Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi persnya mengenai APBN Selasa (22/9/020) menyatakan, Indonesia dipastikan mengalami resesi ekonomi. Ini karena, pada kuartal ketiga, PDB (produk domestik bruto) Indonesia kembali negatif. Dengan demikian — karena dua kuartal PDB negatif — perekomomian Indonesia terjungkal ke dalam resesi. Menkeu mengungkapkan: “Data terbaru per-September 2020 PDB minus 2,9 persen – minus 1,0 persen. Kondisi negatif pada kuartal ketiga ini, jelas Sri Mulyani, akan berlangsung hingga kuartal keempat.
Jangan Takut Resesi
Lalu, kenapa takut resesi? Resesi bukan kiamat ekonomi. Resesi adalah hal biasa dalam dinamika ekomomi. Tahun 1998, misalnya, Indonesia juga mengalami resesi. Mundur ke belakang, tahun 1960-an di era rejim orde lama, perekomomian Indonesia tidak hanya resesi, tapi nyaris hancur. Rakyat bahkan tak mampu beli beras. Mata uang rupiah nilainya jatuh ribuan persen. Toh Indonesia mampu melewati masa krisis itu.
Jadi, persoalan resesi tidak perlu dibesar-besarkan, seakan-akan negara akan bangkrut. Apalagi bila kita lihat, resesi yang menimpa Indonesia di tahun 2020 ini karena faktor pandemi Covid-19. Seluruh dunia mengalami hal yang sama. Penurunan PDB Indonesia masih jah lebih baik ketimbang negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Eropa Barat, dan Jepang. Penurunan PDB Indonesia masih satu digit. Sedangkan mereka sudah mencapai dua digit. Bahkan untuk Asia Tenggara pun, Indonesia masih lebih baik ketimbang dua tetangga dekat, Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Di era pandemi, Indonesia diuntungkan karena penduduknya banyak dan negaranya kepulauan. Ketika negeri dilanda resesi, masih banyak potensi ekonomi yang bisa digali untuk dikembangkan, guna mengatasi resesi. Pertanian dan perkebunan misalnya. Potensinya masih besar untuk dikembangkan. Juga obat-obatan herbal. Indonesia amat kaya dengan tumbuhan obat. Indonesia mempunyai keanekaragaman jenis hayati (biodiversitas) yang luar biasa banyak yang bila dikembangkan menjadi bahan pangan dan farmasi akan berdampak sangat besar bagi kemakmuran bangsa. Di masa pandemi ini kesadaran tersebut mulai muncul, terkait dengan upaya untuk survivalitas suatu bangsa dan negara.
Hikmah Pandemi
Jangan melihat pandemi dari sisi negatifnya saja. Tapi lihat pandemi dari sisi positifnya. Salah satunya, orang Indonesia sekarang makin menguasai dan memanfaatkan teknologi internet yang mampu membangun jaringan tanpa batas ini. Bayangkan sekarang, konsep work from home (WHF), sudah demikian memasyarakat setelah adanya pandemi. Padahal dulu, WHF, dianggap tabu.
Sampai medio 2019, sebelum pandemi, pameonya, bekerja ya harus hadir di kantor. Padahal banyak pekerjaan kantor — swasta dan pemerintah — yang bisa dilakukan dari rumah. Dulu alasannya, dalam bekerja, karyawan harus bisa komunikasi tatap muka dengan pimpinan atau koordinator untuk menghindari kesalahan. Alasan seperti itu, kini hilang. Tatap muka bisa melalui video call (VC). Bahkan untuk meeting skala kecil, 4-8 orang, bisa memakai aplikasi Whatsapp. Sangat mudah mengoperasikannya. Sedangkan untuk rapat sekala besar bisa memakai aplikasi zoom.
Aplikasi zoom, kini, setelah pandemi, sudah menjadi hal yang biasa dilakukan dalam WHF. Bahkan zoom bisa untuk pertunjukan film, konser, teater, dan lain-lain. Ke depan, ia bisa saja dipakai untuk pameran mobil, motor, benda-benda seni dan lain-lain. Dengan aplikasi zoom, keterbatasan tempat, kendala jarak, kesulitan transportasi tidak ada masalah sama sekali. Pinjam istilah Yasraf Amir Piliang, dunia kini sudah dilipat. Aplikasi zoom yang benar-benar melipatnya dalam dunia kerja.
