Selasa, Oktober 8, 2024

Membaca Indeks Kebahagiaan

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.

 

kemiskinan ANTARA FOTO/Darwin Fatir/pras/16.

Meski harga kebutuhan pokok sehari-hari naik, masyarakat dicekam ketakutan oleh kejahatan para begal, dan panggung politik penuh konflik elite, masyarakat Indonesia tetap berbahagia! Biro Pusat Statistik (2015) merilis indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia tahun 2014 naik menjadi 68,28%. Pada 2013 indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia hanya 65,11% (naik 3,17%).

Indeks kebahagiaan adalah indeks komposit yang disusun dari tingkat kepuasan masyarakat terhadap 10 aspek kondisi kehidupan esensial: kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, rumah dan aset, lingkungan, serta keamanan.

Menurut BPS, aspek yang mendongkrak meningkatnya indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia terutama adalah terjadi peningkatan penghasilan masyarakat. Meski banyak masyarakat mengakui harmoni keluarga mereka tahun 2014 menurun, penghasilan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain dilaporkan membaik.

Di kalangan penduduk perkotaan yang berpendidikan dan berpenghasilan makin besar, umumnya hidupnya makin bahagia. Penduduk dengan penghasilan di atas Rp 7,2 juta, indeks kebahagiaan mencapai 76,34%. Adapun penduduk berpenghasilan di bawah Rp 1,8 juta, indeks kebahagiaan hanya 64,58%.

Dengan memiliki penghasilan memadai, sebagian besar penduduk Indonesia tampaknya lebih bahagia. Karena kemungkinan mereka mengalami proses pendalaman kemiskinan mengecil akibat meningkatnya taraf kesejahteraan.

Di atas kertas, kekayaan, penghasilan yang layak, dan terlebih kemakmuran, memang akan bisa membantu orang-orang dapat hidup nyaman, tenang, dan bahagia, karena penghasilan mereka lebih besar dari uang yang harus dikeluarkan sehari-hari. Namun, jika mau melihat lebih mendalam, yang disebut kebahagiaan sesungguhnya adalah sesuatu yang relatif dan subjektif.

Banyak orang yang sehari-hari hidup sederhana, tinggal di rumah petak, dan banyak utang, tapi di bibirnya masih sering tersungging senyuman dan bahkan tawa ngakak saat melihat atau mendengar hal-hal yang dinilai lucu. Sebaliknya, bukan tak mungkin seseorang yang bergelimang harta, tapi hatinya acap resah dan sering bersungut-sungut, justru hidupnya tak bahagia karena selalu di bawah tekanan dan ambisi yang tak pernah terpuaskan.

Ketika pemerintah menaikkan harga BBM, memangkas subsidi listrik, atau ketika iklim persaingan di pasar global makin kompetitif, bukan tidak mungkin para pengusaha besar justru sulit memejamkan mata di malam hari karena memikirkan kelangsungan usahanya.

Kekayaan berlimpah sering terbukti bukan sumber utama kebahagiaan. Di dunia ini, sejumlah negara yang termasuk kategori negara superkaya, seperti Kanada, Qatar, dan Brunei Darussalam, ternyata tak serta merta masuk dalam daftar negara yang masyarakatnya hidup bahagia.

Hasil survei Gallup Inc, misalnya, menemukan 7 dari 10 negara di dunia yang masyarakatnya paling berbahagia ternyata negara-negara di Amerika Latin. Padahal, jika melihat data statistik dan realitas di lapangan, sejumlah negara yang disurvei Gallup Inc itu bukan termasuk negara maju yang berkecukupan.

Negara yang dalam film-film sering digambarkan selalu diwarnai konflik, pembunuhan berdarah, serta perang saudara dan perang antar-geng, seperti Guatemala, ternyata dari hasil survei diketahui menempati urutan ketujuh negara yang masyarakatnya hidup berbahagia. Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin sebuah negara dengan tingkat pembunuhan tertinggi di dunia, ternyata sebagian besar masyarakatnya mengaku hidup bahagia.

Data Happy Planet Indeks tahun 2014 menunjukkan sejumlah negara yang sebagian besar masyarakatnya mengaku hidup bahagia, antara lain Kosta Rika, Kolombia, El Savador, atau Nikaragua. Sejumlah negara yang didera persoalan pengangguran dan kemiskinan, termasuk perang antar-geng karena perebutan distribusi obat bius, ternyata sebagian besar masyarakatnya mengaku berbahagia.

Apa sebetulnya penyebab masyarakat merasa bahagia? Mungkinkah data survei indeks kebahagiaan di Indonesia ataupun di berbagai negara lain bias dan tak valid karena ada hal-hal yang keliru secara metodologis?

Tak mudah menjawab pertanyaan ini. Berbagai lembaga seperti BPS dan Gallup Inc yang berpengalaman dalam melakukan survei tentu memahami metode survei yang bisa dipertanggungjwabkan. Masalahnya, sejauh mana kita menerima angka indeks kebahagiaan itu merefleksikan kondisi riil di lapangan?

Mahbub ul Haq dalam The Poverty Curtain (1976) menyatakan, salah satu dosa perencana pembangunan di berbagai negara adalah sering menjadi pemuja angka. Menurut Mahbub, mereka sering terlalu sibuk menghaluskan angka dan tata cara menghitung pendapatan nasional, dan lain-lain. Adapun masalah yang nyata-nyata ada, misalnya kemiskinan yang melanda rakyat, justru diabaikan.

Seperti Mahbub, saya juga tidak terlalu percaya pada angka. Dalam bayangan saya, saat survei dilakukan, sering terjadi hal-hal sepele yang akan memengaruhi data yang diperoleh. Jika survei indeks kebahagiaan dilakukan di tanggal muda sehabis penduduk gajian, wawancara dilakukan di musim panen, atau responden diwawancarai selepas menonton sinetron yang berakhir bahagia, sangat wajar jika mereka lebih banyak yang berbahagia. Bagaimana jika sebaliknya?

 

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.