Jumat, Maret 29, 2024

Masalah Pendidikan yang Perlu Diperhatikan Jokowi dan Prabowo

Abdul Fikri Faqih
Abdul Fikri Faqih
Wakil Ketua Komisi X DPR RI

Masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) sudah hampir rampung. Namun sampai sekarang belum nyaring terdengar visi dan misi dari Jokowi dan Prabowo Subianto dalam memajukan bidang pendidikan. Mereka dan para pendukungnya terlalu sibuk mengurusi isu politik praktis, saling serang, dan saling caci, yang sesungguhnya kontraproduktif bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Bangsa ini sedang menunggu gagasan dan solusi dari mereka yang lebih dari sekadar simbolik seperti dengan kartu-kartu, tapi substansial sehingga dapat mengurai ruwetnya problematika dunia pendidikan negeri ini.

Berangkat dari delapan poin standar nasional pendidikan Indonesia yang ditetapkan Komisi X DPR, meliputi standar isi kurikulum, kompetensei lulusan, sarana prasarana (sarpras), guru, pegawai kependidikan, standar proses, biaya, kemudian standar manajemen, dalam catatan saya, hampir semuanya memiliki masalah.

Untuk kepentingan tulisan ini, saya akan menguraikan dua masalah yang paling penting dan mendesak diselesaikan, yaitu sarpras dan guru. Mengingat saat ini pendidikan kita masih konvensional dan berbasis ruang (place). Belum mengarah kepada pendidikan berbasis digital atau online yang semestinya sudah mulai diberlakukan guna menyongsong revolusi industri 4.0.

Perkara sarpras yang paling mendesak adalah masih banyak ruang kelas rusak. Menurut data yang disampaikan Kemendikbud di awal periode ini kepada Komisi X, terdapat 1,3 juta ruang kelas rusak ringan, sedang dan berat dari keseluruhan 1,8 juta ruang kelas di Indonesia. Artinya, hanya 500 ribu ruang kelas yang bisa dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar dengan layak.

Jumlah tersebut belum ditambah sarpras lain, seperti laboratorium belajar, perpustakaan dan fasilitas lainnya yang juga penting untuk menunjang kualitas pendidikan. Tapi baiklah, mari kita sepakati untuk abaikan saja terlebih dulu; uraian masalah dan kebutuhan seluruh sarpras penunjang tersebut. Kita fokus saja ke ruang kelas yang paling penting untuk berlangsungnya proses belajar mengajar.

Sejak data kelas rusak disampaikan hingga sekarang, pemerintah cenderung lambat untuk menyelesaikannya. Pemerintah pusat berdalih mereka terbentur Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memandatkan persoalan ini terdesentralisasi di pemerintah daerah. Pemkot dan Pemkab menangani SMP/MTS ke bawah. Pemprov menangani SMA/SMK/Sederajat.

Tapi pemerintah daerah mengaku tidak mampu untuk menyelesaikannya karena keterbatasan anggaran. Alasan ini bisa dibenarkan karena kemampuan masing-masing daerah secara fiskal berbeda. Daerah yang miskin pun benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa dan saling lempar tanggung jawab dengan pemerintah pusat.

Kami di Komisi X kemudian berusaha terus mendesak pemerintah pusat. Dalam hal ini kepada Kemendikbud sebagai mitra kerja kami. Mereka akhirnya menyetujui desakan kami dengan menyanggupi melakukan perbaikan 250 ribu ruang kelas rusak berat saja.

Namun, kembali pada perjalanannya, pemerintah pusat tidak benar-benar memperbaiki 250 ribu ruang kelas rusak berat. Mereka menyatakan pada 2019 mengalokasikan anggaran untuk perbaikan 25 ribu ruang kelas rusak berat saja atau hanya 10 persen dari komitmennya.

Dalihnya alokasi anggaran tidak mencukupi. Memang telah terjadi pemangkasan pada dana pendidikan di Kemendikbud dari Rp40 triliun menjadi Rp35 triliun pada tahun anggaran 2018 untuk keperluan mengejar pembangunan infrastruktur non pendidikan sebagaimana fokus pemerintahan Jokowi-JK.

Setelah kami di Komisi X mendesak lagi, Kemendikbud kemudian memberikan skema sampai tahun 2022 untuk perbaikan 250 ribu ruang kelas rusak berat saja. Kesanggupan pemerintah tersebut jelas sangat jauh dari kebutuhan perbaikan 1,3 juta ruang kelas rusak.

Melihat fakta tersebut saya merasa sangat prihatin. Baru bicara rehabilitasi ruang kelas tersedia saja pemerintah sudah tidak menunjukkan komitmennya dan lebih memilih mengalokasikan untuk pembangunan infrastruktur lain. Apalagi bicara kebutuhan pembangunan ruang kelas baru untuk daerah tertinggal, perbatasan dan terdampak bencana.

Dari fakta kunjungan lapangan Komisi X ke daerah terdampak bencana seperti Nusa Tenggara Barat, Banten dan Sulawesi Tengah, pembangunan ruang kelas sangatlah dibutuhkan. Namun, sampai sekarang pembangunan tersebut tidak kunjung dilakukan. Alhasil kegiatan belajar mengajar masih tidak bisa dilangsungkan.

