Rabu, April 24, 2024

Menuding Para Penyendiri dalam Teror Nice

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman

bom-niceSaya tersinggung mendengar laporan khusus surat kabar Inggris, Guardian, ihwal serangan Nice, Prancis. Benar-benar tersinggung.

ISIS sudah mengklaim mereka bertanggung jawab atas truk yang merangsek ke tengah-tengah kerumunan perayaan hari Bastille dan menewaskan 84 orang tersebut. Pelakunya, Mohamed Lahouaiej Bouhlel, sudah mereka klaim, adalah tentara kekhilafahan mereka.

Sejumlah surat kabar lain pun bergegas dan saling salip memperlihatkan bahwa sang penyerang terpengaruh oleh radikalisme Islam. Bouhlel menonton tayangan pemenggalan ISIS, katanya. Bouhlel, sekonyong-konyong saja dari seorang pemabuk, penjahat kelas teri, menjadi pengikut Islam dengan janggut tebal.

Namun, Guardian? Guardian, sejak paragraf pembuka laporan khusus mereka, tak menunggu-nunggu untuk melabel Bouhlel dengan satu identifikasi mereka tersendiri. Lain daripada yang lain. Siapakah Bouhlel kata mereka? “Penyendiri.”

Bukan Islam. Bukan pendatang dari Timur Tengah atau militan ISIS. Tetapi, “penyendiri.”

Keterlaluan.

Sebagai penyendiri totok sejak orok dan kader teladan Paguyuban Penyendiri Sedunia, saya terhenyak. Buat saya, apa yang dilakukan Guardian itu sangat merugikan. Bukan hanya itu tetapi juga, sesungguhnya dan sejatinya, jahat.

Sekarang mungkin belum terjadi apa-apa. Satu-dua berita belum banyak berarti. Namun, bayangkan kalau kebiasaan ini menjadi tren. Anggap saja politisi, media, atau pihak-pihak yang gemar mencari panggung gratis tak lagi melekat-lekatkan pelaku serangan semacam dengan ekstremisme agama melainkan para penyendiri.

Dan judul-judul berita yang Anda baca, kurang-lebih, semacam ini. “Serangan teror penyendiri meningkat pada tahun 2016,” “Pengamat: pemerintah tak boleh berdiam dengan teror para penyendiri!”

Saya sudah bisa mengendus apa yang akan terjadi selanjutnya. Para penyendiri akan diperangi. Tidak secara harfiah, tentu. Toh, berbeda dengan kelompok ekstremis religius tertentu, para penyendiri tak menguasai sebentang wilayah luas, persenjataan beserta para militannya, ladang-ladang minyak, maupun memiliki sistem politik yang kompleks.

Para penyendiri ada di sekitar Anda. Mereka sekantor, serumah, atau mungkin seranjang dengan Anda. Nah, apa yang akan terjadi dengan mereka? Para penyendiri, pertama-tama, akan mulai dicurigai. Aktivitas mereka dipantau oleh mata para tetangga, kerabat, atau kolega yang resah-gelisah.

Apa yang mereka telusuri di internet, selagi bisa, akan diperiksa. Apakah mereka sedang membuka-buka Kaskus atau Bukalapak untuk mencari pelapak senjata api? Apakah mereka sedang mempelajari cara-cara merakit bom?

Anda punya anak pendiam? Oh, Anda akan amat sangat khawatir dengannya dalam situasi semacam ini. Anda akan mengirimkannya ke pusat rehabilitasi yang mendadak bermunculan di mana-mana dan masing-masing mengklaim punya metode gaib tapi paling ampuh menyembuhkan kecanduan menyendiri.

Atau Anda sendiri seorang penyendiri? Seluruh mata—orang tua, kolega, sahabat, pacar, orang lewat—saya jamin, akan tertuju pada Anda dan hidup Anda tidak akan sepi dan menyenangkan lagi sebagaimana sebelumnya.

Dan selanjutnya yang akan merebak, fase bullying. Menteri sosial akan menyatakan bahwa para penyendiri harus direbus supaya sembuh. Menteri pertahanan menganggap mereka para penyusup dalam proxy war yang dilancarkan musuh-musuh yang mengerikan namun diragukan nyata atau tidak.

