Rabu, Oktober 9, 2024

Memahami Kritik Al-Qur’an terhadap Kristen

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

quran-bibleBahwa al-Qur’an mengkritik agama lain, terutama Kristen, tak perlu diperdebatkan. Yang terbuka untuk diperdebatkan ialah apa yang sebenarnya dikritik oleh al-Qur’an itu.

Memang, kritik-kritik al-Qur’an tidak banyak didiskusikan sarjana. Hal itu bisa dimengerti karena “norma” zaman modern menuntut kita menghargai keyakinan lain. Dan membicarakan kritik-kritik tersebut dianggap menyalahi aksioma yang menuntut kita respek dan menoleransi agama lain.

Masalahnya ialah keengganan mendiskusikan kritik-kritik al-Qur’an justru menjadikan isu penting ini terlepas dari perbincangan serius. Lebih dari itu, banyak polemik al-Qur’an terhadap Kristen dijadikan alasan oleh kelompok Muslim radikal untuk menjustifikasi sikap eksklusif bahkan tindakan kekerasan.

Kenyataannya, kita temukan banyak kritik al-Qur’an terhadap Kristen. Misalnya soal ketuhanan Yesus dan doktrin Trinitas. Tidak mudah memahami kritik-kritik al-Qur’an tersebut karena sepertinya yang dikritik bukanlah doktrin yang diyakini oleh kaum Kristiani sendiri.

Saya akan menggarisbawahi dua hal dalam tulisan ini: ambiguitas kritik al-Qur’an dan elemen heretikal (penyimpangan). Di bagian akhir saya diskusikan beberapa penjelasan yang telah ditawarkan para sarjana sekaligus signifikansinya bagi perbincangan lintas agama.

Ketuhanan Yesus
Tidak mudah menunjuk secara pasti apa yang sebenarnya dikritik al-Qur’an. Sepertinya kritik al-Qur’an ditujukan ke banyak arah. Soal ketuhanan Yesus, misalnya. Di satu sisi, al-Qur’an menempatkan Yesus dalam deretan Nabi-Nabi agung, bahkan menekankan keunikannya yang tidak dimiliki Nabi-Nabi lain. Di sisi lain, al-Qur’an mengkritik keyakinan para pengikutnya.

Tapi, apa yang dikritik dari keyakinan mereka? Apakah karena menganggap Yesus sebagai Tuhan?

Salah satu ayat yang sering dikutip orang adalah: “Telah berbuat kufur orang yang mengatakan ‘Allah adalah Almasih (Yesus) anak Maryam'” (QS 5:17 dan 72). Pertanyaannya, apakah ini kritik terhadap keyakinan kaum Kristiani? Jika kita merujuk ke pemahaman umum di kalangan Kristiani, maka jawabnya: Tidak. Kitab suci kaum Kristiani tidak pernah menyebut Tuhan sebagai Yesus. Ada perbedaan subtil antara “Tuhan adalah Yesus” dan “Yesus adalah Tuhan.”

Bahkan ulama Muslim seperti Ibn ‘Arabi menyadari perbedaan itu. Bagi Sufi yang kerap dijuluki Syeikh Akbar ini, pernyataan “Tuhan adalah Yesus” dianggap kufur yang berarti menutupi kebenaran karena membatasi ketuhanan hanya dalam bentuk Yesus. Berbeda halnya kalau seorang mengatakan Yesus adalah Tuhan.

Lalu, apa yang dikritik al-Qur’an? Pertayaan ini menggiring kita untuk memahami suasana polemik yang berkembang pada awal kelahiran Kristen, dan sekte kekristenan di Jazirah Arabia saat kelahiran Islam.

Dalam tradisi Kristen, diskusi ketuhanan Yesus punya sejarah panjang, hingga melahirkan dua konsili Necaea pada 325 dan Chalcedon pada 451. Kedua konsili tersebut dimaksudkan untuk mendiskusikan beragam perbedaan pendapat soal watak ketuhanan Yesus.

Konsili yang disebut terakhir menyikapi terutama dua pandangan berseberangan antara Monophysitisme yang menekankan kesatuan watak Yesus dan Nestorianisme yang menyebut Yesus punya dua watak: ilahi dan manusiawi. Konsili Chalcedon mengambil jalan tengah: Yesus punya dua watak yang menyatu dalam dirinya, dan ini yang menjadi keyakinan kaum Kristiani hingga sekarang.

Para sarjana pun terbelah dua ketika mendiskusikan sekte apa yang mempengaruhi cara pandang al-Qur’an terhadap Kristen. Sarjana Jerman Günter Risse menulis buku berjudul frase Qur’an yang saya kutip di atas: ‘Gott ist Christus, der Sohn der Maria’ (1989). Dia berargumen, penolakan al-Qur’an terhadap ketuhanan Yesus sebenarnya diarahkan pada sekte Monophysites yang bukan hanya menyebut ketuhanan Yesus tapi juga mengidentifikasi Tuhan dengan Yesus. Risse menyebutkan, keyakinan Monophysitisme cukup dominan di kalangan Kristen Arab zaman Nabi dan menjadi latar kritik al-Qur’an.

Di pihak lain, sarjana Inggris Geoffrey Parrinder dalam bukunya Jesus in the Qur’an (1965) menekankan pengaruh Nestorianisme dalam kritik al-Qur’an. Sungguhpun demikian, kedua kutub kesarjanaan ini sepakat bahwa al-Qur’an tidak lahir dari kevakuman, tapi merespons fenomena tertentu. Menariknya, al-Qur’an tidak mengkritik keyakinan umum di kalangan kaum Kristiani, melainkan ajaran yang sebenarnya juga ditolak oleh mereka sendiri.

