Massa Front Pembela Islam (FPI) yang tumpah menyesaki kantor Tempo di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, pada Jum’at (16/3) lalu semakin menunjukkan bahwa dirinya merupakan pengamal instrumen demokrasi yang baik, meski sumbangsihnya hanya sebatas taraf demo an sich.
Disukai atau tidak disukai, diterima atau tidak diterima, benar atau salah, FPI senyatanya telah mewarnai instrumen demokrasi kita dewasa ini. Buktinya, secara kasat mata Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS) akhir 2016 hingga awal 2017 lalu mampu memobilisasi masa yang tidak sedikit jumlahnya untuk turun ke jalan menuntut keadilan versi mereka.
Tak hanya itu, FPI bahkan gegap gempita membuka 2018 lalu dengan membentuk Aliansi Tolak Kezaliman Facebook. Aliansi yang berujung pada aksi turun jalan itu merupakan bentuk protesnya, lantaran segenap akun mereka, termasuk milik HRS, kena blokir oleh pihak Facebook.
Dari sejumlah potret di atas, FPI bahkan tak jarang membumbui aksinya itu dengan label agama. Lihat saja betapa mudah sekali kita temukan narasi bertajuk bela Islam, bela ulama, dan lain sebagainya dalam setiap aksi yang digelar FPI. Maka, unjuk rasa tersebut dibayangkan adalah misi suci karena telah membela agama dan surga adalah jaminannya.
Termasuk dalam hal ini aksi massa di kantor Tempo itu yang, konon, ditengarai oleh keberatan FPI atas cover majalah Tempo edisi 26 Februari 2018 lantaran memuat karikatur seorang pria bersorban dengan perempuan di hadapannya.
Bahkan, sebagaimana dikutip laman detik.com (16/3/2018), Humas Persaudaran Alumni 212 yang juga anggota FPI, Novel Bamukmin, menyatakan bahwa Tempo dipastikan telah menghina ulama. Sebab, menurut Novel, karikatur tersebut menggambarkan seorang ulama berpakaian gamis, bersorban, dan tengah duduk di hadapannya seorang perempuan yang dianggap menggunakan pakaian tidak sopan.
“Makanya kami menuntut Tempo minta maaf kepada umat Islam dan ulama,” pinta Novel.
Pada titik ini, saya kira, sikap FPI dan pernyataan Novel tersebut mengindikasikan dua ketidakjelasan. Pertama, di satu pihak, FPI merupakan ormas yang sejauh ini gemar berunjuk rasa, bahkan tak segan melibatkan massa, untuk mengkritik pihak yang menurut mereka telah menyudutkan kepentingan “umat Islam”. Di lain pihak, FPI sendiri justru menunjukkan dirinya sebagai ormas yang antikritik.
Terbukti mereka kebakaran jenggot dengan ada dan beredarnya karikatur Tempo yang secara tidak sadar justru mengiyakan bahwa pria berjubah itu adalah pimpinannya, HRS, yang tak kunjung pulang. Padahal, belum tentu demikian.
Kedua, indikator ulama dibayangkan terletak pada yang berjubah dan berimamah. Padahal, belum tentu juga demikian. Toh, paman kanjeng Nabi Muhammad, Abu Lahab, dalam sekuel film Omar pun juga digambarkan berjubah.
Gambaran tersebut sama sekali bukan untuk menyatakan atau mengklaim bahwa jubah itu tidak boleh dipakai. Bukan seperti itu. Memang, ada umat yang benar-benar nyaman mengenakan jubah saat sembahyang atau untuk ritual peribadatan lain. Namun, tidak sedikit juga ada yang lebih nyaman dengan dress code selaras budaya dan tradisi di mana Islam itu berdomisili. Sarung dan kopiah di kalangan santri, misalnya. Menjadi soal kemudian jika seseorang berjubah untuk gagah-gagahan.
Dalam analogi budayawan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun dikatakan, kalau gula itu manis, akan tetapi segala yang manis itu belum tentu gula. Artinya, meski ajaran Islam turun di Arab, namun segala yang berbau Arab belum tentu Islam.
Dan saya kira, seorang perempuan dalam karikatur cover majalah Tempo yang dipersoalkan itu tarafnya masih terhitung wajar, jika dilihat dari sudut pandang budaya kita yang lebih dominan hamparan sawah, ladang, dan genangan air, bukan padang pasir.
Toh, kita juga tidak benar-benar tahu apakah perempuan itu muslimah atau bukan. Kalaupun muslimah, apakah lantas kita berhak menghakimi perempuan itu karena kongkow dengan pria berjubah?
Lepas dari segala motif dan kepentingan FPI, dalam hal ini saya kira tepat sekali cuitan Goenawan Mohamad dalam akun twitter @gm_gm beberapa waktu lalu yang menyatakan, aksi massa yang terlalu sering mengatasnamakan “umat Islam” membuat tak jelas siapa sebenarnya “umat Islam”.
Ya, tentang klaim-klaim implisit mayoritarianisme umat Islam di Indonesia, dan karena itu merasa berhak menguasai negeri ini untuk memaksa siapa pun mengikuti pemahaman keislaman mereka dan menegasikan eksistensi kelompok lain, sama sekali tidak bisa diterima, baik secara teologis maupun politis. Sebab, pemahaman apa pun yang berbeda, apalagi bertentangan dengan pemahaman mereka, dengan mudah akan dituding sebagai anti-Islam, musuh Islam, penista agama, dan birahi kebencian yang meledak-ledak atas nama agama lainnya.
Pada saat yang sama, dengan dalih membela Islam atau bahkan Tuhan yang hari ini semakin gencar didengungkan, mereka justru berusaha keras menolak budaya dan tradisi yang—dalam bahasa KH Abdurrahman Wahid (2009)—disebut telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia dan ingin diganti dengan budaya dan tradisi asing dari Timur Tengah.
Pada gilirannya, menurut Gus Dur, dalih atas nama Islam itu senyawa dengan senjata politik untuk mendiskreditkan dan menyerang siapa pun yang pandangan politik dan keagamaannya berbeda dari mereka. Sebab, jargon memperjuangakan Islam sebenarnya adalah memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan menjadikan Islam sebagai senjata atau kemasan.
Karena itulah, setiap ide dan perbuatan semestinya disikapi dengan penilaian dan/atau disimpulkan berdasarkan sudut pandang yang berbeda, sehingga menstimulasi pendapat yang beraneka ragam pula. Demikian halnya keanekaragaman atau heterogenitas pendapat adalah berkah yang musti disyukuri, bukan malah dipertajam untuk saling mencaci.
Saya kira, tidak sadar atau mengabaikan prinsip tersebut sama saja menciderai filsafat adiluhung Islam yang merupakan rahmatan lil ‘alamin. Kasih untuk semesta. Bukan politik devide et impera.
Kolom terkait:
Karikatur TEMPO, FPI, dan Fanatisme Buta
Menolak Tunduk: Karikatur Tempo, Persekusi FPI
Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama
Menjaga Kewarasan di Era Pasca Kebenaran