
Menekankan hoax sebagai satu-satunya tantangan budaya komunikasi tidak seluruhnya dapat dibenarkan. Jika berani melihat lebih luas, dewasa ini sistem komunikasi yang diam-diam diamini masyarakat memiliki kecacatan. Persoalan kredibilitas informasi hanyalah satu dari banyak pekerjaan rumah yang disebabkan olehnya.
Semangat model komunikasi dewasa ini diusung dengan mengikuti logika kecepatan. Dalam arus deras laju komunikasi, orang digiring pada tindakan komunikasi yang kering makna. Bukan lagi makna atau isi yang menjadi pusat perhatian, melainkan tindakan komunikasi itu sendiri. Kenyataan ini selanjutnya membuka keran bagi permainan bebas tanda hingga berujung pada hancurnya berbagai batas–moral, etika, dan sebagainya.
Di sisi lain, kecanggihan teknologi media ikut membuka jalan bagi penyimpangan tujuan dan nilai guna komunikasi. Kerumitan operasional dengan bermacam fitur yang ditawarkan membuat penggunanya menjadi gagap. Karena kecanggihannya juga banyak pihak dengan kepentingan tertentu, dapat membuat model-model pencitraan tanpa merujuk pada referensi faktualnya.
Di sini, kita melihat bagaimana fungsi komunikasi sebagai penyampai pesan bermakna telah mengalami pergeseran besar. Pada banyak sisi, teknologi media ikut membuka jalan dalam proses peralihannya. Peralihan wacana komunikasi, pada batas tertentu, telah merobohkan bangunan-bangunan makna, nilai-guna, dan aspek tujuan komunikasi.
Menyatu dan Membelah Realitas
Perkembangan teknologi, khususnya teknologi media, merupakan suatu keniscayaan sejarah. Manusia yang hidup dalam ritme kecepatan tinggi seperti saat ini sangat bergantung padanya. Namun, kecepatan pertumbuhan teknologi media tidak selalu merupakan malaikat, melainkan terselip di dalamnya wajah setan; buah pahit yang harus ditelan bersama.
Dalam keluwesan yang ditawarkan dunia sebagai dampak dari kecanggihan teknologi media, masyarakat tidak saja dilanda tsunami informasi melainkan juga dibanjiri medium komunikasi. Silih berganti beragam medium datang, berlalu, berganti, dan diperbaharui. E-mail, Blog, Web, Skype, Youtube, Twitter, Facebook, Line, Instagram, Whatsapp, Bbm, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan teknologi komunikasi secara tidak langsung membuat orang gagap meraba dalam remang-remang perubahan. Mekanisme yang melekat pada masing-masing media menuntut orang hanyut dalam denyut alirannya. Keunikan fitur-fitur dan segala kebaruan yang tersaji menjerat para pengguna hingga tenggelam habis di dalamnya.
Maka yang terjadi justru sebaliknya, teknologi komunikasilah yang berbicara kepada para penggunanya. Mereka seakan didikte. Dewasa ini, medium is the message. Relasi antara manusia dan alatnya dapat digambarkan sebagai men have become the tools of their tools (H. D. Thoreau). Kecanggihan teknologi komunikasi sudah begitu jauh mencerabut aspek kesadaran manusia.
Selain itu, informasi dalam kecanggihan teknologi media justru rentan dimanipulasi. Berbagai permodelan dan pencitraan, saat ini dengan sangat mudah dibuatkan di dalam ponsel, studio, komputer, dengan beragam aplikasi dan software pendukungnya. Teknologi juga mampu membuat frame waktu dan tempat palsu.
Dalam arus kecanggihan ini, kesempatan untuk membentuk realitas buatan tanpa referensi faktual semakin terbuka lebar. Tenaga kerja asal Tiongkok, nilai tukar, ledakan bom, pembunuhan, kebakaran data-data statistik, aksi makar, dan penistaan adalah beberapa contoh yang dapat dibuatkan simulasinya lewat kecanggihan teknologi.
Guyonan Sumanto al-Qurtubi di akun Facebook-nya cukup tepat menggambarkan hal ini. Ia menyebutkan, “Pak Jokowi memang yahud. Tapi tolong status ini jangan dikasih tahu Buni Yani. Takutnya diedit jadi Pak Jokowi memang Yahudi“.
