Salah satu ritual yang hampir saya lakukan setiap pagi adalah mengecek HP, siapa tahu ada kabar penting yang menggembirakan. Kabar gembira di pagi hari bisa membuat kita bahagia sepanjang hari. Itulah sebab mengapa kita dianjurkan berdoa pada setiap bangun tidur, bersyukur, memuji kebesaran Allah yang telah “menghidupkan” setelah “mematikan” kita sejenak. Tidur adalah “mati” non-fisik, dan bisa bangun kembali adalah kebahagiaan luar biasa yang sering kita lupakan.
Tapi di pagi ini, Selasa, 31/12/2019, bukan kabar gembira yang saya dapatkan. Salah satu kolega di Maarif Institute, Mohammad Shofan menulis kabar duka via WhatsApp:
“Innalillahi wa inna ilia raji’un, telah meninggal dunia saudara kita Drs. H. Kuswiyanto, M.Si mantan anggota DPR RI/Ketua Umum DPD IMM Jatim pagi ini pukul 03.35 WIB di RS Husada Utama. Semoga husnul khotimah, amin”. Di ujungnya ditambah pula emoticon kesedihan tiga biji.
Saya mengenal Mas Kus, begitu biasa saya memanggil, pada awal tahun 90an, saat beliau jadi Ketua Umum DPD IMM Jawa Timur. Saat yang sama, saya menjadi Sekretaris Umum DPD IMM DKI Jakarta. Kami sering ketemu di acara-acara IMM dan Muhammadiyah, meskipun saya lebih akrab dengan sekretaris umumnya, Mas Sholihin.
Selepas dari IMM, kami aktif di Pemuda Muhammadiyah, Mas Kus di PW Pemuda Jatim sebagai Wakil Ketua, saya di pusat sebagai salah satu Ketua. Selain di Pemuda, juga di Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP), beliau di LHKP PWM Jatim, saya di LHKP PP Muhammadiyah.
Selain di Muhammadiyah, Mas Kus juga aktif di PAN. Sebagai aktivis politik, Mas Kus tergolong sukses, sejak 2004 ia terpilih menjadi anggota DPRD Jatim selama dua periode (2004-2014). Selama menjadi anggota DPRD, karena kesibukan masing-masing, kami jarang sekali ketemu dan berkomunikasi.
Kami mulai sering komunikasi lagi setelah Mas Kus terpilih menjadi Anggota DPR-RI periode 2014-2019 mewakili Dapil Jawa Timur IX. Mas Kus adalah orang yang sangat perhatian dengan nasib teman dan sahabatnya. Setiap ketemu, yang ia tanyakan pertama kali, selain kabar, juga soal pekerjaan. Ia begitu risau jika mendengar ada teman atau sahabatnya yang menganggur. Padahal sejatinya, bagi setiap aktivis –apalagi aktivis Muhammadiyah—tidak ada istilah menagnggur. Selalu ada kesibukan sepanjang hayat di kandung badan. Minimal berprofesi sebagai aktivis. Sebagai penggerak organisasi.
Suatu ketika Mas Kus meminta saya untuk membantunya di DPR RI. Biar bisa bunyi, katanya. Karena kesibukan, saya tidak bisa membantunya secara langsung. Saya menitipkan seorang teman, Mohammad Shofan (pemikir dan penulis produktif yang waktu itu jadi kolega saya di Yayasan Paramadina) untuk membantu beliau sebagai Tenaga Ahli. Oleh pimpinan partai, Mas Kus ditugaskan di Komisi VIII yang membidangi agama, sosial dan pemberdayaan perempuan. Alhamdulillah, meskipun tidak sepopuler “koboi-koboi Senayan”, ia tergolong sebagai anggota yang fokal. Setiap ada RDP dengan mitra kerja, hampir selalu mengajukan kritik dan pertanyaan-pertanyaan yang menohok. Ia benar-benar memfungsikan jabatannya untuk mengontrol pemerintah.
Suatu ketika, ia mengajak saya dan beberapa teman untuk kopi darat, di sebuah tempat makan yang nyaman, tak jauh dari gedung DPR. Tapi kenyamanan tempat itu tak mampu menutupi kegundahan raut mukanya. Mas Kus curhat tentang hasil Musywil PAN Jatim. Karena menyinggung tokoh-tokoh kunci di PAN, saya tidak mau menceritakan secara detail bagaimana curhatannya. Bagi teman-teman aktivis PAN Jatim, tentu tahu betul bagaimana kondisinya. Intinya, dalam Musywil, Mas Kus meraih suara terbanyak, jauh meninggalkan para kompetitornya. Tapi, apa lacur, Mas Kus mendapat tekanan dari pusat untuk legowo tidak jadi Ketua.
Saya tahu Mas Kus orang baik yang rajin bekerja dan bersilaturrahim. Sama sekali tidak mengherankan jika dalam Musywil mampu meraih suara signifikan. Tapi saya tahu Mas Kus bukan politisi yang kaya raya. Saya kira, inilah “kelemahan”-nya sebagai politisi, ia tak bisa membeli jabatan dengan uang. Ia dipaksa mundur untuk digantikan orang lain yang jauh lebih kaya, meskipun perolehan suaranya jauh di bawah Mas Kus. Dan, seperti umumnya watak aktivis Muhammadiyah, dia tidak melawan. Baginya, jabatan bukan segalanya. Integritas dan harga diri modal utamanya. Kecewa sih, tapi mau bagaimana lagi, Mas Kus adalah korban…
Sebagai korban, Mas Kus tak hanya berhenti sampai di situ. Pada saat Pilkada serentak gelombang ketiga tahun 2018, Mas Kus yang sejak awal berniat maju sebagai calon Bupati Bojonego, sudah siap lahir batin, sudah banyak berkorban waktu, tenaga, dan harta, lagi-lagi “dipaksa” untuk legawa, hanya sebagai Calon Wakil Bupati, mendampingi Mahfudhoh, yang tidak lain adalah istri Bupati sebelumnya yang tergolong sukses selama dua periode.
Tapi kesuksesan sang Bupati ternyata tidak mampu mengerek suara sang istri. Dari empat pasangan calon yang maju, saya dengar, pasangan Mahfudhoh-Kuswiyanto meraih suara paling buncit. Kekalahan yang cukup tragis bagi seorang istri Bupati yang sukses mendapatkan banyak penghargaan baik secara nasional maupun internasional.
Lama tak terdengar kabarnya, tiba-tiba, saya dapat kiriman gambar Mas Kus yang tampak kuyu. Beliau diberitakan sakit. Menurut cerita Shofan, Mas Kus sakit getah bening. Mungkin maksudnya terkena kanker kelenjar getah bening. Penyakit ganas yang merenggut nyawa ustadz kondang Arifin Ilham. Mas Kus melawan penyakitnya antara lain dengan mengonsumsi buah dan tumbuhan yang diyakini mampu menyembuhkan kanker.
Perlawanan Mas Kus terhadap penyakitnya terhenti pada pukul 03.35 di hari terakhir 2019. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Selamat jalan Mas Kus. Gusti Allah sangat sayang pada sampean, agar tidak terus menerus kecewa dengan politik. Sampean diajak pergi (insya Allah) menuju syurgaNya.
Seusai bedoa untuk Mas Kus, tetiba saya teringat satu buku karya penulis best seller Arvan Pradiansyah, judulnya Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi. Profesi apa pun, saya kira, kalau dijalani dengan ikhlas, pasti bisa mendatangkan kebahagiaan. Mungkin Arvan benar karena di arena politik, keikhlasan sangat sulit ditemukan. Wallahu a’lam!