Selasa, Oktober 8, 2024

Melayani Pemudik atau Pencari Gengsi?

Fakhri Zakaria
Fakhri Zakaria
Pegawai negeri sipil di sebuah lembaga pemerintah. Pengarang buku LOKANANTA (2016)
tol-cipali
Kendaraan pemudik mengantre menuju pintu gerbang tol Cipali Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, Minggu (10/7). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara

Harapan lancarnya arus mudik Lebaran mengemuka saat Presiden Joko Widodo meresmikan rual tol Pejagan-Brebes Timur pada 16 Juni lalu. Dalam sambutannya, Presiden menyebutkan ruas tol tersebut bisa mempersingkat waktu tempuh Jakarta- Brebes menjadi hanya empat jam. Publik seketika menyambut dengan antusias, tanpa menyadari bahwa waktu tempuh tersebut adalah saat lalu lintas normal, bukan saat arus mudik di mana jumlah kendaraan yang meninggalkan Jakarta mencapai satu juta kendaraan.

Melambungnya harapan akan perjalanan mudik yang lancar tentu bukan tanpa sebab. Masih segar dalam ingatan tol Cipali yang baru saja diresmikan seketika menjadi area parkir massal saat arus mudik Lebaran tahun 2015 lalu. Tahun ini limpahan kendaraan justru menimbulkan horor yang lebih mengerikan bernama Brexit (Brebes Exit). Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan sebanyak 11 orang harus kehilangan nyawa akibat kemacetan yang memakan waktu hingga 36 jam.

Silang sengkarut mudik ini kemudian terlihat saat evaluasi mudik tahun 2016 pada Senin (18 Juli). Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimulyono menyebut penambahan tempat istirahat pada jalan tol serta membangun jalan layang bagi ruas jalan sebidang dengan rel kereta api. Dari keterangan tadi terlihat jelas bahwa prioritas perbaikan adalah untuk angkutan berbasis jalan raya, alih-alih memperbaiki lini transportasi lain, seperti kereta api.

Sejak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele mengayunkan gagang cangkul sebagai penanda pembangunan kereta api di Indonesia tahun 1864 silam, belum ada perkembangan signifikan dalam sejarah perkembangan ular besi di negara ini selain seliweran wacana bombastis pembangunan kereta cepat.

Dalam dokumen Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, panjang jalur kereta api yang aktif adalah 5.434 kilometer. Tentu sangat jauh perbandingannya bahkan jika hanya untuk Pulau Jawa saja yang luasnya 128.297 km persegi.

Saat Belanda menjadikan kereta sebagai jawaban transportasi massal, Indonesia justru memilih untuk membiarkan jalur-jalur tersebut hingga mangkrak kemudian menimbun dengan aspal. Jalur-jalur tadi kemudian berusaha digali kembali dengan setumpuk pekerjaan rumah saat transportasi berbasis jalan raya yang dulu diagungkan kini jadi sumber permasalahan.

Kementerian Perhubungan mencatat, ada sekitar 3.343 km jalur kereta yang sudah lama tidak dipergunakan. Saya membayangkan di atas sana meneer-meneer Belanda tertawa terbahak-bahak sambil minum genever melihat ambtenaar-ambteenar kita kebingungan membangun kembali jalur yang sudah terkubur aspal dan jembatan yang dibiarkan putus.

Meski demikian, dalam empat tahun belakangan pelayanan kereta api penumpang menunjukkan peningkatan. Hal yang paling kentara adalah tidak adanya lagi penumpang berebutan mendapat tempat duduk di kelas ekonomi dan berdiri sepanjang perjalanan. Gantinya adalah deretan penumpang yang teratur masuk rangkaian sesuai jadwal keberangkatan dan duduk dalam kabin yang dilengkapi pendingin udara bahkan di kelas ekonomi sekalipun.

Kompensasinya adalah tiket yang semakin mahal, juga perebutan tiket yang berpindah ke loket reservasi online. Meski setiap Lebaran pihak PT Kereta Api menambah frekuensi perjalanan, jumlahnya tentu tak cukup untuk menampung luapan pemudik yang menurut data Kementerian Perhubungan mencapai 17 juta orang.

