Di Indonesia banyak tontonan bagus, tapi lebih banyak tontonan yang tidak bagus. Sayang sekali, program “Mata Najwa” harus undur diri. Entahlah, dipaksa mundur teratur atau mundur diatur. Penayangan terakhir “Mata Najwa” membuktikan bahwa masyarakat yang telanjur jatuh cinta dengan “Mata Najwa” juga pemiliknya, Najwa Shihab, terpaksa kehilangan mata kuliah umum.
“Mata Najwa”, bagi saya, adalah mata kuliah umum yang benar-benar menjelaskan kotor juga baiknya bermain-main dalam politik. Saya yang awam akan hukum, tata negara, dan kawan-kawannya, menjadi lebih jelas ketika problematika negeri ini dihadirkan di meja “Mata Najwa”.
Dua bola mata Najwa yang bulat besar itu seperti tak pernah menjelaskan. Matanya meminta kita menerka-nerka. Sayang, banyak yang salah terka hingga takut menghadiri undangan-undangan yang dilayangkan Najwa dalam programnya.
Najwa tak pernah dengan jelas menjelaskan kepada siapa ia berpihak. Ia hanya menerangkan, bertanya, juga membiarkan publik memahami dengan sendirinya. Ia tidak berpihak. Ia mempertanyakan segala hal yang mungkin juga dipertanyakan banyak kalangan. Tentu, idealisme ini berisiko. Namun, Najwa tetap memberikan kehangatan dalam setiap panduannya.
Saya penasaran dengan seorang wanita bernama Najwa. Kala itu saya sedang magang di sebuah media, bukan media besar. Dengan semangat, pimpinan media yang tidak besar itu terus menyanjung Najwa. Akhirnya saya penasaran, siapa gerangan wanita yang memenuhi kepala lelaki itu yang tidak lain adalah pimpinan media yang tidak besar itu.
Saya pun menyembah mbah Google dan memintanya memunculkan nama Najwa. Sejak hari itu, Najwa menjadi “lain” di pandangan saya. Meski belum sempat bertemu dan mengonfirmasi setiap catatan-catatan tentang Najwa, saya percaya saja bahwa Najwa telah melakukan hal besar yang tentu tidak semua orang bisa melakukannya. Selain itu, program “Mata Najwa” adalah lahan penelitian yang produktif untuk digarap dengan serius.
Program talkshow “Mata Najwa” di Metro TV akan berhenti berproduksi. Episode terakhir “Mata Najwa” akan tayang pada Rabu (30/8/2017) dengan judul “Catatan Tanpa Titik”. Program “Mata Najwa” telah mengudara selama 7 tahun. Selama 3 minggu di bulan Agustus ini akan ditayangkan kumpulan episode lama yang sangat bermakna dari total 511 episode “Mata Najwa” yang ada.
Sejauh ini Najwa melangkah dengan matanya, mengapa lantas mundur? Banyak spekulasi yang datang terutama di media sosial. Netizen mengungkapkan opininya dengan terbuka. Ada yang mengatakan episode terakhir ini adalah episode yang dicekal, Najwa akan pindah ke NET TV, sampai opini yang berisikan bahwa Najwa akan didaulat sebagai menteri. Ini hanya spekulasi. Benar tidaknya, Najwa yang paling tahu. Apa pun itu, Najwa pasti sudah memikirkannya berulang.
Najwa menuliskan sebelum publik bertanya atau berkomentar nyinyir terhadap keputusannya.
Eksklusif Bersama Novel Baswedan” menjadi episode live terakhir Mata Najwa. Sudah 7 tahun Mata Najwa mengudara. Sejak episode perdana “Dunia dalam Kotak Ajaib” yang tayang pada 25 November 2009 hingga wawancara eksklusif Novel Baswedan pada 26 Juli 2017, total sudah 511 episode Mata Najwa.
Selama tiga pekan ke depan, Mata Najwa akan menghadirkan kolase berbagai episode lama yang kami anggap penting dan berharga. Pada pengujung Agustus, Mata Najwa akan tiba pada episode final: “Catatan Tanpa Titik”.
Namun Agustus bukan hanya menjadi yang terakhir bagi Mata Najwa saja. Menjadi reporter Metro TV pada bulan Agustus 2000, perjalanan saya bersama Metro TV juga akan berakhir pada bulan yang sama. Ini adalah Agustus penghabisan.
Tujuh belas tahun bukan waktu yang singkat. Rasa bangga menjadi reporter pertama Metro TV, sebagai pemilik kode reporter 01 dalam istilah teman-teman di Kedoya, sampai kapan pun tak akan luntur. Rangkaian perjalanan saya sebagai reporter sebuah TV berita pertama di tanah air terekam dalam, membuat kehidupan jauh lebih kaya serta menjadi bekal berharga untuk terus berkarya sebagai jurnalis.
Terima kasih tiada tara pada keluarga besar Metro TV. Juga kepada semua pihak yang telah bermitra dan mendukung, terutama pemirsa yang selama ini menemani saya dan Mata Najwa.
