Kita pasti sering mendengar ucapan orang-orang yang tidak peduli dengan politik. Dalam artian mereka bersikap masa bodoh terhadap dinamika politik yang, dalam pandangan mereka, begitu kotor dan korup. Politisi dan partai politik dianggap akan melakukan apa saja untuk meraih tujuannya. Akibatnya, selama bertahun-tahun, DPR selalu menempati peringkat teratas sebagai lembaga negara yang dipersepsikan masyarakat sebagai lembaga paling korup.
Hal-hal yang telah saya sebutkan di atas adalah contoh dari menurunnya tingkat kepercayaan publik pada institusi politik. Tapi jika kita menengok berita di media massa arus utama, berita politik tetap yang paling mendominasi.
Berita politik hadir tidak hanya karena adanya agenda ekonomi politik pemilik media yang menginginkan untuk menghadirkannya. Tapi juga karena adanya permintaan masyarakat atas konten berita yang demikian.
Dengan asumsi seperti ini, maka bisa kita temui suatu hal yang nampak saling bertolak belakang. Di satu sisi, masyarakat sudah muak dengan politik, khususnya politik praktis. Tapi di sisi yang lain, masyarakat tetap menyukai informasi dan berita seputar politik.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa masyarakat tetap menyukai berita politik di saat kepercayaan mereka pada institusi politik justru menurun? Ada tiga jawaban yang akan saya tawarkan di sini.
Politik Identitas dan Kegemaran atas Kompetisi
Pertama, berita politik adalah sarana bagi masyarakat untuk menyatakan dan menegaskan identitasnya pada orang lain, terutama kepada mereka yang dianggap memiliki identitas dan sikap politik yang berseberangan.
Salah satu dampak paling besar dari Pemilihan Presiden 2014 adalah menguatnya politik identitas karena terpecahnya masyarakat. Secara umum, meskipun ini adalah gambaran yang amat kasar, masyarakat kita telah terbagi menjadi tiga kubu. Yakni, kubu yang membela mati-matian Presiden Jokowi; kubu yang selalu melihat apa pun yang dilakukan Presiden Jokowi sudah pasti keliru; dan kubu yang menilai secara proporsional keunggulan dan kekurangan kinerja pemerintah.
Berita-berita politik sering disebarkan masyarakat melalui akun media sosial pribadinya. Namun, berita ini bukan digunakan untuk menyebarkan informasi pada orang yang mungkin belum membacanya, melainkan untuk menyatakan dan menegaskan identitas individu yang menyebarkan berita itu, terutama individu yang berasal dari kubu pertama dan kedua.
Kubu pertama (yang kebanyakan dari golongan Islam moderat atau yang cenderung sekuler), lebih sering, meskipun tidak selalu, untuk membagikan berita yang cenderung positif dalam melihat kinerja pemerintah. Sedangkan kubu kedua (yang kebanyakan dari golongan Islam konservatif), akan lebih banyak membagikan berita yang menilai buruk kinerja pemerintah.
Kedua, pada dasarnya masyakat Indonesia menyukai hal apa pun yang berhubungan dengan kompetisi. Industri televisi, misalnya, merespons hal ini dengan menyajikan tayangan ajang pencarian bakat, yang antara kontestan satu dengan yang lain saling berkompetisi. Kita bisa melihat beberapa contoh ajang pencarian bakat yang mendapat respons meriah dari masyarakat. Seperti AFI, Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, dan D’Academy.
Politik, yang watak dasarnya adalah perebutan kekuasaan, adalah kompetisi juga. Inilah barangkali mengapa sejak Jokowi memenangi Pilpres 2014 silam, berita-berita politik lebih sering, meski tidak selalu, diarahkan untuk kontestasi Pilpres 2019. Apalagi dengan kondisi masyarakat saat ini yang terpecah ke dalam beberapa kubu, membuat kompetisi politik semakin menarik untuk diikuti.
Sejak 2015, berita politik seputar pilkada selalu disertai dengan pemetaan dukungan untuk pemilihan pesiden mendatang. Berita politik yang dulu lebih diarahkan pada kritik atas kinerja pemerintah, kini berubah menjadi ajang “pemanasan” untuk pilpres kedepan.
Budaya Populer
Ketiga, ada kecenderungan mengaburnya batas-batas antara berita politik yang dianggap serius dengan budaya populer yang sifatnya menghibur. Maksudnya, berita politik kini kerap tersaji lebih santai dan populer, dan informasi populer tersaji secara resmi dan serius.
Kecenderungan ini terjadi bukan hanya karena media mengonstruksikannya demikian, tapi juga karena politisi senang untuk tampil lebih populer. Politisi kita sering menghadiri, bahkan ikut serta, untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang kerap digolongkan sebagai budaya populer. Seperti Presiden Jokowi yang sering membuat vlog dan mempublikasikannya di Youtube.
Fenomena ini, yakni meleburnya batas-batas antara politik yang resmi dengan budaya populer yang menghibur, sebenarnya sudah terjadi sejak jauh-jauh hari. Saat Pemilu 2004, misalnya, Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu sedang bertarung dalam pemilihan Presiden, datang menghadiri grand final ajang pencarian bakat paling populer saat itu:.Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Wiranto dan SBY bernyanyi layaknya kontestan, dan penampilan mereka dikomentari para juri sebagaimana para juri mengomentari penampilan kontestan lainnya.
Belum lagi jika ditambah dengan SBY yang mengeluarkan lima album musik selama menjabat sebagai Presiden, serta beberapa orang menteri di pemerintahan Jokowi yang membentuk grup musik bernama Elek Yo Band. Jadi, fenomena baru dunia politik pasca-Orde Baru bukan hanya hadirnya selebritis yang secara berjamaah terjun ke dunia politik, tapi politisi yang juga beramai-ramai terjun ke ranah budaya populer.
Kombinasi antara dua hal inilah (politisi yang tampil secara populer, dan media yang menyajikan berita secara santai), telah menjadikan berita politik sebagai hiburan, ketimbang sebagai sumber informasi yang resmi dan serius.
Jennifer Lindsay (2007) dan Ariel Heryanto (2015), masing-masing pernah mengkaji kampanye Pemilu 2004 dan 2009, yang menurut mereka telah menjelma menjadi budaya populer. Bagi Lindsay, kesimpulan demikian dia dapatkan setelah mengamati secara mendalam perubahan kampanye di masa Orde Baru dan pasca-Orde Baru.
Di masa Orde Baru, kampanye pemilu tidak lebih sebagai ritual belaka. Sedangkan di masa pasca-Orde Baru, kampanye pemilu lebih menekankan pada aspek performatif ketimbang ritual. Sebab, semua rangkaian kampanye (mulai dari pengerahan massa di lapangan, pawai motor, sampai dialog di televisi) lebih ditujukan sebagai hiburan massa ketimbang sebagai suatu sarana untuk menyampaikan visi misi politik yang resmi dan serius.
Melihat kecenderungan pemberitaan politik pasca-Orde Baru, dapat disimpulkan bahwa, bukan hanya kampanye pemilu saja yang telah menjelma menjadi budaya populer. Tapi, berita politik pun telah menjelma menjadi hal yang sama.
Kolom terkait:
Umat Islam dan Peta Politik Jelang 2019
Politik Mahal 2019, Politik Murah 2045
“Pribumi” Anies, 2019, dan Politik Sentrifugal