Bagi seorang anak perempuan, ayah menjadi sosok pria pertama yang dicintai dalam hidup. Begitu juga denganku. Aku mencintai dan mengagumi ayahku demi apapun. Dan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaanku, adalah dengan membuatnya bangga. Setidaknya tidak membuatnya malu dengan kelakuanku.
Ayahku bernama Ade Komarudin. Benar, mantan Ketua DPR RI tahun 2016. Namun, bukan karena jabatan itu aku mencintainya. Seandainya ia tak pernah menduduki jabatan itu, akupun tetap mencintainya. Mungkin aku akan lebih mencintainya, karena ia akan lebih banyak memiliki waktu di rumah bersamaku dan keluarga.
Apa boleh dikata, ayahku telah memilih jalannya: mengabdi buat masyarakat melalui jalur politik. Ia menjadi anggota DPR sejak 1997 sampai hari ini. Menghabiskan setiap akhir pekan, yang semestinya bisa digunakannya untuk bercengkrama dengan keluarga, untuk menyapa masyarakat di daerah pemilihannya: Karawang, Bekasi dan Purwakarta. Kini, saat ia sedang sakit pun tetap sama. Ia masih memikirkan kepentingan masyarakat dan tetap berusaha memperjuangkan mereka.
“Selagi bisa dan punya kesempatan, kita harus membantu masyarakat,” ayahku berpesan padaku suatu kali.
Keteguhan sikap selalu berusaha memberi manfaat kepada khalayak, terutama kepada masyarakat yang kurang mampu itulah yang menginspirasiku. Aku mulai terbiasa mengikuti dari dekat kegiatan ayahku ketika menyapa dan mendengarkan masalah-masalah sosial masyarakat di dapilnya. Kemiskinan, kurangnya akses modal, utang, menjadi masalah-masalah yang kerap kudengar dari waktu ke waktu.
Seiring waktu, aku pun mencapai kesadaran bahwa seluruh masalah tersebut terus berkelindan di masyarakat. Setiap waktu selalu ada orang miskin, ibu-ibu yang terlilit utang, orang-orang yang terkendala modal untuk memulai usahanya, dan lain sebagainya. Aku memutuskan melanjutkan perjuangan ayahku: menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR RI dari Golkar di Dapil Karawang, Bekasi dan Purwakarta.
Namun, jangan disangka keputusanku tersebut semata karena menumpang jalan yang telah dibangun ayahku seperti banyak anggapan orang. Tidak pula modal nekat karena usiaku baru 25 tahun. Aku telah melewati serangkaian proses sebelum memastikan diriku benar-benar terjun ke politik. Karena, aku tidak ingin mempermalukan ayahku.
Ayahku selalu berpesan,”kamu jadi yang terbaik di bidang kamu. Terserah kamu mau jadi apa. Yang penting harus berguna bagi banyak orang dan jangan malu-maluin ayah.”
***
Segalanya dimulai saat SMA. Alhamdulillah, aku berkesempatan mendapat beasiswa bersekolah di Singapura. Di sana, aku menjadi anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan aktif membantu Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) memberikan penyuluhan serta perlindungan kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Khususnya mereka yang menjadi korban kekerasan dari majikannya.
Aku membantu proses trauma healing kepada para TKI yang mayoritas perempuan tersebut. Menjadi teman mereka berbincang dan mendengar keluh kesah mereka. Karena, aku tahu, dalam kondisi semacam itu selain bantuan hukum yang paling penting adalah memulihkan kepercayaan diri mereka. Memberikan kesadaran bahwa mereka tetap manusia yang terhormat dan tidak terasing dari lingkungannya.
Dari interaksi tersebut aku mennjadi tahu bahwa keputusan mereka bekerja di luar negeri karena ekonominya terhimpit di kampung. Mereka beranggapan hujan dolar Singapura lebih baik ketimbang hujan batu di kampung. Pandangan yang lumrah ketika di kampung halaman memang sangat susah mendapatkan pekerjaan layak, sementara tuntutan hidup semakin meningkat seiring waktu.
