Minggu, November 10, 2024

Membeli Pengalaman, Membeli Kebahagiaan

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa
- Advertisement -

Ketika harus memutuskan membeli smartphone model terbaru atau membeli satu perangkat lukis cat air, saya tidak ragu memilih yang kedua. Saya tak piawai melukis, tapi menikmati kesenangan mencampur warna dan menorehkannya pada kertas. Warna-warna saling berpilin, meresap dalam pori-pori serat kertas. Mengamati hasilnya yang tak terduga adalah kebahagiaan tersendiri.

Umat manusia sibuk mencari kebahagiaan. Para ekonom mengatakan, kebahagiaan merupakan indikator terbaik dari sebuah masyarakat yang sehat. Dan salah satu perdebatan klasik umat manusia: apakah uang bisa membeli kebahagiaan? Apakah kemakmuran serta-merta membawa kekayaan jiwa?

Sebuah penelitian mutakhir dalam kajian psikologi mengonfirmasi bahwa uang memang bisa membeli kebahagiaan. Namun, sangat tergantung apa yang kita beli sebagai sarana mendapatkan kebahagiaan.

Membeli Pengalaman, bukan Barang

Thomas Gilovich, profesor psikologi di Universitas Cornell, Amerika Serikat, mengkaji kaitan antara uang dan kebahagiaan selama 20 tahun terakhir. Bulan lalu dia menulis dalam Journal of Positive Psychology: “membeli pengalaman” ketimbang “membeli barang” akan membawa kebahagiaan yang lebih kekal.

Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, bahkan sebagian besar orang tetap memiliki uang terbatas. Di situ, kita dihadapkan pada pilihan, misalnya membeli iPhone model terakhir atau menonton konser musik; membayar uang muka mobil Honda Jazz terbaru atau berlibur menyelam di taman laut Raja Ampat.

Asumsi logis bagi banyak orang: karena benda fisik seperti iPhone lebih bertahan lama ketimbang konser musik satu-dua jam, kita cenderung membeli benda-benda dengan anggapan membawa kebahagiaan lebih lama. Asumsi itu keliru.

Benda akan Usang, Pengalaman tidak

“Salah satu musuh utama kebahagiaan adalah adaptasi,” kata Gilovich. “Kita membeli barang untuk membuat diri kita bahagia. Betul. Tapi, itu hanya sesaat. Benda-benda baru membuat kita bergairah pada awalnya, tapi kemudian kita menyesuaikan diri, beradaptasi dengannya.”

Benda-benda segera menjadi usang, dan luntur pula kebahagiaan kita. Tapi, sementara kebahagiaan dari berbelanja benda-benda menyusut bersama waktu, pengalaman menonton teater dan pameran lukisan atau bertualang di alam menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kita. Kekal menjadi kekayaan batin kita.

Membeli Kebahagiaan, Membeli Kenangan

“Manusia adalah totalitas dari pengalaman dan kenangannya sepanjang hayat,” kata Gilovich. “Kita bisa menyukai benda-benda yang kita miliki. Kita bahkan bisa menganggap bahwa sebagian identitas kita terikat pada benda-benda itu, namun bagaimanapun, benda-benda itu tetap terpisah dari diri kita. Sebaliknya, pengalaman dan kenangan akan merupakan bagian tak terpisahkan dari diri kita.”

Bahkan kenangan atau pengalaman buruk kelak bisa kita ceritakan sambil tertawa.

- Advertisement -

Riset Gilovich tak hanya berimplikasi pada individu-individu yang ingin menginventasikan uangnya untuk kebahagiaan. Tapi, juga pada perusahaan yang ingin melihat karyawannya bahagia dan produktif; serta pada wali kota dan gubernur yang ingin membuat warganya bahagia.

Kota yang Membuat Bahagia

Sebuah kota, misalnya, tak semestinya hanya memperbayak mal, pasar, dan showroom mobil tempat orang membeli benda-benda. Tapi, juga menyisihkan anggaran untuk membangun taman, pedestrian, museum, gedung kesenian, serta merawat pantai dan hutan publik yang bisa dinikmati secara murah atau bahkan cuma-cuma.

Tugas wali kota adalah “memudahkan warga kota memperkaya pengalaman dan kenangan untuk membuat mereka lebih bahagia”.
Riset Gilovich juga membawa implikasi pada ekonomi dan industri. Generasi baru, atau yang sering disebut Gen-Y, makin menyadari pentingnya membelanjakan uang pada wisata dan petualangan, pada pendidikan dan keterampilan, pada aktivitas kreatif atau bahkan kegiatan sosial yang mendahulukan interaksi kemanusiaan.

Membeli Kebahagiaan, Membeli Harmoni Sosial

Lebih dari pendahulunya, generasi baru ini juga makin menyadari bahaya konsumerisme kebendaan yang memboroskan energi, memicu kemacetan, mencetak sampah, dan merusak lingkungan. Industri yang akan bertahan adalah yang bisa mengantisipasi kecenderungan baru ini.

Bagaimanapun, kebahagiaan maksimal individu dan masyarakat tidak datang dari pencarian kebahagiaan itu sendiri, tapi dari makna. Apa tujuan hidup kita? Apa peran kita dalam masyarakat, dalam alam semesta? Bagaimana kita lebih berkontribusi pada pelestarian alam dan harmoni sosial?***

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.