Salam,
Najwa Shihab
Inilah keputusan Najwa. Bukan kali pertama Najwa membuat keputusan besar macam begini. Dengan kode 01, reporter pertama di Metro TV, tentu asam garam dunia jurnalistik tak sedikit yang dilewatkannya. Ribuan politikus baik, peduli, cemas, bahkan culas telah dirawatnya baik-baik sebagai kenangan yang turut dimiliki bangsa ini.
Liputan Najwa yang paling fenomenal yaitu tentang tsunami Aceh, hingga muncul tagline Shihab vs Shihab. Bukan… sama sekali bukan Rizieq Shihab.
Salah satu tugas yang mengesankan Najwa yaitu kala meliput gempa Aceh. Pada Minggu, 26 Desember 2004, Aceh dan Nias dilanda gempa dahsyat. Saat itu, Najwa menjadi asisten produser di Today’s Dialogue. Kejadian itu direncanakan akan menjadi tema perbincangan pada acara tersebut. Namun, ia berpikir akan lebih mengena jika ada yang pergi ke lapangan.
Najwa pun bergerak cepat. Dia mengontak beberapa teman, mencari tahu pesawat yang bisa ditumpangi karena penerbangan komersial dihentikan. Akhirnya, ia mendengar Jusuf Kalla, Wakil Presiden saat itu, akan berangkat ke Aceh pada Senin pagi, 27 Desember. Ia pun menelepon sekretaris JK. Tim Metro TV bisa ikut rombongan.
Dengan membawa pakaian ganti untuk dua atau tiga hari, Najwa bersama juru kamera ikut dalam penerbangan pesawat JK. Saat itu belum terdengar kabar soal tsunami karena semua komunikasi putus. Mereka menyangka hanya akan menghadapi dampak gempa biasa. Keanehan baru terasa saat pesawat tidak mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Mereka diarahkan ke sebuah lapangan terbang militer. Saat mendarat, JK tak dijemput dengan sedan mewah, melainkan oleh sebuah truk tua.
Dalam perjalanan menuju pusat kota, ia akhirnya melihat betapa hancurnya Banda Aceh. Lapangan Blang Padang, alun-alun Banda Aceh, sudah seperti pasar yang becek, jorok, dan bau. Bukan oleh tumpukan sampah, melainkan timbunan mayat manusia. Di Minggu pagi itu sedang berlangsung lomba marathon. Ada ribuan orang berkumpul. Mereka semua disapu air tsunami.
Najwa menuturkan bahwa yang mampu dilihatnya hanyalah mayat, potongan tubuh, juga kesedihan. Banyak tatapan kosong dalam pandangan orang-orang yang kehilangan. Ia menghitung banyak kehilangan. Hingga ia sendiri tak sanggup menghitung lebih banyak lagi.
Untuk sesaat, para jurnalis itu menjadi semacam alternatif. Ada seorang ibu yang menitipkan foto anaknya yang hilang ke Najwa. Ada juga seorang ibu yang meminta susu untuk bayinya. Najwa menyatakan bahwa sampai hari keenam peristiwa berdarah itu, belum juga ditemukan posko bantuan. Ia dalam laporannya mengkritik pemerintah.
Tak urung, laporan Najwa juga menyentil Alwi Shihab secara terang dan terbuka. Alwi Shihab tiada lain adalah paman Najwa yang saat itu menjabat Menko Kesra. Selain keras, juga emosianal. Dalam sebuah kesempatan, Najwa menangis saat melaporkan situasi. Rasa kemanusiaan dan kedewasaannya tumbuh seketika. Inilah yang selalu diceritakan pimpinan media yang tidak besar di tempat saya magang seperti yang saya sebutkan tadi.
Liputan Najwa selama lima hari itu mendapatkan apresiasi dari sejumlah pihak. Pada 2 Februari 2005, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya memberi penghargaan PWI Jaya Award.
Menurut dia, dalam konsep jurnalisme ada pendapat bahwa wartawan tidak boleh terlibat secara emosional dengan apa yang sedang diliputinya. Tetapi di Aceh, justru, lain kenyataannya, Najwa menangis, yang akhirnya mendorong Indonesia ikut menangis.
Setelah peristiwa itu, muncullah tagline yang begitu kuat “Shihab vs Shihab”. Najwa harus melawan sang paman. Ini bukan soal hubungan kekerabatan, melainkan menyelamatkan kemanusiaan yang menurut Najwa harus disegerakan. Shihab vs Shihab ini dilontarkan oleh pengamat komunikasi, Effendy Gazali menyitir judul film drama komedi terkenal Amerika, Kramer Vs. Kramer, yang dianalogikannya menjadi “Shihab Vs Shihab” untuk menggambarkan bagaimana Najwa Shihab sebagai wartawan tetap garang dalam menyuarakan kepentingan publik dan korban tsunami di Aceh.
Nama besar Najwa Shihab tetap melambung. Ia adalah bukti bahwa mereka yang berjuang atas nama kemanusiaan akan mereguk arti kemanusiaan itu sendiri. Meski Najwa memiliki kata-kata tajam, pandangan yang penuh prasangka, ia selalu bisa hangat dengan siapa saja. Ia hanya ingin mendengarkan kejujuran juga menjadi media untuk kejujuran itu diperdengarkan.
“Jangan bosan bicara tentang kebenaran, agar demokrasi tak berakhir dengan kesia-siaan”, Terima kasih Najwa dan “Mata Najwa”.