Begitu luar biasanya kecintaan Nahdliyin pada Nabi Muhammad Saw., hingga oleh beberapa kalangan disalahpahami sebagai berlebihan, yakni mencintai Nabi dengan cara bid’ah dan dicintainya hingga keturunannya (dzurriyah). Namun, kesalahpahaman itu tak pernah membuat kecintaan itu berkurang seinci pun dalam jiwa keberislaman Nahdliyin.
Bagi Nahdliyin, Nabi sudah mencintai tanpa batas dan melakukan apa saja untuk kita, yak ok kita mikir-mikir, membatas-batasi dalam mencintai dan mempersembahkan ekspresi cinta pada Nabi. Alih-alih ia menjadi salah satu identitas ke-NU-an. Aneh! Kalau “NU kok ndak maulidan?” atau “NU kok ndak muhibbin (istilah populer pecinta Nabi, keluarga, dan keturunannya)?”
Tapi, lho, dalilnya gitu apa? Lah, wong mencintai Nabi, bukan beribadah ke Nabi, kok minta dalil. Allah saja “berlebihan” kok dalam mencintai Nabi, sehingga meski tak salat, puasa, zakat, apalagi haji, Dia bersalawat pada Nabi.
Nahdlatul Ulama didirikan di antara latar belakangnya karena kecintaan pada Nabi dan keluarganya yang “berlebihan” itu. Sehingga KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah membentuk Komite Hijaz (embrio NU) yang diutus ke Arab Saudi untuk meminta Ibnu Saud, Raja Arab Saudi saat itu, guna di antaranya menjaga makam Nabi dan keluarganya sebagai situs sejarah Islam yang penuh keberkahan yang kala itu terancam dibongkar oleh motif doktrin Wahabi yang baru berkuasa saat itu.
Almarhum KH Maimoen Zubair lahir dalam tradisi itu dan tumbuh hingga wafat sebagai NU tulen. Beliau begitu mencintai Nabi, keluarga, dan dzurriyah (yakni para “Sayyid” atau “Habib”). Begitu wafat, selain berita duka dan biografi serta kutipan-kutipannya yang tersebar, di antaranya juga videonya yang menangis tersedu-sedu saat Haddad Alwi bersama para santri Mbah Moen (sapaan akrab KH Maimoen Zubair) melantunkan salawat yang isinya tawasul pada Nabi dan keluarganya.
Ya Sayyidi Ya Rasulallah
Ya Man lahul Jaa ’Indallah
Innal Musii Inna Qodja’uu
Lidzambi Ya Astaghfirunallah
Mbah Moen sangat gemar salawatan. Di antara yang banyak terekam adalah kegemarannya pada salawat “Su’dana” yang merekam keagungan Sayyidah Khadijah, istri pertama Nabi. Hingga akhirnya Mbah Moen dimakamkan pun di Pemakaman Ma’la di Mekkah, di mana di antaranya di sana dimakamkan juga salah satu perempuan paling dicintainya, yakni Sayyidah Khadijah, serta putra dari gurunya (Sayyid Alawi Al-Maliki), yakni Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, yang Abuya juga adalah guru dari putra Mbah Moen. Lihatlah betapa kokohnya sanad keilmuan ini.
Begitu pula para habib, sangat mencintai dan menghormati Mbah Moen dan tentu NU. Ketika bersilaturahmi ke kediaman Mbah Moen, Ustaz Quraish mencium tangan Mbah Moen sebagai bentuk cinta dan hormatnya pada beliau. Mbah Moen pada 2015 juga sempat terekam mencium tangan Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawy Al-Maliki, cucu dari guru Mbah Moen.
Begitulah memang relasi kiai dan habib sejak dulu. Relasi yang dibangun adalah relasi cinta. “Habib” adalah sebutan yang mengacu pada orang (isim fa’il) dengan makna muhibbun yang artinya “orang yang mencintai” dan juga mahbubun yang berarti “orang yang dicintai”.