Dari penuturan mereka pula aku tahu rata-rata mereka tidak memiliki kemampuan kerja yang memadai. Hal itu membuat mereka menjadi rentan disalahkan majikan, sampai mendapat kekerasan. Terlebih mereka yang nekat berangkat lewat jalur gelap.
Aku dan kawan-kawan PPI pun berinisiatif bekerja sama dengan KBRI untuk memberikan pelatihan kepada para TKI. Karena mereka yang menjadi korban kekerasan pasti tidak mau kembali bekerja lagi di luar negeri, sehingga membutuhkan keterampilan sebagai modal bekerja di Indonesia.
Selepas SMA, aku kembali mendapatkan beasiswa kuliah di Universitas Melbourne, Australia. Pengalamanku mengikuti kegiatan ayah di Dapil dan berinteraksi dengan para TKI di Singapura membuatku memutuskan untuk mengambil jurusan ekonomi. Pikirku, mustahil bisa menyelesaikan persoalan ekonomi tanpa tahu ilmunya.
Di Australia aku kembali aktif di PPI. Aku dipercaya menjadi ketua PPI di kampusku. Selama menjabat aku berkesampatan untuk mendengar keluhan kawan-kawanku. Rupanya banyak yang khawatir tidak bisa mendapatkan pekerjaan di Indonesia, sehingga enggan pulang setelah merampungkan studinya.
Aku kembali teringat pesan ayahku, “jangan lupa kembali ke Indonesia. Kamu belajar ke luar negeri hanya untuk mencuri ilmu saja. Untuk digunakan membangun Indonesia. Bukan membangun negara mereka dan menyumbang pajak ke mereka.”
Kenapa aku tidak membuat career expo saja? Pikirku saat itu. Alhamdulillah akhirnya bisa terealisasikan. Lebih kurang 15 perusahaan pemerintah dan swasta bisa turut dalam acara waktu itu. Banyak teman-teman mahasiswa di Australia bisa dapat kerja sebelum lulus. “Kalau begini kan gue enggak takut lagi balik ke Indonesia,” kata salah seorang teman waktu itu.
Tahun 2016 aku kembali ke Indonesia. Yang terpikir olehku saat itu adalah bekerja di pemerintahan. Menurutku, menjadi pegawai pemerintahan adalah jalan pengabdian langsung ke negara sekaligus ke masyarakat. Sesuai jurusanku, aku ingin kerja di Bank Indonesia (BI) atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Saat itu yang buka lowongan OJK. Aku mendaftar dan Alhamdulillah diterima.
Aku bekerja di OJK selama tiga tahun di bagian pengawasan bank asing. Aku banyak belajar rumitnya birokrasi dan permasalahan yang membuat banyak masyarakat susah mendapat akses modal. Kesimpulanku, bank kurang percaya memberi modal kepada usaha kecil milik perorangan karena berpotensi besar menjadi kredit macet. Karena para peminjam rata-rata tidak memiliki kemampuan untuk mengelola keuangan atau bisnisnya. Modal tersebut riskan digunakan untuk keperluan pribadi.
Per Agustus 2018 aku memutuskan berhenti dari OJK dan terjun ke dunia politik. Aku masuk Partai Golkar. Kini aku menjabat ketua departemen perempuan DPP Golkar. Lalu menjadi caleg DPR RI.
***
Sudah hampir enam bulan aku berkampanye dan turun ke Dapil. Mendengarkan keluhan masyarakat secara langsung. Dari RT ke RT. Kelurahan ke kelurahan. Kecamatan ke kecamatan. Kabupaten ke kabupaten. Banyak masalah yang mereka keluhkan, tapi ada satu masalah paling penting menurutku: kesejahteraan kaum ibu.
Di Bekasi, Karawang dan Purwakarta banyak sekali janda dan ibu-ibu yang menjadi tumpuhan ekonomi keluarga karena berbagai sebab. Lapangan kerja yang sempit menyulitkan mereka mendapatkan pekerjaan layak. Sementara, untuk memulai usaha mereka tidak memiliki modal yang cukup. Ketika ingin mengajukan modal ke bank, bank tidak percaya. Banyak dari mereka pun tidak tahu kalau pemerintah memiliki program kredit usaha rakyat.
