“Mungkinkan ini pengalihan isu penistaan agama?” Pertanyaan itu awalnya saya dapatkan dari tweet @felixsiauw, seleb-tweet yang kian populer sebagai “ustadz” bagi sebagian kalangan Muslim, khususnya kalangan muda. Membacanya, saya begitu miris. Semiris saat saya beberapa bulan lalu membaca status Facebook novelis muda Tere Liye yang sempat viral tentang penafiannya atas jasa pahlawan-pahlawan kita di luar kalangan religius: sosialis, aktivis HAM, komunis, dan liberal.
Tentu, yang utama, saya miris akan konten tweet itu seperti akan menjadi fokus kolom ini. Namun, yang juga tak kalah miris adalah karena itu ditulis oleh seorang public figure yang begitu digandrungi anak muda bangsa ini. Seorang yang sangat berpengaruh. Bukunya dicetak ribuan eksemplar. Twitter-nya diikuti oleh lebih 1,8 juta followers. Tweet-nya di-like, retweet, dan (mungkin saja) diamini begitu banyak generasi muda kita.
Dari sana, saya seolah melihat suramnya masa depan negeri ini di tangan generasi muda semacam itu.
Setelah saya telusuri, ternyata tuduhan—atau minimal kecurigaan—bahwa tragedi memilukan bom molotov Oikumene itu bagian dari pengalihan isu penistaan agama sungguh viral dan serius. Viral karena begitu mudah saya temukan lemparan tuduhan tak bertanggung jawab itu di media sosial.
Serius karena seorang bernama Harits Abu Ulya yang disebut dalam pemberitaan Republika sebagai pengamat terorisme yang juga Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) pun—sebagaimana pemberitaan itu—sepakat dengan tuduhan itu.
Mari kita mencoba berpikir jernih dan rasional. Pertama, kasus penistaan agama yang menimpa Ahok telah masuk ke proses hukum, bahkan kini ia sudah menjadi tersangka. Prosesnya juga cepat dan transparan. Sebagian kita yang tersinggung dengan ucapannya bisa mengawal proses hukum itu seradikal mungkin, seradikal ketersinggungan sebagian kita pada ucapan Ahok itu.
Artinya, kasus tersebut telah berada pada duduk perkaranya. Tak ada yang bisa menghentikan atau mempermainkan proses hukum itu selama sebagian kita terus mengawalnya dengan ketat, sekencang teriakan sebagian kita di “Aksi Damai 4/11”. Maka, mustahil pengalihan isu bisa mempengaruhinya.
Saya percaya bahwa Habib Rizieq dan kawan-kawan sangat mampu mengawal proses hukum tersebut, betapapun opini berusaha atau bahkan telah teralihkan kemana pun.
Kedua, Harits Abu Ulya mendasarkan pendapatnya dengan argumentasi bahwa aksi teroris Oikumene tergolong low quality, tapi high effect opinion yang ditudingnya lantaran follow up dan blow up opini sesuai dengan kepentingan politik yang menungganginya.
Menjawab itu, menurut saya, high effect opinion atas aksi teror itu memang bukan karena low quality, melainkan high effect aksi teror tersebut: terbunuhnya seorang balita dan korban beberapa anak kecil. Jika kita jujur, semua hati pasti tersayat-sayat atasnya. Karena itu, semua bersimpati dan menumpahkan opini emosionalnya di media sosial. Sehingga, trending topic-nya juga adalah #RIPIntan, bukan yang lain.
Seorang anak adalah anugerah terbesar bagi setiap manusia. Masyarakat selalu begitu marah melihat kasus bayi yang dibuang oleh ibunya, tanpa ada rekayasa opini apa pun. Jika kita membaca kisah para nabi, khususnya Ibrahim dan Ya’qub, kita akan begitu mudah menghayati ini.
Dikisahkan dalam al-Qur’an, bagaimana Ibrahim begitu besar keinginannya pada seorang anak dan begitu terpukul ketika anak bernama Ismail itu “diminta kembali” oleh Tuhan melalui mimpi untuk di-qurban-kan. Begitu pula Ya’qub yang hingga memutih matanya lantaran terus menangisi kehilangan anaknya yang bernama Yusuf.