Mobil pribadi lalu jadi cara paling cepat untuk mendapat kepastian dan kenyamanan saat tak banyak opsi transportasi mudik. Mobil memberikan fleksibilitas saat konektivitas antarmoda transportasi publik masih jauh panggang daripada api.

Lebih dari itu, mobil pribadi, entah milik pribadi, fasilitas negara, masih dalam kepemilikan leasing, atau hasil pinjam di penyewaan, adalah simbol status yang dibawa ke tanah kelahiran. Mudik dengan penerbangan kelas bisnis yang dengan kenyamanan dan kecepatan tak ada artinya dengan keberhasilan membawa sebuah mobil berplat B, meskipun kelas LCGC dan statusnya rawan ditarik leasing selepas Lebaran karena dana cicilan keburu habis untuk bekal di jalan.

Fungsi mobil kemudian berubah dari sekadar alat transportasi menjadi salah satu instrumen penanda kenaikan status sosial. Mobil mengantarkan masyarakat rural agraris menjadi bagian masyarakat urban. Dan momen mudik Lebaran jadi sarana paling tepat menunjukkan keberhasilan mobilitas sosial tadi karena Lebaran adalah momentum waktu berkumpulnya sanak dan kerabat di desa.

Seakan mendukung, mobilitas sosial lewat kepemilikan mobil tadi dipermudah lewat makin gampangnya kredit kendaraan bermotor (berbanding terbalik dengan sulitnya mendapat kredit pemilikan rumah), longgarnya pajak, dan tentu saja infrastruktur jalan tol dan jalan raya yang terus meningkat. Akhirnya mobilitas manusia bergerak menuju arah privat. Angkutan umum, terutama di wilayah pedesaan, pelan-pelan harus masuk garasi karena penumpang beralih ke kendaraan pribadi.

Memuaskan syahwat pamer kesuksesan adalah pekerjaan sia-sia. Pemerintah semestinya memikirkan cara bagaimana mengembalikan mobil ke fungsinya sebagai alat angkut sekaligus menciptakan sistem transportasi massal yang aman, nyaman, dan paling penting, terjangkau.
Revitalisasi angkutan berbasis rel adalah pilihan logis, mengingat pemerintah sebetulnya hanya perlu menggali kemudian membenahi jalur-jalur kereta warisan Belanda.

Sebagai gambaran, Belanda meninggalkan jalur kereta Yogya – Magelang – Semarang yang kemudian dianaktirikan pemerintah Indonesia dan baru terasa manfaatnya saat jalan provinsi yang jadi salah satu urat nadi jalur tengah Jawa itu mulai tak sanggup menampung beban jalan. Juga jalur Bogor – Padalarang, yang saat ini tersisa hanya sampai Cianjur, yang bisa memecah kepadatan kawasan Puncak

Jalur-jalur kereta warisan Belanda ini juga merambah sampai kota-kota kabupaten, seperti jalur Secang-Parakanatau jalur Blora-Cepu. Artinya, sudah ada infrastruktur yang tinggal direvitalisasi kemudian didukung dengan konektivitas antarmoda transportasi yang sudah ada. Selain itu tentunya adalah penambahan kapasitas angkutan serta frekuensi perjalanan.

Poin terakhir jelas menimbulkan perdebatan karena penambahan frekuensi artinya menambah antrian di perlintasan kereta yang bersinggungan dengan jalan raya. Namun kembali lagi, masihkah perlu memenuhi gengsi kelas menengah baru yang ingin terlihat gagah dengan mobil pribadi ?

Melihat naiknya jumlah penumpang kereta api selama mudik Lebaran tahun ini yang meningkat 7,3 persen dibanding tahun lalu, juga penumpang pesawat udara yang naik 13 persen, terlihat masyarakat mulai mencari moda transportasi yang memberi kenyamanan dan kecepatan waktu dalam perjalanan mudik.

Jika pemerintah hanya sibuk dengan pembangunan ruas jalan tol saja, maka cerita kemacetan mudik akan terus berulang, meski setiap tahun dilakukan peresmian ruas jalan tol dan jalan raya baru.

Fakhri Zakaria
Fakhri Zakaria
Pegawai negeri sipil di sebuah lembaga pemerintah. Pengarang buku LOKANANTA (2016)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.