Di sisi lain, mereka tidak bisa terus menunggu dalam diam. Perut mereka dan perut anak-anak mereka menuntut diisi. Anak-anak mereka harus mendapatkan pendidikan yang layak agar dapat memperbaiki nasib keluarga di kemudian hari. Belum lagi cibir masyarakat sekitar yang tidak bisa dihindari, karena lingkungan desa yang komunal: terompa nasi jatuh di dapur, nyaring suaranya sampai ke kantor kelurahan.
Dalam kondisi semacam itulah Bank Emok hadir seolah menjadi solusi dengan segala kemudahannya memberikan uang. Ibu-ibu tersebut terbujuk. Mereka meminjam uang tanpa memikirkan risiko ke depannya akan terlilit hutang dengan bunga mencapai 40 persen. Tanpa memikirkan bahwa Bank Emok sama saja dengan rentenir. Tanpa memikirkan bahwa sistem tabung renteng Bank Emok bakal membuat mereka lebih malu andaikan gagal melunasi tagihan, karena setiap minggu tukang tagih akan menyatroni rumah mereka, meminta tetangga mereka sesama peminjam turut menanggung hutang.
Hasilnya bisa ditebak. Mereka yang terlilit hutang dan tidak kuat menanggung malu, akhirnya memutuskan bunuh diri. Tidak sedikit pula yang mengambil jalan tindakan kriminal untuk melunasi hutangnya. Pepatah sudah jatuh tertimpa tangga benar-benar pas bagi mereka.
Oleh karena itulah, dengan pengalamanku di OJK dan pengetahuanku di bidang ekonomi, aku ingin menyelesaikan ini seandainya diberi kesempatan menjadi anggota DPR RI. Dengan akses anggota DPR yang luas, aku yakin bisa mengaplikasikan solusi yang sudah terpikirkan untuk mereka: memberi akses modal langsung dan pelatihan pengelolaan ekonomi.
Tidak. Sebenarnya itu sudah kumulai. Selain berkampanye, aku sedikit demi sedikit memberikan informasi bahwa pemerintah telah menyediakan program permodalan bernama MEKAAR dan bantuan untuk keluarga melalui Progam Keluarga Harapan (PKH). Akupun memberikan kiat-kiat mengelola bantuan permodalan tersebut secara tepat, sehingga bisa berimbas langsung ke kehidupan mereka.
Hanya saja, menurutku itu saja tidak cukup. Mereka butuh lebih dari sekadar pemahaman, tapi kebijakan yang benar-benar berpihak kepada mereka. Satu-satunya cara adalah dengan membuat regulasi. Dan pembuat regulasi adalah DPR.
Lalu, pertanyaan datang padaku, “apakah kamu yang masih muda benar-benar mampu membuat regulasi yang berpihak pada ibu-ibu itu di tengah derasnya kepentingan-kepentingan lain di DPR?”, “apakah kamu tidak akan menjadi seperti anggota DPR lainnya yang lantas lupa dengan pemilihnya ketika sudah terpilih?”.
Aku sangat paham tidak akan mudah berjuang di parlemen. Tapi, itu bukan berarti aku tidak boleh dan berani mencoba. Justru, aku ingin diberi kepercayaan tersebut agar bisa membuktikannya. Agar bisa memperjuangkan nasib kaum ibu tersebut. Nasib kaumku sendiri sebagai perempuan yang selama ini masih belum terlalu mendapat ruang di DPR. Hanya 17,32 persen anggota DPR perempuan.
Dan, aku memastikan tidak akan lupa dengan mereka yang memilihku nanti. Karena, jabatan apapun itu bentuknya adalah buah kepercayaan. Aku tidak akan mengkhianati kepercayaan itu yang berarti merendahkan diriku sendiri dan mempermalukan ayahku. Karena pula mustahil aku bisa bermanfaat bagi orang lain tanpa tetap dekat dengan mereka yang kuwakili—para kaum ibu yang rentan tersebut.
Membantu kaum ibu mandiri secara ekonomi adalah keniscayaan berbangsa. Tanpa ibu-ibu yang mandiri, tidak akan pernah tercapai bangsa yang berdaya. Seberat apapun, aku akan tetap menjalaninya.