Jumat, Oktober 11, 2024

Memaknai Les Rites de Passage

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.

Hampir setiap minggu ada kabar duka wafatnya teman, tetangga, atau orang lain, di Indonesia, di Amerika, dan di mana-mana. Minggu lalu kehilangan teman dan kolega. Tapi hari ini baru saja kami menghadiri virtual pernikahan saudara. Ada juga kelahiran bayi dari saudara, teman, dan banyak orang yang kita tahu. Ada yang lahir, ada yang menikah, ada yang meninggal. Saya telah mengalami dan menyaksikan fase-fase kehidupan ini. Dalam kajian agama, fase-fase kehidupan manusia ini bisa disebut les rites de passage, dalam bahasa Perancis, atau rites of passage dalam bahasa Inggris, yaitu ritual, seremoni, atau upacara yang dilakukan untuk menandai seseorang melewati satu fase ke fase selanjutnya, sebagai tanda perubahan status dalam kehidupan keluarga dan sosial.

Setiap budaya, agama, ideologi, bahkan komunitas tak beragama, memiliki rites de passage masing-masing. Di sisi lain, seseorang menjadi anggota dari berbagai macam kelompok, organisasi, afiliasi, jaringan, keluarga, pekerjaan, dan sebagainya, yang memiliki upacara-upacara dalam tahap-tahap penting masing-masing.

Etnografer Belanda-Jerman-Perancis Arnold van Gennep (w. 1957) mengkaji rites de passage secara sistematis dalam Les Rites de Passage: Etude Systematique des Rites (1909). Menurut van Gennep, ada dunia sakral dan dunia profan atau duniawi, ada laki-laki dan ada perempuan. Van Gennep mengibaratkan rites de passages seperti rumah yang dibagi menjadi kamar-kamar dan koridor-koridor. Melewati passage artinya seseorang meninggalkan suatu fase atau suatu kelompok dan masuk ke fase berikutnya atau kelompok lainnya, ibarat ia keluar dari satu kamar dan masuk ke kamar lainnya.

Umumnya ada tiga fase: 1) pemisahan (separation) sebagai masa pre-liminal, 2) fase antara atau transisi (liminal) dan 3) fase bergabung (incorporation) dan menjadi anggota (post-liminal). Ketika seseorang masuk menjadi anggota baru (apakah itu organisasi, agama, kelompok, profesi, atau apapun), ada fase awal ketika ia memisahkan diri dari fase sebelumnya, dari waktu sebelumnya, dari kelompok sebelumnya.

Pada fase awal, seseorang atau suatu kelompok menarik diri dari status sebelumnya dan mempersiapkan diri pindah ke status atau fase berikutnya. Ketika seorang masuk ke dalam korps militer misalnya, ia akan memotong rambut cepak, mengenal senjata, dan menggunakan seragam baru. Ketika seorang masuk menjadi mahasiswa, ia akan mengikuti awal pengenalan mahasiswa, seperti ospek, dengan memakai seragam tertentu, mengikuti kegiatan-kegiatan tertentu, seringkali tidak biasa, dan sebagainya, sebagai tanda ia memasuki dunia baru: mahasiswa, yang berbeda dari dunia sebelumnya: masa SMA atau madrasah.

Setelah itu, fase transisi, liminal, masa antara.  Ia baru masuk ke fase, waktu, atau kelompok baru tetapi belum benar-benar masuk atau menjadi bagian dari fase, waktu, atau kelompok yang baru. Fase liminal ini biasanya ditandai dengan kebimbangan, ketidaknyamanan, ketidaksiapan, dan hal-hal tidak biasa lain. Masa antara seorang pasangan bertunangan dan pernikahan, masa antara mengandung dan melahirkan, masa antara kematian dan pengurusan jenazah (apakah penguburan, kremasi atau lainnya), bisa dikatakan masa liminal.