Jika Anda seorang ayah atau ibu, Anda (mungkin) lebih mudah lagi memahami dan merasakan apa yang saya maksudkan. Bayangkan, seorang anak yang merupakan dambaan setiap pasangan suami-istri, dikandung oleh ibunya sembilan bulan dengan penuh kasih sayang, ayahnya banting tulang untuk calon anak itu dan ia akan diraniai syahid jika mati dalam keadaan mencari rezeki untuk ibu dan anak yang dikandungnya.
Begitu pula ibunya mempertaruhkan nyawa saat melahirkannya dan akan syahid jika wafat saat melahirkan, bahkan setiap tarikan nafas ibunya saat melahirkan diganjar pahala tak terhingga. Dirawat anak itu dengan penuh pengorbanan. Dan, BOMMM! Semua itu musnah dengan satu lemparan bom molotov seorang teroris. Betapa menyayat hati tragedi itu?!
Juga, sempatkah kita membayangkan, bagaimana jika sebenarnya masa depan anak itu akan menjadi pribadi yang begitu bermanfaat bagi umat manusia?
Lagi pula, bukankah sudah sering kita saksikan pembunuhan atau teror terhadap anak kecil melahirkan high effect? Saya bisa sebutkan nama Angeline di Indonesia dan Aylan Kurdi di luar negeri.
Ketiga, secara logika, isu yang hendak digunakan untuk mengalihkan isu seharusnya lebih dahsyat muatannya dari yang dialihkan. Sebab, betapapun opini pengalihan dibentuk, jika muatannya tak lebih dahsyat, tentu publik takkan (mudah) teralihkan. Namun, jika kita mengerdilkan tragedi Intan lantaran itu, lalu bagaimana logikanya ia bisa mengalihkan isu tuduhan penistaan agama oleh Ahok yang begitu dahsyat dengan demonstrasi yang konon terbesar dalam sejarah Indonesia itu?
Keempat, masih mengacu ke poin ketiga, jika harus saling curiga dan tuduh, justru lebih rasional mencurigai dan menuduh bahwa teror itu sengaja dilakukan saat kita sedang fokus dan heboh pada isu penistaan agama agar tragedi dan kematian memprihatinkan itu tak mendapat perhatian. Sebagaimana tuduhan bahwa pasal-pasal atau kebijakan-kebijakan ganjil sengaja “diketok palu” atau ditandatangani saat publik heboh pada suatu kasus besar.
Kelima, jika harus mengaitkan isu penistaan agama dan teror Oikumene, justru teror itu akan semakin menyudutkan posisi Ahok dengan logika yang telah banyak disampaikan oleh publik di media sosial, yakni “makanya jangan biarkan penista agama bebas agar kebencian pada non-Muslim, khususnya Kristen, tak makin menjadi-jadi hingga umat Islam main hakim sendiri dengan teror seperti tragedi Oikumene.” Ini jauh lebih masuk akal karena terorisme akan mendapat legitimasi.
Sudahlah! Hentikan semua tuduhan keji dan tak logis itu. Satu nyawa manusia sangat berarti di mata Tuhan, betapapun ia dilakukan dengan aksi pembunuhan yang low quality. Karenanya, kata Tuhan dalam surat al-Maidah ayat 32, “… siapa membunuh seorang manusia, bukan karena (membunuh) orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya …”
Demi perdamaian dan kemanusiaan, kita harus memberikan perhatian tersendiri pada setiap aksi pembunuhan, terlebih terorisme atas nama agama. Apalagi, seperti kata Kiai Said Aqil Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), ia juga berarti penistaan terhadap al-Qur’an, yakni al-Maidah ayat 32. Terlebih, korbannya adalah anak kecil dan objeknya adalah rumah ibadah, di mana dalam perang sekalipun, Islam menjamin keduanya.