Data pribadi 50 juta orang pengguna Facebook yang diduga dicuri oleh lembaga konsultan asal Inggris, Cambridge Analityca, menjadi skandal dunia digital paling parah terkait dengan keamanan dan hak atas perlindungan data pribadi.
Data itu diduga dipakai di antaranya untuk kepentingan kampanye politik saat pemilihan presiden Amerika Serikat lalu yang memenangkan Donald Trump dan referendum Brexit di Inggris. Melalui data itu, karakter dan kebiasaan pemilik data bisa dianalsis sehingga bisa disusun strategi untuk mempengaruhi pilihan orang. Dalam dunia pemasaran, ilmu ini disebut sebagai psikografi.
Parahnya, data-data pribadi itu diduga tidak hanya dipakai sebagai alat politik dan kampanye di Amerika Serikat dan Inggris, tetapi juga di wilayah lain, yaitu dalam pemilihan umum di 50 negara, termasuk Brazil dan Malaysia. Bahkan diduga pula ada kandidat presiden di Indonesia yang pernah mempergunakannya. (Tempo.co, 30 Maret 2018).
Bahkan diduga pula, Grup SCL (Strategic Communication Laboratories), perusahaan induk Cambridge Analityca, pada masa reformasi di Indonesia pada 1998 memberikan asistensi reformasi politik dan kampanye secara nasional (Quartz, 29 Maret 2018). Perusahaan itu melakukan survei atas ribuan orang, mengelola komunikasi dengan para politisi, dan diduga mengatur protes para mahasiswa yang lantas kemudian berhasil menumbangkan Soeharto. Informasi ini tentu harus ditelusuri dan dikonfirmasi lebih lanjut.
Kini, dalam kasus Facebook sebagai skandal digital yang sangat luar biasa dampaknya, pihak yang berwenang harus mengusutnya secara tuntas. Di Amerika dan Inggris, proses hukum sedang dimulai. Pemilik Facebook Mark Zuckenberg telah berulang kali meminta maaf, termasuk dengan memasang iklan satu halaman penuh di berbagai media di Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat.
Namun, hal itu tidak menyelesaikan masalah, termasuk adanya kebijakan baru Facebook tentang privasi yang diluncurkan beberapa hari lalu. Facebook harus bertanggung jawab atas bocor dan disalahgunakannya data-data pribadi itu.
Rentannya keamanan data pribadi di dunia digital telah disampaikan sejak beberapa tahun lalu. Namun, ia seakan hanya dianggap angin lalu karena sebegitu kuat dan intimnya ketergantungan masyarakat pada media sosial, di antaranya Facebook. Kita dengan mudahnya menyetujui ketentuan tentang data pribadi kita tanpa mempertimbangkannya dengan matang.
Segala macam ekspresi, foto, aktivitas, profesi dan kebiasaan dengan mudahnya diunggah di Facebook yang memiliki pengguna sebanyak 2 miliar orang di dunia. Semua dilakukan atas nama kebebasan dan kemudahan, padahal jaminan atas perlindungan data belum tersedia.
Pun dengan pemerintah, seakan menutup mata karena masih menganggap isu keamanan dan perlindungan data pribadi belum menjadi kebutuhan yang mendesak dan penting. Namun, begitu skandal Facebook terkuak, semua baru meresponsnya dengan tergopoh-gopoh. Padahal perlindungan data pribadi adalah hak setiap orang yang harus dijamin keamanannya oleh negara.
Kebijakan registrasi kartu prabayar yang diwajibkan oleh pemerintah juga rawan terjadinya pelanggaran hak atas privasi dan keamanan data pribadi. Apalagi dalam registrasi itu, pemilik kartu telepon tidak hanya mengirimkan nomor Kartu Tanda Penduduk, tapi juga nomor induk Kartu Keluarga. Padahal di dalam nomor induk Kartu Keluarga itu tercantum juga identitas anggota keluarga berikut kode domisili yang bersangkutan. Alhasil, data yang sangat privat itu rawan disalahgunakan untuk berbagai kepentingan.
Pemerintah dan parlemen harus menyegerakan pembahasan undang-undang tentang perlindungan data pribadi. Dengan adanya undang-undang itu, jaminan atas perlindungan data dan mekanisme pemulihan jika ada pelanggaran akan lebih jelas dan terukur.
Pun bagi pihak yang selama ini mendapatkan privilege mengakses data pribadi karena menjual aplikasinya, misalnya ojek online dan Facebook, akan lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam melindungi data pribadi pengguna. Pemerintah juga bertanggung jawab dan punya kewajiban hukum yang jelas ketika terjadi kebocoran dan penyalahgunaan data pribadi.
Di era digital yang semakin bertransformasi di segala bidang dan aspek kehidupan ini data adalah segalanya. Data menjadi basis untuk pengambilan keputusan dan kebijakan oleh banyak pihak, khususnya pebisnis dan politisi. Lewat berbagai aplikasinya, teknologi memang memudahkan kita sehingga hidup terasa lebih nyaman dan menyenangkan. Namun, di sisi lain, kita telah menyerahkan privasi kita yang bisa dipergunakan dan disalahgunakan untuk berbagai kepentingan.
Di saat regulasi yang melindungi data pribadi belum terbentuk, keamanan data pribadi akan sepenuhnya tergantung pada kehati-hatian kita.
Kolom terkait:
UU ITE: Antara Ancaman dan Kebebasan Berpendapat