Hal-hal seperti itu, nyaris tak terbayangkan sebelum adanya pandemi. Betul, di negara-negara maju WHF sudah lama dilakukan. Tapi di Indonesia baru dilakukan secara massal setelah pandemi. Ke depan, konsep WHF, sudah menjadi hal yang niscaya. Memang, ada pekerjaan teknis yang tak bisa dilakukan dengan konsep WHF. Seperti pengoperasian mesin, menjalankan pabrik, dan handling di berbagai industri manufaktur. Tapi tetaplah, di setiap kantor, pasti ada pekerjaan yanb bisa dilakukan di rumah (WHF).
Jelas, WHF adalah terobosan yang makin populer dan memasyarakat setelah pandemi. Kini banyak kantor pemerintah maupun swasta telah memanfaatkan konsep WHF. Dampaknya luar biasa. Dari sisi kantor, misalnya, bisa menghemat anggaran listrik dan logistik. Sedangkan dari sisi pekerja, menghemat waktu, biaya transportasi, dan energi. Dari sisi yang lebih luas, WHF, bisa mengurangi kepadatan lalu lintas, pencemaran udara, penghematan bahan bakar, dan lain-lain. Kualitas lingkungan hidup pun semakin baik. Hal terakhir ini adalah dampak positif yang bisa dinikmati secara global.
Dr. Rimawan Pradipto, dosen ekonomi UGM Yogya menyatakan, pandemi telah mengubah “struktur” ekonomi sekaligus menumbuhkan kreativitas masyarakat petani dan pebisnis, terutama UMKM ( usaha mikro kecil menengah). Ini karena pandemi memaksa orang untuk belajar internet dan memanfaatkan dunia digital. Rimawan memberikan contoh, masyarakat di Bantul yang memanfaatkan WAG untuk komunikasi penduduk desa. Dan komunikasi WAG ini, kemudian berkembang menjadi informasi bisnis. Dari informasi bisnis ini, berkembang pula perkumpulan-perkumpulan usaha kecil. Mereka saling membantu dalam produksi dan pemasaran.
Melalui internet, kata Pradipto, pemerataan ekomomi akan terwujud. Benar apa kata Om William (panggilan akrab pendiri PT Astra, William Soerjadjaja), ekonomi digital adalah ekonomi berbagi. Ekonomi berbagai adalah ekonomi networking. Bisnis egois dan selfish niscaya akan runtuh. Di era digital economy, tak mungkin lagi pebisnis menjual produk industrinya dengan keuntungan berkali lipat dari harga produksi (modal) dengan memanfaatkan “kebodohan dan kelangkaan informasi” seperti zaman dulu. Dunia makin terbuka dan akses infirmasi melimpah ruah.
Kondusi tersebut jelas sangat menguntungkan Indonesia sebagai negara kepulauan. Berbagai macam produk pertanian dan olahannya, kini bisa dijual secara daring di pasar lokal, nasional, maupun global. Sebagai contoh, betapa pupulernya jamu yang berasal dari ekstrak kayu bajakah yang dapat menyembuhkan kanker. Sebelumnya obat herbal bajakah hanya beredar di kalangan masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan. Kini berkat internet, obat hermal bajakah sudah merambah dunia dan sangat populer. Begitu juga jamu herbal dari suku- suku di pulau-pulau terpencil di nusantara, kini makin populer karena ada market placement dengan jangkauan global. Kesadaran tersebut baru meruyak setelah pandemi.
Dari ilustrasi di atas, kita bisa nengambil hikmah dari pandemi. Pandemi tidak akan membuat kita mati kutu. Pandemi juga tidak membuat ekonomi Indonesia runtuh. Ekonomi Indonesia akan bangkit kembali — bahkan jauh kebih maju dari sebelumnya.
Tentu saja, kita harus bisa mengatasi pandemi tersebut.
Penerapan protokol kesehatan adalah standar operasi (SOP) kehidupan yang harus dilaksanakan di era pandemi. Tapi kita pun harus tetap mengembangkan dan membangkitkan ekonomi baru dengan SOP baru, memanfaatkan perkembangan dunia digital yang makin maju.
Yakinlah pandemi pasti segera berakhir asalkan kita mematuhi protokol kesehatan yang benar. Selanjutnya, ekonomi digital yang booming di era pandemi harus dikembangkan lagi pasca berakhirnya pandemi. Itulah kunci kemajuan ekonomi di kepulauan Indonesia di masa datang.