Jumat, April 26, 2024

Aleksandr Kogan dan Skandal Cambridge Analytica

Moh. Abdul Hakim
Moh. Abdul Hakim
Kandidat Doktor Psikologi Politik, Massey University, New Zealand Dosen Psikologi Sosial & Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Cambridge Analytica (CA) dituduh telah menyalahgunakan data privat lebih dari 40 juta pengguna Facebook di Amerika Serikat demi kepentingan pemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden tahun lalu. Keberhasilan strategi kampanye CA yang mengkombinasikan kecanggihan big data dan teknik profiling kepribadian itu telah mengejutkan banyak pihak, tidak hanya di AS tetapi juga di banyak negara demokrasi lainnya.

Yang mungkin tak banyak orang tahu, ada sosok Aleksandr Kogan, profesor psikologi sosial dari Cambridge University, di tengah pusaran skandal yang dianggap paling menggoncang di awal abad ke-21 ini. Apa yang sebenarnya dia lakukan? Dan apa dampaknya bagi proses-proses elektoral di negara-negara demokrasi seperti Indonesia?

Di dalam komunitas ilmuwan psikologi sosial, Aleks dikenal sebagai sosok peneliti muda yang cerdas dan produktif. Lahir pada 1985 di California dari keluarga imigran Moldova, Aleks meraih gelar doktor dari University of Hongkong, sebelum bekerja sebagai peneliti post-doktoral di University of Toronto, Canada, dan kemudian menjadi pengajar tetap di Cambridge University.

Saya dan Aleks tidak pernah bertemu atau saling berinteraksi. Tetapi kami sama-sama pernah disatukan di dalam sebuah proyek penelitian raksasa yang diberi nama “My Personality”.

Proyek penelitian ini diinisiasi dan dipimpin oleh duo ahli psikometri dari Cambridge University, Michal Kosinksi dan David Stiwell, melibatkan peneliti dari 149 universitas/lembaga penelitian dari seluruh dunia, termasuk Massey University, tempat saya menempuh studi doktoral sekarang ini (lihat http://mypersonality.org). Karena beberapa isu etis yang muncul kemudian, akhirnya Aleks dikeluarkan dari daftar kolaborator penelitian.

My Personality tak ada kaitannya secara langsung dengan proyek riset yang dikembangkan oleh Aleks dan kawan-kawannya yang dinamai “Your Digital Life”. Tapi dari My Personality-lah Aleksandr Kogan pertama kali belajar bagaimana membangun big data dari Facebook, dan menggunakannya untuk berbagai keperluan analisis psikologis.

Cara kerja penambangan big data ini relatif sederhana. Pertama, peneliti membuat aplikasi semacam kuis untuk memetakan kepribadian pengguna. Kedua, dalam kasus Aleks, timnya merekrut beberapa ratus pengguna Facebook untuk menggunakan aplikasi buatannya, lalu meminta mereka membagikan hasilnya melalui akun masing-masing. Persis seperti kuis-kuis Facebook pada umumnya.

Setiap kali digunakan, aplikasi kepribadian itu akan mengakses beberapa informasi personal atas dasar persetujuan dari pemilik akun. Yang membuat proses penambangan data ini mudah, aplikasi kepribadian ini ternyata berhasil menarik minat banyak pengguna Facebook. Hanya dalam hitungan beberapa bulan, aplikasi ini menjadi viral dan mampu mengumpulkan data personal dari puluhan juta akun Facebook dari berbagai negara.

Sebenarnya tidak ada yang keliru, setidaknya dari segi hukum, saat seseorang mencoba menambang big data dari media sosial dari Facebook atau Twitter. Syaratnya, ia harus mematuhi protokol yang tercantum di dalam Application Programming Interface (API) yang ditentukan oleh setiap media sosial.

Beberapa protokol baku yang ada di sana, misalnya, akses data personal harus atas seizin dari pemilik akun dan data yang terkumpul tidak boleh diserahkan kepada pihak ketiga.

