Dinna seorang pegawai negeri sipil (PNS) tersenyum-senyum sendiri menatap gawai di telapak tangannya. Perempuan tiga puluh dua tahun itu, baru saja mengubah gambar profil di aplikasi pengirim pesannya dengan foto seekor burung merentangkan sayap berlatar langit senja. Di dalam foto itu, termuat kata-kata berbunyi begini: “kuberi kau sepasang sayap dan kubiar bebas. Begitulah sebaik-baik aku mencintaimu”.
Kepada saya, Dinna bercerita: foto itu adalah puisi grafis hasil cuplikan layar (screenshot) dari akun instagram cerpenis Agus Noor. Dinna juga berkata, puisi grafis itu mewakili perasaan hatinya yang secara tersirat ditujukan pada seseorang yang ia cintai.
Dinna, barangkali juga kita, mungkin tak menyadari telah memberlakukan sastra dengan cara berbeda dibanding para pembaca/penggemar sastra sebelum perkembangan teknologi informasi sepesat hari ini. Dari layar gawai, acapkali saya menatap novel atau cerpen lebih digemari untuk disebarkan petikan kata-kata indahnya yang dibingkai dengan ilustrasi tertentu atau ditata menjadi tipografi.
Begitu pun puisi lebih diminati untuk diambil satu dua larik—lara, romantis, memantik keberanian atau empati—disertai foto diiringi petikan lagu. Direspons sebatas kutipan (quote), karya sastra lantas diunggah ke media sosial sebelum nantinya digandakan oleh akun-akun lain. Aktivitas ini mengukuhkan bahwa laku seseorang mengandung dalam dirinya orang yang lain.
Begitulah, di satu sisi, pembaca hari ini dengan kreativitas masing-masing memanfaatkan sastra sedemikian rupa. Menyiratkan bahwa sastra memang ditulis tak semata untuk dirinya sendiri. Di sisi lain, ada keseragaman dalam tataran apresiasi itu, yakni pembaca yang terbiasa dengan teknologi informasi dan komunikasi berbasis digital―digital immigrant maupun digital natives―memberlakukan sastra sesuai karakter media digital yang secara konstan terkoneksi dengan orang lain, tampil ringkas, mementingkan citra, dan menekankan pada aksi sekelebatan.
Memandang ke belakang, jejak apresiasi semacam itu sudah ditengarai sejak munculnya situs Cybersastra yang dikelola oleh Masyarakat Sastra Internet (MSI) tahun 1999 silam. Kritikus sastra, Faruk HT, dalam esainya “Cybersastra: Penjelajahan Awal Terhadap Sastra di Internet” (terkumpul dalam buku Beyond Imagination Sastra Mutakhir dan Ideologi. 2001) memaparkan kecenderungan bahwa para pengunjung situs tersebut mencerminkan suatu sikap baru, yakni nonformal ekspresif saat berhadapan dengan kaya sastra. Mereka memandang sastra dengan cara lebih santai, akrab, tidak berjarak, bahkan sastra merupakan kelanjutan dari dunia chatting atau dengan kata lain aktivitas kelisanan kedua (hal. 242-243).
Delapan belas tahun berlalu, penilaian atas apresiasi sastra di era digital tak serta merta menggembirakan. Tak bisa dipungkiri, akses internet juga berbagai aplikasi media sosial—Twitter, Facebook, Youtube, Instagram, Whatsapp, atau Steller—semakin jadi bagian keseharian, memungkinkan setiap penggemar sastra bersuara, bertukar informasi bahkan pamer buku bacaannya via gawai. Seringkali suara-suara itu dinilai miskin perenungan mendalam, tidak melibatkan eksplorasi kapasitas rasional, tetapi lebih menekankan “aksi menyebar” daripada “bertukar pengetahuan”.
Di era digital ini, posisi pembaca sastra nampaknya tetap tak beranjak sebagai komunitas paling terpinggirkan. Pembaca tetap ditempatkan dalam posisi yang bahkan desisif dalam menentukan sebuah karya sastra sebagaimana pernah disinggung oleh Radhar Panca Dahana dalam esai “Sejarah Sastra Menuju Pembaca” (terkumpul dalam buku Kebenaran dan Dusta dalam Sastra. 2001).
Kerap luput dari perbincangan, penggemar sastra yang telah terbiasa dengan teknologi informasi dan komunikasi berbasis digital punya kecenderungan untuk melakukan apresiasi sastra di gawainya secara multitasking. Sastra diapresiasi dengan kreativitas tersendiri, memadupadankan produksi teks yang tidak bersumber pada satu subjek semata. Tetapi menggabungkan media-media lain yang diketahui memiliki muatan isi setara bahkan keterbalikan.
Sekadar contoh, di aplikasi berbagi foto dan video sangat memungkinkan nukilan prosa ditata bersama foto seorang penulis yang didapatkan dari bantuan peramban (search engine). Lantas diperkaya audio—suara alam, hewan bahkan dengung mesin industri—dan diakhiri visual tak terduga semisal cuplikan video makanan atau arsitektur pun rekaman perjalanan pemilik akun di suatu tempat atau ruang imajinatif yang telah diolah digital.
Dalam apresiasi semacam itu, setidaknya terlihat bagaimana karya sastra diterima, diaktualisasi atau diinteraksi oleh pembaca sejauh tapal batas kreativitas dan pengetahuannya.
Lewat jemari di layar gawai, dalam tingkat praktis buku-buku sastra mendapat penilaian secara bebas oleh pembaca. Mengunjungi situs jaringan sosial katalogisasi buku GoodReads semisal, pembaca dengan sukarela menulis panjang mengomentari buku bacaannya. Tulisan itu menjadi referensi bagi calon pembaca, juga memantik obrolan selayaknya chatting tentang pengalaman membaca.
Tafsir pembaca pun di kolom-kolom komentar jadi cerminan demokrasi subyektivitas, bukan demokrasi obyektivitas. Komentar-komentar itu tak terbelenggu oleh struktur birokrasi sebagaimana menulis surat pembaca, resensi, kritik sastra yang mesti melewati proses kurasi ketat sebelum dipublikasikan.
Kembali mengkhikmati aktivitas sosok Dinna yang menjadi pembuka esai ini, suatu kali ia merangkai puisi, catatan pribadi, foto-foto di aplikasi berbagi foto dan video. Ia menata puisi “Malam yang Susut Kelabu” karya Goenawan Mohammad, kata-kata sedih yang ia tulis bertema keterpisahan, foto sambal terasi di cobek, dan diakhiri foto dua bocah perempuan di taman yang hijau. Kesemuanya itu ia tujukan untuk suaminya yang bekerja jauh di kota Malang, Jawa Timur, sedang ia dan dua putrinya tinggal di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Dari unggahan itu, kita mendapati karya sastra yang diapresiasi begitu intim, tak semata berputar dalam lingkaran analitik―sudut pandang kritikus, kepentingan penerbit atau sastrawan yang tengah menengok karya sendiri. Di era milineal ini, satu hal yang tak bisa dipungkiri apresiasi sastra berputar dalam faktualitas perasaan-perasaan manusia yang dapat kita tengok dari sebuah layar setelapak tangan.
Baca juga:
Pengarang “Mati”, Pembaca Lahir