Di panggung internasional, seorang pemimpin dari negara berkembang duduk di dewan penasihat Michael Bloomberg, sejajar dengan tokoh penyelamat Euro dan pencipta vaksin Moderna. Namun di dalam negeri, kita justru larut dalam drama soal keaslian selembar ijazah dari Fakultas Kehutanan UGM. Kontras ini bukan sekadar urusan politik, melainkan gejala dari pertunjukan besar yang membajak nalar publik.
Isu ijazah adalah sebuah spektakel—konsep yang diperkenalkan Guy Debord dalam The Society of the Spectacle (1967)—di mana relasi sosial dimediasi bukan oleh kenyataan, melainkan oleh citra. Ini adalah panggung gulat politik yang menguras emosi dan intelektualitas kita, menjauhkan perhatian dari persoalan mendasar.
Lebih dari sekadar tontonan, kita telah menjadi bagian dari pertunjukan itu. Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1981) menyebut kondisi ini sebagai hiperrealitas—di mana simulasi menggantikan kenyataan. Seperti saat kita lebih percaya Google Maps daripada jalanan di depan mata, kita menavigasi politik lewat peta yang disederhanakan: pertarungan ‘jujur’ versus ‘curang’, padahal medan sesungguhnya adalah benturan antara oligarki dan demokrasi.
Simulakrum Bernama Demokrasi
Spektakel ijazah hanyalah riak kecil dari samudra yang dalam. Ancaman utama bagi demokrasi Indonesia bukan kudeta militer, melainkan penyempurnaan simulakrum demokrasi: sistem yang menjalankan ritual demokrasi secara utuh, namun kehilangan substansi. Ibarat mobil pajangan di showroom—mengilap, mewah, presisi—namun tanpa mesin. Ia bisa dikagumi, tapi tak membawa kita ke mana pun.
Contoh nyata adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2023 yang meloloskan putra presiden sebagai calon wakil presiden. Laporan Freedom in the World 2024 oleh Freedom House menyebut insiden ini sebagai penyebab turunnya skor kebebasan Indonesia menjadi “Setengah Bebas”. MK tidak gagal menjalankan hukum, justru sukses mensimulasikan proses hukum demi kepentingan dinasti—seperti mobil pajangan yang mensimulasikan kemewahan tanpa fungsi.
Fenomena ini sejalan dengan tren global. Laporan Democracy Report 2025 oleh V-Dem Institute mencatat bahwa untuk pertama kalinya dalam dua dekade, jumlah negara otokrasi (91) melebihi demokrasi (88). Demokrasi sedang “merosot dari atas”, seperti dijelaskan Larry Bartels dalam Democracy Erodes from the Top (2023), di mana elite predatoris menggerogoti institusi dari dalam. Publik hanya disuguhi pertunjukan, dan selama musik masih berbunyi, banyak yang tak sadar bahwa kapal sedang tenggelam.
Ilusi Bernama Meritokrasi
Di tengah kemerosotan demokrasi, narasi meritokrasi dipentaskan dengan megah. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) tiap tahun menganugerahkan predikat “Sangat Baik” kepada puluhan instansi atas penerapan sistem merit. Ini adalah simulasi negara profesional, di mana jabatan ditentukan oleh kompetensi, bukan koneksi.
Bayangkan sebuah perusahaan yang rutin menggelar penghargaan “Karyawan Teladan” dengan upacara meriah, namun semua tahu bahwa posisi manajerial diisi oleh keluarga pemilik, terlepas dari kinerja. Upacara itu menjadi pertunjukan indah yang menutupi kenyataan bahwa sistemnya telah dikendalikan oleh segelintir orang.
Analogi ini bukan sekadar kiasan, melainkan cerminan realitas. Laporan Oxfam Towards a More Equal Indonesia (2025) mengungkap bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan harta 100 juta penduduk termiskin. Secara global, laporan Oxfam lain, Takers Not Makers (2025) menunjukkan bahwa 60% kekayaan miliarder berasal dari warisan, monopoli, atau kronisme—bukan inovasi atau kerja keras.
Penghargaan meritokrasi KASN adalah upacara “Karyawan Teladan” itu: etalase indah yang menutupi kenyataan bahwa kekuasaan dan kekayaan diwariskan di antara elite. Jembatan antara oligarki dan rusaknya meritokrasi adalah biaya politik yang tinggi. Studi Pattimura Magister Law Review (2024) menyimpulkan bahwa biaya politik mendorong pemenang pemilu untuk mengembalikan investasi, sering kali lewat korupsi. Sistem merit dan sistem oligarki bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan dua sisi dari koin yang sama—yang satu mengelola birokrasi, yang lain memilih majikannya.
Menolak Panggung Sandiwara
Jadi, isu yang lebih strategis dari selembar ijazah adalah kesadaran bahwa kita telah menjadi penonton yang terbuai oleh pertunjukan, lupa bahwa kita bisa turun dari tribun dan menghentikan sandiwara. Kita terjebak dalam “penalaran termotivasi”—konsep dari Ziva Kunda dalam The Case for Motivated Reasoning (1990)—di mana otak kita berfungsi bukan sebagai hakim objektif, melainkan sebagai pengacara bagi keyakinan yang sudah kita pegang. Seperti suporter fanatik yang menganggap setiap keputusan wasit yang merugikan timnya sebagai kecurangan, kita menyaring fakta bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk memenangkan argumen.
Kerugian terbesar dari obsesi pada ijazah bukanlah salah diagnosis, melainkan atrofi imajinasi politik kita. Kita lupa cara bertanya hal-hal mendasar. Ini adalah bentuk “pemerintahan via distraksi”—taktik kuno untuk membuat publik sibuk dengan kekacauan artifisial agar langkah drastis di belakang layar tak terlihat. Bayangkan pesulap yang melambaikan tangan dramatis untuk menarik perhatian, sementara tangan lainnya menyembunyikan koin; isu ijazah adalah lambaian tangan itu—pengalih perhatian dari trik sesungguhnya.
Pada akhirnya, kita adalah pelaku utama spektakel demokrasi. Bukan korban pasif, melainkan konsumen aktif dari pertunjukan yang melumpuhkan. Maka, tindakan politik paling radikal hari ini bukan memenangkan perdebatan soal ijazah, melainkan menertawakan absurditasnya, mematikan televisi, men-skip Youtube dan TikTok yang mengekspose, dan mulai berbicara tentang apa yang benar-benar nyata di luar panggung.