Minggu, April 28, 2024

Media Online dan Matinya Otoritas Pengetahuan?

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Kehadiran media online dengan jejaring media sosial yang tumbuh tidak hanya menginterupsi kehadiran media cetak, melainkan juga munculnya pengetahuan-pengetahuan baru di luar institusi riset dan lembaga kampus. Kehadiran mereka tidak hanya menantang, tetapi juga menggerogoti media cetak dan juga institusi riset melalui kanal pengetahuannya, baik itu buku ataupun jurnal.

Meskipun tampak terlihat dangkal dengan adanya kecepatan sebagai acuan, media online, terlepas dari kualitasnya, mengubah pola orang mengkonsumsi pengetahuan. Pasar ini kemudian ditangkap dengan tumbuhnya media-media online baru di luar detik.com, yang sebelumnya sudah tumbuh terlebih dahulu. Misalnya, Kompasiana, Tirto, Beritagar, Indoprogress, Mojok, Geotimes, Qureta, Remotivi, Locita, Interidea, Alif, Basa-Basi, dan lain sebagainya.

Dengan ciri khas masing-masing sebagai platform pembeda yang diambil, mereka ini tumbuh dengan memiliki pembacanya masing-masing. Adanya sistem media sosial sebagai jaringan yang menghubungkan dan berinteraksi, daya sebar media-media online ini begitu cepat. Mereka masuk ke dalam ruang-ruang privat melalui pesan online seperti What’s Up, Instagram, dan Line.

Beberapa kampus luar negeri mencoba mengadaptasi situasi ini. Misalnya, kampus Australian National University (ANU), untuk konteks studi sosial dan politik, membuat kanal www.newmandala.org, membahas mengenai isu-isu terkini dengan tinjauan Asia Tenggara sebagai perspektif. Sementara itu, University of Melbourne membuat situs indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au, membahas khusus sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.

Situs ini juga menyajikan audio visual melalui podcast terkait dengan wawancara para ahli tentang Indonesia mengenai isu-isu tertentu. Meskipun tidak mendalam seperti buku dan artikel jurnal, dengan analisis kritis, terbitan-terbitan dari dua situs tersebut mencoba memberikan situasi sosial politik terkini di Indonesia dan juga Asia Tenggara. Dengan sadar, dua situs ini menjembatani antara ranah akademik dan tulisan popular untuk sampai ke publik lebih luas.

Secara lebih luas, mempopulerkan temuan-temuan akademik sebenarnya sudah ada theconversation.com yang memiliki cakupan luas bidang studi, tidak hanya terbatas ilmu sosial dan kemanusiaan. Serupa dengan dua kampus sebelumnya, hal yang sama juga dilakukan oleh Kyoto Review of Southeast Asia dan Inside Indonesia.

Di tengah situasi tersebut, bagaimana situs-situs lembaga riset di Indonesia ataupun kampus beradaptasi di tengah kecepatan teknologi platform media semacam ini? Saya belum melihat adanya keseriusan ke arah sana. Kalaupun ada, persoalan individu, struktur, dan sumber-sumber keuangan seringkali menjadi alasan utama mengapa mereka tidak bisa beradaptasi.

Selain itu, kondisi ini yang lebih parah, adanya birokratisasi pengetahuan yang membadan, mereka masih merasa menjadi pusat pengetahuan dengan mendefinisikan sendiri kategori-kategori pengetahuan yang dibuat sendiri olehnya. Meskipun kenyataannya, alih-alih dibaca, informasi yang disuguhkan justru jauh tertinggal dengan aturan birokrasi dan mekanisme pola penanganan seperti media lama yang diterapkan.

Akibatnya, lambatnya institusi yang memiliki otoritas pengetahuan dan juga kampus dalam beradaptasi ini kemudian diambil alih oleh individu-individu baru tanpa adanya cantelan dengan institusi-institusi ataupun kampus-kampus ternama. Dengan perspektif yang jauh lebih segar, mereka menarasikan peristiwa-peristiwa dengan analisis tajam yang tak kalah penting dengan institusi yang memiliki otoritas pengetahuan.

Melalui proses ketekunan untuk terus menulis dan menulis, mereka menjadi semacam mikro selebriti dalam dunia pengetahuan, khususnya ilmu sosial, yang mulai dikenal orang banyak. Dalam konteks politik, misalnya, netizen sedikit menjadikan rujukan analis-analis politik baik dari kampus ataupun institusi riset. Bahkan mereka lebih menjadikan Denny Siregar dan Eko Kunthadi, sekadar contoh, rujukan. Memang, ada beberapa sosok akademisi yang beradaptasi dalam dunia digital, namun jumlah mereka tidak banyak, seperti Sumanto Al-Qurthuby, Nadirsyah Hosein, dan Mun’im Sirri.

Teknologi informasi sedang mengarah ke dunia semacam ini. Jika institusi riset dan kampus tidak bisa beradaptasi dengan platform ini, mohon jangan salahkan para mahasiswa dan mahasiswinya jika kemudian mereka menertawakan para dosennya yang masih menggunakan referensi buku usang tanpa menjelaskan dengan konteks kekinian di tengah isu baru yang terus bergulir.

Ini juga berlaku kepada lembaga riset yang ingin menjadi riset kelas dunia, namun pengelolaannya dan bahkan proses kerja-kerja akademiknya masih berjalan secara manual. Dengan demikian, langkah apa yang mesti dilakukan oleh lembaga riset dan kampus agar mereka bisa melaju? Bagi saya, jalan awal itu sederhana dan tidak usah muluk-muluk.

Langkah pertama, perbaiki situsnya dengan mengurangi dan menambahkan informasi sekiranya sudah tidak cocok. Kedua, melakukan pemutakhiran situs. Meskipun dibuat oleh profesional IT dan diisi dengan memori cukup besar, jika tidak ada pemutakhiran informasi, itu sama saja membuat iklan yang sudah tidak layak barangnya dikonsumsi tapi masih saja dipamerkan.

Ketiga, berikan kesempatan anak-anak muda di lembaga mereka bekerja untuk mengisinya dengan tulisan-tulisan mereka dengan menempatkan juga senior berpengalaman sebagai editor terkait proses kurasi.

Mengapa memperbaiki situs? Di tengah tingginya akses orang Indonesia terhadap internet, situs ini menjadi semacam identitas sebuah lembaga riset ataupun kampus. Sebesar apa pun gedung sebuah kampus ataupun lembaga riset, sementereng apa pun para lulusan para sarjana dan penelitinya, jika situsnya jelek, itu meruntuhkan pandangan orang pertama kali mencarinya di Google.

Situs sebagai bentuk promosi diri ini juga dilakukan oleh para sarjana S3 di Amerika Serikat. Selain menarasikan dirinya dan capaian-capaian akademik yang telah dihasilkan, serta disertasi yang sedang dituliskan, mahasiswa S3 di Amerika Serikat juga bercerita mengenai riset-riset apa yang sedang mereka kerjakan. Ketika mereka melamar pekerjaan, yang pertama kali dilihat di sini kemudian adalah pencarian melalui mesin Google dan situsnya sebagai pintu pembuka untuk mengenal lebih jauh dengan calon pelamar.

Di tengah situasi ini, apakah mereka mau berubah? Saya yakin jawabannya, iya. Meskipun apabila ditanyakan waktunya, yaitu kapan, hal itu seperti Menunggu Godot; kita menunggu atas sesuatu yang tak pernah terwujud.

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.