Peluncuran novel terbaru Chimamanda Ngozi Adichie, Dream Count, di Lagos bukanlah sekadar acara biasa, melainkan sebuah fenomena budaya yang memukau. Setelah penantian panjang lebih dari satu dekade, kembalinya penulis ternama asal Nigeria ini disambut dengan perayaan yang hidup dan bersemangat, jauh berbeda dari suasana peluncuran buku yang biasanya formal dan tenang. Acara ini menjadi bukti nyata bahwa sastra di Afrika memiliki kekuatan untuk menyatukan dan menginspirasi banyak orang.
Pengumuman rilis Dream Count menggemparkan dunia sastra Afrika, memicu gelombang antisipasi dan spekulasi yang luar biasa, terutama mengingat konteks pasca-pandemi yang mengubah banyak hal. Tur buku yang digagas Adichie—dimulai dari Lagos dan berlanjut ke Abuja serta Enugu— terasa seperti “kepulangan” yang hangat bagi penulis yang dihormati secara global ini. Seorang sarjana sastra Afrika, Tinashe Mushakavanhu, yang hadir dalam acara tersebut, menggambarkan kehadirannya sebagai sebuah perjalanan untuk menemukan kembali budaya sastra Nigeria yang selama ini hanya ia baca dalam karya fiksi.
Acara utama di Lagos berlangsung di pusat konferensi Muson dan berhasil menarik lebih dari seribu pengunjung. Suasana yang tercipta begitu menyengat dan meriah. Sebuah spanduk besar bergambar Adichie menjadi pusat perhatian, berfungsi sebagai latar belakang populer untuk berfoto selfie dengan tagar #dreamcountlagos. Di dalam gedung, pemandangan tumpukan buku yang dibeli dalam jumlah banyak sangat mencolok, menunjukkan antusiasme para penggemar yang ingin mendapatkan tanda tangan sang penulis. Ini bukan sekadar peluncuran buku, melainkan sebuah momen budaya yang menegaskan bahwa di tengah masyarakat ini, masih ada dahaga mendalam akan cerita dan tokoh sastra yang dicintai.
Peluncuran buku ini dengan tegas membantah stereotipe usang bahwa orang Afrika tidak membaca. Kerumunan yang memadati acara tersebut, yang didominasi oleh kaum muda yang antusias, menjadi bukti nyata bahwa ada semangat membaca yang hidup. Suasananya begitu energik dan beragam, mengingatkan pada pertemuan politik di mana setiap orang memiliki kepentingan dan suara yang kuat. Namun, di sini, gairah tersebut sepenuhnya tercurah untuk sastra dan penulis yang mereka kagumi.
Ketika Adichie akhirnya muncul, mengenakan gaun kuning cerah, ia disambut dengan tepuk tangan meriah. Ia tidak hanya hadir sebagai penulis, tetapi juga sebagai figur yang dekat dengan para penggemarnya. Dalam percakapan santai bersama tokoh media Ebuka Obi-uchendu, Adichie membuka diri. Ia menjelaskan alasan di balik keheningan kreatifnya selama satu dekade, menyinggung writer’s block dan kesedihan mendalam atas kehilangan kedua orang tuanya.
Ia mengungkapkan bahwa pengalaman pahit itulah yang akhirnya menjadi inspirasi dan katalis untuk Dream Count, sebuah novel yang mengeksplorasi cinta, persahabatan, dan kemandirian melalui kisah empat wanita. Momen paling mengharukan terjadi saat penonton, yang begitu akrab dengan para karakter, meneriakkan nama-nama mereka, menciptakan ikatan emosional yang kuat antara penulis, karya, dan pembacanya.
Acara ini memiliki makna yang jauh lebih dalam dari sekadar perayaan buku. Keputusan Adichie untuk berkolaborasi dengan penerbit lokal, Narrative Landscape Press, adalah sebuah tindakan radikal yang sangat penting. Dengan merilis edisi Nigeria secara bersamaan dengan edisi internasional, ia memastikan bukunya tidak hanya dapat diakses, tetapi juga secara fundamental menegaskan posisi penting industri penerbitan Afrika.
Kepulangan Adichie ke Nigeria untuk meluncurkan novelnya merupakan pernyataan kuat yang menantang gagasan bahwa prestise sastra Afrika harus divalidasi oleh dunia luar. Melalui kepulangannya, ia menunjukkan bahwa meskipun ia adalah tokoh sastra global, keterlibatannya dengan tanah airnya adalah sesuatu yang esensial. Peluncuran buku ini tidak hanya merayakan sebuah novel baru, tetapi juga menjadi bukti nyata akan kekuatan sastra yang abadi dalam menyatukan orang.
Itu menunjukkan bahwa di Afrika, sebuah buku masih bisa menjadi pusat perhatian publik dan kata-kata tertulis tetap menjadi bagian vital dari budaya. Lebih banyak peluncuran buku di masa depan akan mampu membangkitkan semangat perayaan komunal yang sama, menegaskan kembali pentingnya buku Afrika bagi masyarakatnya.