Lebih jauh lagi, secara morfologi (sharf), posisi kata habib adalah shifah musyabbahah, yakni menunjukkan sifat yang melekat permanen, sebagai subjek maupun objek: “pencinta” atau “tercinta”.
Maka, seorang habib bukan hanya ia diamanati agar layak dicintai oleh kiai dan umat, tapi juga harus mencintai kiai dan umat. Begitu pula kiai sebagai muhibbin, mereka bukan hanya mencintai habib dan umat, tapi juga dicintai habib dan umat. Dan, ketika cinta bersemi, tak ada kata berlebihan, ia seperti samudera tak bertepi. Terlihat berlebihan atau bahkan sesat hanya oleh mereka yang tak paham, apalagi memiliki cinta yang serupa.
Sebagaimana sebagian orang mengira Qais gila ketika menciumi dinding rumah Layla, padahal bagi Qais itu adalah manifestasi dari ciumannya pada Layla yang berada di balik dinding rumah itu. Dianggap aneh berziarah ke makam Nabi dan mencintai dzurriyah-nya, padahal itu manifestasi kecintaan pada Nabi.
Mbah Moen begitu mencintai habib dan dicintai habib. Pada tahun 2017 Mbah Moen kedatangan Sayyid Abdul Mun’im Al-Ghimmari, pakar hadis dan tasawuf dari Maroko. Dalam sambutannya, Mbah Moen sampaikan bahwa dua kelompok besar di dunia Islam yang wajib diikuti dan dicintai yakni kiai (ulama) dan habib (dzurriyah Nabi). Mbah Moen seolah hendak menyampaikan bagaimana Islam Indonesia menjadi kokoh dan kini begitu mempesona dunia Islam di antaranya lantaran relasi cinta dalam ilmu dan akhlak antara keduanya.
Keduanya menjamin Islam di Indonesia selalu rahmat (damai), berbunga-bunga (meminjam istilah Prof. Azyumardi Azra) dengan nuansa budaya Indonesia, serta berkebangsaan dengan prinsip Indonesia sebagai Tanah Air yang wajib dicintai dan dijaga.
Begitu pula ketika tersebar kabar Mbah Moen wafat, Ustaz Quraish langsung membuat video ucapan bela sungkawa yang meneguhkan ketinggian ilmu dan keagungan akhlak Mbah Moen. Juga Habib Umar bin Hafiz (Yaman) menyampaikan video bela sungkawa yang di antaranya bukan lagi hanya memuji ketinggian ilmunya, tapi keagungan sanad keilmuannya yang bersambung pada Nabi melalui sanad gurunya, Sayyid Alawi Al-Maliki yang sanad itu suci, sehingga ilmu itu menjadi cahaya hati bagi pemiliknya.
Praktis, bagi Habib Umar, wafatnya Mbah Moen adalah lubang bagi peradaban Islam yang patut segera diisi dengan generasi baru ulama Indonesia.
Mbah Moen adalah “Kiai Cinta”. Beliau ajari kita mencintai dan dicintai. Mencintai Nabi beserta keluarga dan dzurriyah-nya, mencintai NU, dan mencintai Indonesia. Soal yang terakhir itu, di Haul Gus Dur pada akhir Desember 2018, saya menyimak sendiri bagaimana Mbah Moen ceramah tentang keislaman, tapi benar-benar tak bisa untuk tak disebut bahwa itu juga orasi kebangsaan.
Maka, Mbah Moen begitu dicintai Nabi dan keluarganya hingga dimakamkan bersama mereka, begitu dicintai Nahdliyin hingga berharap bisa dimakamkan di sini agar kami bisa sering berziarah untuk mengambil berkah, dan dicintai rakyat Indonesia hingga umat Kristiani di Mojokerto, Jember, dan berbagai wilayah melantunkan doa di gerejanya masing-masing untuk Mbah Moen.
Mbah Moen, titip salam kami pada Nabi dan keluarganya. Shalluu alan Nabi…
Baca juga
Nahdlatul Ulama Pasca Wafatnya KH Maimoen Zubair
Meneruskan Mbah Moen Menjaga Indonesia