Pada banyak kasus, realitas buatan ini telah dianggap sebagai sebuah kebenaran. Ia diberitakan, didiskusikan, dibagikan baik di media daring maupun cetak, bahkan sampai ke televisi. Informasi tertentu telah membuat emosi sebagian masyarakat “terbakar” dan menghebohkan rakyat seantero nusantara. Bukan hanya merekayasa realitas, kecanggihan teknologi juga mampu menyembunyikan dan/atau membelokkan kebenaran.
Mabuk dalam Komunikasi
Indonesia tengah memasuki era komunikasi baru. Era di mana teknologi informasi memiliki kekuatan otonom dan membingkai wajah kebudayaan kontemporer. Model komunikasi yang dibangun dewasa ini mengikuti logika kecepatan. Peralihan ini juga ditandai dengan mengarahnya wacana komunikasi pada apa yang disebut Baudrillard sebagai “ekstasi komunikasi”.
Dengan mengikuti arus deras laju komunikasi dan informasi, setiap detik informasi akan diperbaharui. Silih berganti informasi ditampilkan untuk dipertontonkan, dituliskan untuk dibagikan, diproduksi untuk dirujuk sebagai landasan data. Informasi mengalir tanpa henti mengikuti ritme yang semakin cepat. Pepatah diam itu emas sudah lama ditinggalkan.
Keadaan ini sekaligus menggambarkan kecenderungan pola komunikasi masyarakat kini yang dengan ringannya mengekspos segala sesuatu. Semua hal tanpa terkecuali ingin dibicarakan–dijadikan informasi seperti persoalan politik, ekonomi, budaya, agama, seks, anak-anak, kekerasan, dan seterusnya. Ruang wacana porak poranda oleh tsunami informasi, data, eksposisi. Ya, tsunami komunikasi.
Terjadinya penumpukan-penumpukan informasi, berita, data, dan tontonan sebagai dampak dari aktivitas komunikasi masyarakat yang terlalu berlebihan telah menimbulkan sebuah kegalauan komunikasi. Membludaknya informasi yang ditampilkan membuat pesan di dalamnya tidak dapat lagi dicerna dengan baik.
Banyaknya berita yang dimunculkan dalam waktu singkat membuat orang kesulitan memetik maknanya, apalagi mengambil pelajaran untuk hidup yang lebih baik. Keadaan menjadi semakin buruk, ketika budaya komunikasi yang terbentuk kemudian adalah komunikasi tidak bermutu. Komunikasi yang dirayakan masyarakat kini bersifat sepele, enteng, rendahan, ringan, dan nirfaedah.
Bentuk-bentuk seperti ini sering kita dapati di media televisi, media online maupun cetak. Infotainment yang menayangkan koleksi barang mewah artis Roro atau warna kuku Syahrini, talk-show abal-abal dengan sejumlah guyonan yang tidak berguna, sinetron tujuh harimau atau serigala ganteng, dan seterunya.
Semangat model komunikasi dewasa ini juga ditandai dengan robohnya berbagai fondasi kebudayaan hingga berakhir pada permainan bebas tanda. Dalam wacana komunikasi yang tengah berkembang, aspek sopan santun, akhlak, etika dan moral semakin sulit ditemukan. Layak dan tidak layak, benar dan salah, bermoral dan amoral menjadi blur.
Memojokkan pemerintah, mencaci ulama, provokasi, konten pornografi, asusila, pembunuhan, adalah beberapa contoh diantaranya. Kemudian, tidak ada lagi ruang privat. Apa yang dahulu merupakan rahasia yang hanya dibicarakan oleh orang dan di tempat tertentu, saat ini dikupas setajam silet lalu dipertontonkan secara luas. Semuanya menjadi vulgar. Komunikasi mengarah kepada bentuknya yang menyedihkan.
Jika Descartes dahulu menyebutkan I think therefore I am, maka pada jaman ini orang cenderung menyatakan I believe therefore I am. Dalam konteks komunikasi, konsep ini menjadi I expose therefore I am. Semua orang ingin berkicau, semua hal menjadi menarik untuk dibicarakan, semua tanda yang mati menjadi hidup.
Usaha memberantas hoax sembari membiarkan birahi liar komunikasi terus menggeliat dalam keremangan teknologi merupakan usaha yang minim manfaat–jika tidak sia-sia.