Pada masa liminal, ketika seseorang melakukan akad nikah misalnya, ia akan sungkem kepada orang tua, berterima kasih, dan mohon do’a restu untuk mengawali kehidupan rumah tangga. Pada saat liminal ini, ia belum benar-benar menjadi anggota keluarga baru sang suami atau sang istri. Masa transisi ini penuh tanda tanya, tidak begitu tahu apa yang akan terjadi, belum mengenal dan dikenal keluarga dan daerah baru. Ia baru selesai masa lajangnya, tapi belum benar-benar masuk menjadi keluarga baru. Ujian melewati masa transisi ini bisa lulus ketika ia pelan-pelan belajar dan memahami satu demi satu bagaimana menjalani kewajiban, tuntutan, dan hak-hak sebagai identitas atau kelompok baru. Masa liminal ini penting karena pada waktu inilah ia akan mempersiapkan diri untuk menjalani kehidupan di depannya.

Victor Turner dan lain-lain berpendapat bahwa masa liminal semakin berkurang pada era industri ketika orang semakin individualistik, tapi ia mengenalkan istilah liminoid yang artinya break from society, lepas keluar dari komunitas, misalnya ketika ia menghadiri konser musik rock, atau menonton pertandingan bola atau, kita bisa beri contoh pada kerumunan massa, ketika terjadi penjarahan, demonstrasi besar, dan seterusnya. Tapi menurut saya, masa liminal masih dialami masyarakat perkotaan dan moderen sekalipun, meskipun bentuk dan pemaknaan bisa berubah.

Kunjungan atau ziarah, seperti haji ke Mekah dan Madinah, atau Yerusalem untuk sebagian kaum Yahudi dan Nasrani, bisa termasuk fase liminal. Juga Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan Marxis, dan ateis sekalipun. Setiap agama dan keyakinan memiliki tempat suci yang dikunjungi dan diingat untuk waktu tertentu.

Ormas keagamaan, denominasi gereja, aliran Buddha, kelompok agama-agama baru, memiliki upacara-upacara dan ziarah-ziarahnya masing-masing. Bukan hanya keagamaan, juga wisata alam dan duniawi. Setiap kunjungan bisa menjadi suatu perjalanan (journey) ke tempat-tempat tertentu menjadi awal transformasi intelektual, mental, dan spiritual bagi pelakunya.

Pada masa haji yang waktunya terbatas itu, seorang Muslim berada dalam masa transisi tapi sangat penting. Salah satu karakteristik masa liminal ini, adalah bahwa manusia yang ada di dalamnya merasa sejajar. Orang kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, yang memiliki hirarki berbeda sebelum haji, lalu berpakaian yang sama, mengalami ritual yang sama, merasa sejajar. Setelah masa liminal ini selesai, maka menjadi haji, memiliki status sosial baru, dan mengalami transformasi spiritual individual, dan bagi sebagian orang menjadi bagian dari umat Nabi Muhammad.

Baru pada fase selanjutnya, post-liminal, seseorang menjadi bagian (incorporate) kehidupan atau kelompok baru. Setelah ia mengikuti upacara, melakukan prosesi, ia memiliki identitas baru, ikatan baru, kelompok dan dunia baru. Hirarki terbentuk kembali. Pada fase ketiga itu, simbol-simbol tertentu dipakai, seperti mahkota, cincin, gelang, atau seragam baru, bendera baru, sumpah baru, dan sebagainya.

Di facebook pun, status berubah, misalnya. Ada rasa menjadi anggota, berafiliasi masuk keanggotaan atau fase yang baru. Masa incoporasi ini, tentu saja, bukan berarti fase terakhir. Ketika seseorang sudah lama menjadi anggota organisasi tertentu, puas ataupun tidak puas, ia memikirkan ulang, mengalami asam garam dan manisnya dengan identitas dan kelompok itu. Dalam kehidupan manusia, kematian menjadi akhir, dan upacara kematian menandainya.

Suatu fase bisa berakhir, tapi fase baru akan dimulai. Misalnya, graduation atau lulus sarjana (S-1), mengakhir fase S-1, tapi menjadi fase untuk selanjutnya, jika ia akan melanjutkan kuliah ke-S2. Begitu pula, jika ia telah selesai S-3, ia akan memasuki fase berikutnya lagi. Upacara pengukuhan Guru Besar, seperti di Indonesia, menjadi penting sebagai tanda puncak status akademik seseorang tapi bagi sebagian juga menjadi fase awal untuk kehidupan baru sebagai guru besar hingga wafatnya ketika fase kehidupan berakhir dan ditandai dengan upacara kematian atau funeral.