Pejabat berlomba-lomba mengajukan solusi yang paling absurd untuk mengatasi persoalan para penyendiri sebelum akhirnya hak-hak sipil mereka terancam kecuali mereka ikut kursus untuk menjadi seseorang yang ekstrovert, periang, cerewet.

Dan Guardian—sang pelopor ini semua—pada akhirnya harus bertanggung jawab. Termasuk seandainya para penyendiri harus melewati penjagaan berlapis dan dipersulit sesulit-sulitnya untuk memasuki negara-negara lain, atau bahkan referendum diadakan untuk mengusir mereka pergi dari sebuah negara.

Pada titik ini, semoga Anda paham ini paparan satir.

Tentu saja, hal-hal di atas tidak mungkin terjadi. Saya hanya ingin memperlihatkan, mungkin pemberitaan serangan publik tidak pernah benar-benar bisa lepas dari menuding, menunjuk atau, dalam bahasa yang lebih disenangi penggetol teks akademik, membingkai. Publik butuh tahu pelakunya dan tak ada yang senang dengan jawaban berbelit-belit.

Guardian, yang memahami pemberitaannya tidak mungkin tak punya dampak politis, pun mencoba memilih identitas pelaku serangan Nice sebaik-baiknya. Dan kalau Anda mau merunutnya, banyak tujuan baik dari kebijakan editorial Guardian ini. Pertama, tentu saja, agar tidak memarjinalisasi Islam atau pendatang lebih jauh. Ini tidak perlu dijelaskan lagi.

Kedua, agar tidak menjadikan pemberitaan mereka kolom iklan gratis untuk ISIS atau kelompok-kelompok ekstremis lain. Mengapa ISIS mengklaim serangan-serangan para simpatisan yang sekadar ingin eksis sebagai teror yang mereka lakukan?

Jawaban sekenanya untuk pertanyaan ini, barangkali, cukup membutuhkan nalar awam. Mereka tak perlu susah-susah merencanakan serangan tapi mereka dapat memperoleh atau memantapkan ketenarannya. Ketenaran untuk apa? Sederhana. Pengikut—dari umat di pelbagai belahan yang terinspirasi perjuangan religius ini—dan sumber daya.

Dan media, bahkan cukup dengan memberitakan seadanya, tanpa plintiran-plintiran dramatis, telah membantu ISIS menegakkan kekhilafahannya.

Dan, ketiga, agar kemarahan atau kemasgulan warga tidak dibelokkan para demagog ke tikungan yang salah. Kepanikan publik, kita tahu, adalah makanan para politisi. Ia akan segera mendatangkan parasit yang kemudian mengampanyekan pengusiran pendatang, pengebirian hak-hak minoritas. Dan sejauh sejarah bisa bersaksi, provokasi-provokasi para politisi ini biasanya tak pernah berhubungan dengan persoalan sebenarnya dan, kalau mau blak-blakan, menyesatkan.

Kita tahu, masih ada media yang menjunjung itikad untuk menyajikan informasi yang benar kepada publik. Namun, mungkin hal terbaik yang bisa dilakukannya di tengah kekeruhan kala serangan semacam terjadi, pada akhirnya, bukanlah menghindari menuding. Betapapun satu surat kabar memahami ia harus mawas dengan segala yang diterbitkannya. Persoalannya, tak ada yang benar-benar bisa mengendalikan kebutuhan menggebu-gebu khalayak luas mencari sang tertuduh.

Yang setidaknya dapat dilakukannya, dus, adalah mencari tertuduh yang paling baik—yang tak akan memperkeruh marjinalisasi-marjinalisasi yang sudah dialami oleh kelompok minoritas. Dan mungkin, untuk kali ini, para penyendiri harus lapang dada menjadi sang tertuduh menggantikan minoritas di negara-negara tersebut.

Toh, tak mungkin benar-benar akan ada referendum untuk mengusir para penyendiri dari satu negara, bukan?

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.