Paling baru saya dan pimpinan Komisi X lainnya mengunjungi Nusa Tenggara Barat. Di sana tiap kabupaten membutuhkan 170 tenda untuk sekolah darurat semua tingkatan. Saat kami tanya ke bupatinya, ternyata baru mendapatkan bantuan 20 tenda untuk sekolah darurat dari pemerintah pusat.

Sementara, di NTB dan daerah terdampak bencana lain sudah tidak berstatus darurat. Sehingga untuk pemenuhan tenda atau pembangunan ruang kelas baru sudah tidak bisa menggunakan anggaran on call, tapi harus menggunakan anggaran rehabilitasi dan rekonstruksi. Artinya, proses tersebut akan lebih lama lagi dan para peserta didik semakin menjadi korbannya.

Sekjend Kemendikbud dalam Rapat Kerja terakhirnya dengan Komisi X menyatakan masalah ketersediaan ruang kelas di daerah terdampak bencana diselesaikan melalui jalur teknologi. Menggunakan belajar mengajar online dengan layar. Namun, itu hanya di daerah-daerah yang memungkinkan mendapat sinyal internet. Sedangkan masih banyak daerah terdampak bencana yang belum mendapat sinyal internet.

Selanjutnya, soal guru.  Data yang dirilis Kemendikbud pada 2018 menyatakan, Indonesia membutuhkan 1,5 juta guru. 750 ribu untuk sekolah negeri dan 750 ribu untuk sekolah swasta. Jika kita asumsikan sekolah swasta bisa memenuhi kebutuhannya dengan mandiri dan tidak terikat peraturan pemerintah, maka kebutuhan yang mendesak adalah 750 ribu guru.

Kebutuhan tersebut saat ini sudah tidak bisa dipenuhi dengan skema perekrutan guru dan tenaga kependidikan baru untuk sekolah negeri. Karena setelah PP 48 tahun 2005 diterbitkan, sekolah negeri sudah tidak bisa lagi mengangkat guru dan tenaga kependidikan honorer.

Skema lain yang mungkin dilakukan, adalah mengangkat guru pegawai negeri. Tapi ini juga mempunyai hambatan. Pemerintah tengah melakukan pembatasan pengangkatan pegawai negeri dan masih 157 ribu guru honorer berstatus K2 yang belum terangkat sejak 2005.

Pada 2018 pemerintah hanya mengangkat 100 ribu PNS guru. Itupun tidak termasuk para honorer K2. Bisa dikatakan, masih kurang 650 ribu guru untuk dipenuhi dan ratusan ribu honorer K2 tidak jelas nasibnya.

Pemerintah memang memberikan jalan tengah untuk honorer K2 dengan menerbitkan PP Nomor 49 tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK). Namun, kendala kembali terjadi. Sebab pelaksana peraturan ini juga pemerintah daerah yang secara fiskal tidak memiliki cukup anggaran.

Hanya 6 ribu guru honorer K2 mendapat kontrak kerja dengan pemerintah. Sedangkan 151 ribu guru honorer K2 lainnya masih tidak jelas nasibnya dan mendapat gaji di bawah standar. Padahal kebanyakan dari mereka sudah mengabdikan diri bertahun-tahun di bidang pendidikan.

Jadi, bisa saya katakan, negara ini masih memiliki masalah pemenuhan jumlah guru dan kesejahteraan guru sekaligus. Sebenarnya mudah saja diselesaikan jika ada political will dari pemerintah. Tinggal diangkat saja semua guru yang honorer K2 terlebih dulu. Kebanyakan dari mereka sudah berusia lanjut dan sisa masa baktinya sebagai pegawai negeri tinggal sebentar. Setelah itu, secara bertahap pengangkatan PNS guru ditambah kuotanya agar bisa juga menampung para honorer di luar yang berstatus K2.

Akan tetapi, agaknya pemerintah belum memiliki pandangan serupa, meskipun konon pada 12 April mendatang kepastian status tenaga honorer K2 akan diumumkan Kemendikbud.

Terlepas dari permasalahan tersebut, saya berharap kedua pasangan Capres-Cawapres mampu membawa gagasan pengembangan pendidikan secara digital guna menyongsong era revolusi industri 4.0. Bagaimana infrastruktur ke arah sana mesti dipersiapkan? Bagaimana konsepnya? Bagaimana regulasinya? Dan lain sebagainya.

Saya pun berharap mereka dapat membuat semacam grand design pendidikan Indonesia yang bisa berlaku lama, meskipun kini sudah ada Undang-undang sistem pendidikan nasional. Fungsinya agar perkembangan pendidikan di Indonesia tidak berlaku sporadis seperti sebelumnya. Ada tren link and match antara pendidikan dan usaha selayaknya di Jerman, ikut. Ada tren pendidikan berdasarkan pembangunan karakter selayaknya di Finlandia, ikut.

Hasilnya, segala upaya pengembangan pendidikan tidak pernah utuh dan berkelanjutan. Ganti rezim, ganti kurikulum. Sangat riskan bagi negara yang hendak menyongsong bonus demografi pada 2030 mendatang.

Sebagai pamungkas, saya selalu berkeyakinan bahwa human capital adalah investasi terbesar sebuah negara bangsa. Pendidikan adalah faktor paling penting untuk berinvestasi di lini itu. Maka, jika siapa pun pasangan yang terpilih nanti tidak mau memperhatikan pendidikan, Indonesia mesti bersiap mengantre di urutan negara bangkrut.

Abdul Fikri Faqih
Abdul Fikri Faqih
Wakil Ketua Komisi X DPR RI
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.