Di sinilah letak kesalahan fatal Aleks, ia terindikasi telah menyerahkan data itu kepada Cambridge Analytica. Selain itu, aplikasi “Your Digital Life” buatan Kogan dan tim ternyata tidak hanya menyedot data si pemilik akun saja, melainkan juga data orang-orang yang berada di dalam jejaring pertemanannya.

Seberapa relevankah big data Facebook tersebut di dalam proses-proses politik? Dengan data itu, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan oleh seorang psikolog seperti Aleks Kogan dalam mengatur strategi kampanye.

Pertama, dari data yang terhimpun melalui kuis kepribadian itu sendiri, seorang psikolog seperti Aleks dapat menyusun profil kepribadian pemilik akun. Di dalam psikologi kontemporer, kepribadian setiap orang biasanya dipetakan berdasarkan kombinasi dari lima unsur watak dasar yang berbeda, yaitu ekstraversi, keterbukaan pikiran, neurotisme atau stabilitas emosi, sifat hati-hati-waspada, dan sifat penurut.

Banyak konsultan politik yang percaya bahwa kampanye politik akan jauh lebih efektif bila isi dan bentuk materi kampanye dapat didesain sedemikian rupa agar sesuai dengan profil kepribadian orang yang ditarget (personalized campaign). Misalnya, materi kampanye yang berkaitan dengan nasionalisme akan lebih mengena bagi orang-orang dengan sifat kehati-hatian/kewaspadaan tinggi.

Sementara itu, materi kampanye yang argumentatif dengan konten intelektual yang tinggi lebih cocok digunakan untuk “menembak” orang-orang dengan sifat keterbukaan pikiran yang dominan.

Kedua, big data dari Facebook dapat memberikan informasi seberapa longgar atau dekat hubungan antarindividu (tight ties vs loose ties). Eksperimen yang dilakukan oleh Robert Bond dan kawan-kawan (terbit di Nature, September 2012) menggunakan sampel sebanyak 61 juta pemilik akun Facebook menunjukkan bahwa efek persuasi sebuah kampanye politik jauh lebih menggema bila disalurkan melalui orang-orang yang saling memiliki hubungan dekat (tightly tied).

Bagi psikolog politik, informasi semacam itu dapat digunakan untuk mendesain jalur-jalur persuasi materi kampanye.

Mencermati skandal big data CA ini, ada beberapa hal yang penting untuk kita cermati berkaitan dengan kehidupan politik kita secara umum. Keberhasilan Cambridge Analytica mengindikasikan bahwa strategi kampanye politik telah bergeser, dari yang dulunya berbasis partai dan isu sekarang menjadi lebih personal.

Kampanye bukan lagi soal kebijakan apa yang paling masuk akal, partai mana yang paling bisa dipercaya, atau siapa kandidat yang lebih kompeten, melainkan sekadar apa yang paling menarik perhatian pemilih. Dan untuk merebut perhatian pemilih, sering kali kemasan lebih penting dari pada kebijakan atau kompetensi kandidat.

Strategi personalisasi politik semacam itu tentu tak jadi soal selama digunakan sebatas sebagai magnet elektoral, agar pemilih tertarik menengok kebijakan atau kandidat yang ditawarkan. Namun, bila personalisasi politik itu justru menggeser politik substantif, maka jangan heran bila suatu saat memilih kandidat/partai di bilik suara tak beda rasanya dengan ikut kuis di Facebook.

Kolom terkait:

Skandal Facebook dan Perlindungan Data Pribadi

Facebook, Zuckerberg, dan Filantropi Kapitalis

UU ITE, Hak untuk Dilupakan, dan Hak Publik atas Informasi

UU ITE: Antara Ancaman dan Kebebasan Berpendapat

Moh. Abdul Hakim
Moh. Abdul Hakim
Kandidat Doktor Psikologi Politik, Massey University, New Zealand Dosen Psikologi Sosial & Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.