesia sebagai sebuah “negara paripurna”, bukan sebuah “negara antara”.

Sebaliknya, jika proyek pembangunan karakter dan radikalisasi ini gagal maka ideologi-ideologi yang selama ini menjadikan Indonesia sebagai “negara antara” saja bakal menemukan momentumnya untuk memuseumkan nama Indonesia di abad 21 ini. Tuhan Maha Tahu. (Habis).

Terkait

Membumikan Bunyi Pancasila (2)

Daftar Pustaka

Ernest Renan, Qu’est-ce qu’une nation? Yang disampaikan dalam kuliah di Universitas Sorbonne Paris pada 11 Maret 1882.

Hajriyanto Y Thohari, “Menguji Konstitusionalitas: Mungkinkah?”, Seputar Indonesia,  13 Juli 2011

Jacques Lacan, « L’étourdit », Silicet n° 4, éditions du Seuil 1973

Jean Paul Sartre, Situation II, Paris: Gallimard, 1948.

Leo Strauss dan Joseph Cropsey, « Artistote, 384-322 », dalam Histoire de la Philosophie Politique, Paris : Press Universitaire de France, 1999

Kuntowijoyo, “Radikalisasi Pancasila”, Makalah untuk Diskusi PPSK, Yogyakarta, 18 Januari 2001

Mochtar Lubis, Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban, Jakarta: Yayasan Idayu, 1978.

Ulrich Beck, La Societé du risque, Paris: Flammarion-Champes Essais, 2008 (diterjemahkan dari buku bahasa Jerman, Risikogesselschaft, Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1986.

Yudi Latief, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002

Tulisan ini perna tayang dalam sebuah jurnal yang tidak lagi terbit.

Andar Nubowo
Andar Nubowo
Sekjen Public Virtue Institute (PVI) Jakarta, Mahasiswa S3 Filsafat dan Epistemologi Ecole Normale Superieure (ENS) Lyon Perancis
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.