Doktrin Trinitas
Kesimpulan di atas akan lebih jelas lagi manakala kita teliti kritik al-Qur’an terhadap doktrin Trinitas. Sepintas kita mendapat kesan bahwa yang dikritik al-Qur’an bukan Trinitas melainkan triteisme (tiga tuhan). Simak, misalnya, ayat berikut: “Telah berbuat kufur orang yang mengatakan ‘Allah itu ketiga dari tiga’” (QS 5:73).

Lebih menarik lagi, dari surat al-Ma’idah ayat 116, kita dapat simpulkan Trinitas yang dikritik al-Qur’an terdiri dari Allah, Yesus dan Maryam, bukan Bapak, Anak dan Ruh Kudus.

Pertanyaannya, kenapa al-Qur’an memahami Trinitas seperti itu? Sekali lagi, siapakah yang dikritik al-Qur’an? Bukankah kaum Kristiani tidak meyakini Trinitas seperti yang dikritik al-Qur’an?

Ada beberapa penjelasan terhadap kritik al-Qur’an ini. Sebagian orang beranggapan al-Qur’an salah paham terhadap doktrin Trinitas. Ada juga yang mengatakan, yang dikritik al-Qur’an bukan Trinitas, melainkan tritheisme yang menganggap Tuhan itu tiga (Allah, Yesus, dan Maryam).

Namun demikian, penjelasan yang saat ini diamini banyak sarjana adalah yang diperkenalkan oleh Parrinder. Guru besar emeritus di Universitas London ini berpendapat, al-Qur’an sebenarnya merujuk kepada sebuah sekte yang menuhankan Maryam, disebut Collyridians. Sekte ini terdiri dari kaum perempuan yang menyembah Maryam dengan mempersembahkan roti kecil, yang dalam bahasa Yunani disebut “collyris.” Dari praktik itulah mereka dikenal dengan Collyridians.

Para sejarawan menyebutkan, awal mula sekte ini muncul di Thrace (sekarang di daerah Bulgaria dan bagian utara Turki) kemudian berkembang ke selatan menuju Jazirah Arabia. Jadi, sangat dimungkinkan al-Qur’an mengalamatkan kritiknya pada sekte ini, bukan keyakinan umum di kalangan Kristen. Dan para pemimpin Kristen awal sudah menolak sekte ini. St. Epiphanius adalah yang paling keras menolak sekte ini dan menganggapnya sebagai bid’ah yang sesat (heretic). Bahkan, informasi tentang sekte Collyridians itu kita peroleh dari catatan-catatan St. Epiphanius.

Perlu dicatat, kemungkinan kritik al-Qur’an terhadap Trinitas terkait sekte yang dianggap sesat itu ternyata tidak hanya diajukan sarjana Barat seperti Parrinder. Sebelumnya, ulama Muslim terkemuka asal Suriah, Jamal al-Din al-Qasimi (wafat 1914), mengakui kemungkinan itu.

Qasimi yang dikenal sebagai “juru bicara kaum Salafi awal” (pinjam istilah Itzchak Weismann) ini menulis tafsir terkenal Mahasin al-Ta’wil pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dan secara tegas mengaitkan kritik al-Qur’an dengan Collyridians. Kata Qasimi, kemungkinan ini tidak bisa dinafikan karena di Jazirah Arabia memang terdapat sekte yang disebut “Maryamiyyun” atau pengikut Maryam.

Pengakuan Qasimi ini cukup signifikan bagi perbincangan lintas agama. Sebab, dia mengakui al-Qur’an tidak mengkritik doktrin Trinitas yang dipahami kebanyakan kaum Kristiani. Yang dikritik adalah ajaran Trinitas yang menyimpang, yang menganggap Maryam sebagai uqnum Trinitas.

Karena itu, al-Qur’an tidak bertanggung jawab terhadap sikap intoleransi dan kebencian kaum Muslim terhadap umat Kristen. Sumber dan penyebab utamanya adalah kesalahpahaman terhadap kritik-kritik al-Qur’an.

Perlu ditambahkan, dalam kesarjanaan mutakhir, muncul pergeseran dari penjelasan yang menekankan aspek heretik sekte Kristen menuju retorika al-Qur’an dalam iklim polemik. Dalam kaitan itu, kritik al-Qur’an tidak dipahami sebagai respons terhadap sekte Kristen sempalan, melainkan sebagai pernyataan polemik al-Qur’an untuk memenangkan perdebatan teologis.

Saya sendiri lebih cenderung pada penjelasan terakhir ini. Sebab, asumsi bahwa Arabia begitu terisolasi sehingga menjadi tempat bersemainya ajaran-ajaran (Kristen) yang sesat semakin sulit dipertahankan. Dalam kesarjanaan modern, iklim kompetisi lintas agama sebagai latar kelahiran Islam dianggap lebih fashionable.

Dalam iklim semacam itu, al-Qur’an bukannya tidak tahu Trinitas yang dipahami kaum Kristiani, tapi tetap mengkritiknya sedemikian rupa untuk memenangkan sebuah argumentasi. Retorika polemik memang kerap melebih-lebihkan dan bahkan distortif.

Nah, yang perlu dipikirkan serius ialah bagaimana kritik-kritik al-Qur’an itu ditafsirkan secara lebih humanistik agar berkontribusi bagi pergaulan dan interaksi lintas agama. Upaya memahami kritik-kritik tersebut secara kreatif diharapkan mengubah persoalan teologis yang rumit itu menjadi kesempatan bagi perbincangan yang berbuah keharmonisan.

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.