Pada umumnya, rites de passage berkaitan dengan fase perkembangan biologis. Bagi kaum perempuan misalnya, ada kehamilan lalu melahirkan. Ketika ia melahirkan, ada upacara terkait dengan kelahiran, apakah dikumandangkan azan atau do’a tertentu dalam agama lain, dan setelah beberapa hari, ada  aqiqah, dengan menyembelih hewan, dalam tradisi Abrahamik Islam, yang diikuti dengan pemotongan rambut dan pengumuman nama.

Pada selanjutnya, anak laki-laki khususnya, mengikuti tradisi itu, memasuki fase inisitasi, melalui sunat (circumcision) kelamin, sebagai tanda ia “sudah besar” dan kemudian masuk masa puber, yang dalam kasus perempuan, menstruasi menjadi salah satu tanda pubertas itu. Menurut Catherine Bell (Ritual: Perspectives and Dimensions 1997), rites de passage menggabungkan yang natural dan yang kultural. Perkembangan biologis manusia sejak lahir hingga wafat ditandai dengan upacara kultural sehingga kehidupan manusia menjadi lebih lengkap.

Upacara-upacara rites de passage menjadi bagian penting bagi perkembangan individual manusia sebagai makhluk komunal dan sosial. Rites de passange menghubungkan seseorang kepada suatu komunitas, dan masyarakat yang lebih luas dan bahkan kehidupan yang lebih spiritual dan bermakna. sebagai makhluk budaya dan sosial. Dalam bahasa Claude Levi-Strauss, ada impuls atau dorongan manusiawi yang dalam untuk “memasak” perubahan biologis yang mentah itu menjadi matang. Artinya, rites de passage menjadikan manusia biologis “matang”  secara kultural. Dalam perspektif lain, upacara merupakan metode meng-alami-kan kehidupan kultural dan mem-budaya-kan kehidupan biologis.

Fase sebelum, fase antara, dan fase sesudah itu, atau dalam bahasa lain siklus kehidupan (cycle of life) dialami kita semua, sebagai manusia biologis dan kultural, yang memiliki fisik dan kebudayaan. Di Mesir, Iran, Yunani, India, Cina, Arab, Eropa, Australia, Amerika, dan Nusantara, termasuk di kalangan agama lokal, dulu, dan sekarang, apapun bentuk rites-nya, dari segi simbol, bahasa, gerakan, bahan-bahan yang digunakan, dan pemaknaan khususnya, ada kesamaan yang cukup universal di hampir semua komunitas manusia dulu dan sekarang.

Selain berbeda-beda, ada perubahan tentu saja, karena manusia terus berubah, tapi tradisi rites de passage dalam arti permulaan, transisi, dan kematangan hingga akhir, telah ada sejak lama sekali, dan cukup langgeng dalam sejarah perkembangan umat manusia. Faktor-faktor jender dan seksualitas, kelas sosial ekonomi, kota dan desa, suku dan ras, agama dan ideologi, pekerjaan, negara, krisis wabah, dan sebagainya, berpengaruh pada rites de passages.

Wabah Covid-19 misalnya berdampak pada upacara-upacara seperti pernikahan dan upacara kematian, yang harus memenuhi “protocol”. Haji, umrah, sunat, baptisme, mandi di Sungai Ganga India, bisa  menyesuaikan diri waktu dan pelaksanaannya. Namun demikian, dalam situasi darurat pun, dan dengan berbagai teknologi komunikasi yang begitu pesat, rites de passage masih dilakukan, dialami, dan kita saksikan di mana-mana.

Rites de passage adalah bagian penting kehidupan kita sebagai manusia individual dan komunal, manusia biologis dan budaya sekaligus. Rites de Passage juga menunjukkan bahwa manusia adalah bagian dari masa lalu dan tradisi, meskipun hidup di masa sekarang, dan sejauh apapun kita sedang dan akan melesat jauh ke masa depan.

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.