Bahasan soal hoax, berita, akun, dan situs palsu memang menjemukan. Pengguna internet Indonesia tampaknya sangat lambat belajar mendeteksi berita palsu yang disebarkan akun dan situs-situs palsu. Berkali-kali masyarakat tergiring pada berita yang menyudutkan satu pihak, yang belakangan dideteksi sebagai berita dengan sumber situs yang pengelolanya tidak bertanggung jawab.
Selain melalui situs dan akun palsu, pengguna internet masih “hobi” digiring broadcast melalui aplikasi pengirim pesan, yang kemudian berujung pada ketakutan berlebihan dan sikap menghindari sesuatu secara berlebihan.
Di samping beredarnya akun palsu yang didalangi para ahli siber (individu, komplotan, atau individu yang berkomplot) untuk menyebarkan informasi palsu, beberapa tahun terakhir ini cukup banyak pengguna media sosial yang memiliki akun “palsu”, atau yang sering juga mereka sebut-sebut sebagai ‘second account’ (akun seken), khususnya pada media sosial Facebook dan Instagram. Akun “kedua” ini banyak dimanfaatkan pengguna sebagai wadah pengekspresian diri tanpa perlu repot dan khawatir dengan pencitraan ataupun “penghakiman” dari para followers.
Akun-akun ini umumnya dimiliki oleh pesohor dan figur publik yang ingin mengunggah konten pribadinya hanya pada lingkaran sosialnya. Namun, belakangan para milenial banyak juga membuat akun “kedua” untuk tujuan beragam; stalking, spamming, keperluan portofolio, bisnis, ataupun ikut serta dalam kuis-kuis. Disebut sebagai akun “kedua” karena pembuatannya dilakukan setelah akun utama dijalankan dengan rutin.
Jika akun palsu penyebar informasi palsu digunakan untuk meraup keuntungan materi, akun ‘palsu’ milik pengguna biasa ini banyak digunakan untuk memenuhi keinginan berekspresi secara bebas; innerpeace, keuntungan secara psikis.
Mudahnya proses pembuatan akun media sosial memang dimanfaatkan developer untuk meraup downloads, users, traffic, dan iklan, yang pada akhirnya mengembalikan keuntungan besar untuk mereka. Namun, kemudahan ini kemudian menjadi salah satu pendorong berkembangnya penggunaan akun-akun palsu. Kepemilikan dua, tiga, bahkan sepuluh akun oleh satu individu memang sah-sah saja, selama penggunaannya positif dan membangun. Namun, bagaimana jadinya jika akun-akun palsu ini digunakan untuk kepentingan bersifat negatif? Sindikat saracen adalah salah satu contoh yang terbongkar dari sekian banyak sindikat negatif lainnya.
Kembali lagi kepemilikan akun palsu milik sindikat dan komplotan serupa memang ditujukan untuk meraup keuntungan materi. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika second account milik pengguna biasa digunakan untuk mengekspresikan emosi dengan cara yang juga negatif dan menyimpang?
Sekarang buka Instagram Anda, ingat beberapa akun pesohor, artis, atau figur publik yang Anda ikuti, kunjungi profil salah satunya, buka salah satu foto mereka, dan baca kolom komentarnya. Dari ribuan, ratusan, bahkan foto yang jumlah komentarnya hanya puluhan, bisa jadi Anda menemukan komentar negatif dari salah satu atau beberapa pengguna. Namun, ketika akun-akun pemberi komentar negatif ini dikunjungi, hasilnya nihil. Profilnya dikunci, jumlah post-nya kurang dari sepuluh, atau jumlah pengikutnya hanya tiga orang. Percayalah, sebagai sesama pengguna media sosial, saya banyak menemukan kejadian-kejadian ini.
Penggunaan akun palsu memungkinkan penggunanya untuk melarikan diri dari teguran atau celaan atas argumen negatifnya. Sederhananya, pemilik akun yang hobi mencela dan berkomentar negatif ini bersembunyi di balik semi-anonimitas second account miliknya. Kesehatan mental pemilik akun ‘palsu’ berhobi mencela ini sesungguhnya patut dipertanyakan. Apakah mencela senyum seseorang kemudian mendatangkan kepuasan batiniah? Ataukah mengata-ngatai Ayu Tingting di tiap kolom komentar posting-annya membuat para warganet merasa berhasil menjaga keutuhan rumah tangga Raffi-Gigi?
Sebagai bagian dari era digitalisasi yang berkembang amat pesat, media sosial menjadi sebuah platform yang lebih populer dibandingkan instrumen pendukung kemajuan digitalisasi lainnya. Survei terakhir yang diterbitkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada November 2016 menunjukkan perilaku pengguna internet Indonesia, salah satunya berdasarkan jenis konten yang mereka akses. Survei menunjukkan konten media sosial adalah yang paling banyak diakses, yaitu oleh 97,4% dari 2000 sampel survei.
Menyusul selanjutnya adalah konten hiburan, berita, pendidikan, komersial, dan layanan publik secara berurutan, yang sebenarnya masih bisa diperoleh melalui media sosial. Beberapa media sosial yang paling sering dikunjungi, masih dalam data APJII, adalah Facebook, Instagram, YouTube, Google+, Twitter, dan LinkedIn. 97,4% sampel mewakili jumlah yang besar, yaitu 129,2 juta pengguna internet yang rutin mengakses konten media sosial. Dengan jumlah pengguna yang besar, bayangkan jumlah konten dan jejak-jejak digital yang berseliweran di media sosial.
Konten-konten dalam media sosial meliputi foto, video, dan teks yang diunggah pengguna, sifatnya tidak lagi privat karena kemudian publik dapat mengaksesnya secara bebas. Meskipun konten telah dibatasi pengaksesannya dengan penggunaan password, setting private pada halaman profil, ataupun pengaturan keamanan dalam level tertinggi, konten tersebut tetap dapat dengan mudahnya di-screenshot oleh teman dan pengikut akun tersebut untuk kemudian dibagikan lagi ke pengguna lainnya. Jejak digital kemudian menjadi lebih awet dibandingkan jejak sepatu di atas salju yang dapat dengan mudahnya dihapus–jejak digital hampir tidak mungkin dapat dihapus.
Masih belum jemu mengingatkan dan mengimbau para pengguna internet, bahwa setiap karakter yang di-submit pada kolom komentar dan halaman yang berada dalam jaringan, setiap pixel foto yang diunggah pada akun media sosial, dan setiap detik video yang diunggah pada situs berbagi video, memiliki jejak digitalnya masing-masing. Bergerak dalam dunia daring layaknya memegang pedang bermata dua, setiap gerakan yang dilakukan dapat digunakan untuk kembali menyerang para penggunanya. Karenanya, pergunakan media sosial dengan hati-hati dan jejaki digitalisme dengan langkah positif.