Kamis, Maret 28, 2024

Siku Marouane Fellaini dan Senjata Rahasia Belgia

Darmanto Simaepa
Darmanto Simaepa
Penulis buku "Tamasya Bola: Cinta, Gairah, dan Luka dalam Sepakbola"; Pengelola blog Belakanggawang.

Belum genap enam menit, senjata itu sudah menunaikan tugasnya. Neymar Jr bukanlah pemain yang lambat. Namun kecepatan dan kelenturannya tak menolong kali ini. Sepasang senjata Belgia itu tak membiarkannya lolos. Senjata tajam itu mengayun ke luar daerah orbitnya sebelum Neymar menurunkan tengkuknya.

Bukan, itu bukanlah senjata rahasia Belgia. Meskipun sering ditutup dengan kaos lengan panjang, sepasang senjata mematikan itu tak mungkin disembunyikan. Ia tetap terlihat besar, menonjol, dengan sudut-sudut yang keras dan tajam. Apalagi kalau terentang bebas di udara. Siku, senjata itu, berkelebatan, menghajar apa saja yang ada didekatnya.

Satu hantaman kecil di tengkuk itu tidak menentukan hasil akhir, tetapi ia telah merenggut nyali Neymar. Sejak saat itu, Neymar selalu menjauh, agak terlalu jauh, dari teritori yang dijaga Marouane Fellaini. Ia selalu menghindar dari jangkauan dua siku besar itu. Setiap bola mengambang di udara, ia memilih untuk menunggu. Kalaupun terpaksa berduel, ia melakukannya dengan hati yang menggerutu.

Tak hanya menggerogoti keberanian Neymar, ayunan siku itu membuat Brasil meninggalkan area subur yang biasa mereka gunakan untuk membudidayakan peluang. Dua siku Fellaini di rusuk kiri pertahanan Belgia itu menyulitkan Coutinho membuat kombinasi umpan satu-dua sentuhan atau umpan terobosan.

Dua siku yang terentang itu memaksa Brasil mengirim bola ke luar dan membuat Marcelo menyisir ke tepi lapangan. Tak ada pilihan lain kecuali mengirim umpan silang. Dengan hanya ada Jesus, dan sesekali Paulinho di kotak penalti, lebih mudah bagi Toby Alderweireld dan Vincent Kompany menghadapi bahaya dari udara.

Namun, siku Fellaini, termasuk juga tulang lutut dan pinggulnya, bukanlah senjata rahasia Belgia. Lawan sudah bisa menebak apa yang akan Belgia lakukan dengannya. Ia akan masuk di akhir-akhir pertandingan. Jika mereka tertinggal, siku-siku itu akan berkibas-kibas di kotak penalti lawan. Jika mereka unggul, siku-siku Fellaini itu akan mengamankan jantung pertahanan.

Yang barangkali para penonton netral dan suporter lawan tidak ketahui, atau lebih tepatnya enggan akui, adalah Belgia, dalam diri Marouane Fellaini, punya senjata lain yang lebih tidak terdeteksi. Senjata yang jauh lebih mematikan.

***

Dengan kening yang lebar, rambut biri-biri tak tercukur dan berantakan, dan badan bongsor seperti perawakan tokoh-tokoh antagonis film-film laga murahan, Marouane Fellaini mudah sekali untuk menjadi bahan lawakan. Larinya lambat seperti jerapah tua yang terluka. Tiap kali bola menyentuh kakinya, benda itu berubah menjadi karet kenyal yang melenting tak tentu arah. Tiap kali melonjak ke udara, selalu ada kemungkinan hidung seseorang akan patah dan berdarah.

Sangat mudah bagi moralis sepakbola untuk membencinya. Di zaman gelandang-gelandang mungil berteknik tinggi menjadi idola dan umpan menyusur tanah menjadi amal utama, ia seperti raksasa buruk rupa yang merusak imajinasi indah tentang gelandang dan lapangan tengah. Sosoknya yang berlari lambat di antara gelandang-gelandang yang bergerak dengan kecepatan tinggi dan bertukar posisi membuatnya seperti kaktus di tengah padang pasir.

Namun, seseorang tak bisa bermain secara reguler di liga paling kompetitif di dunia hanya mengandalkan pinggul yang besar. Seseorang dengan tulang yang menyembul di sana-sini tak akan berharga 500 miliar. Dan kekuatan fisik tak akan membuat seorang remaja menjadi pemain terbaik di liga utama Belgia.

Fellaini memang pemain sepakbola yang mudah disalahpahami. Jika seorang pelatih menginginkan penguasaan bola, umpan-umpan pendek dan permainan elegan, ia menjadi orang pertama yang keluar dari daftar incaran. Jika seseorang pemilik klub menginginkan neraca pendapatan, ia tidak akan masuk hitungan. Atau bahkan sama sekali bukanlah opsi. Jika mata pendukung ingin dimanjakan, Fellaini akan mudah menjadi kambing hitam. Pendeknya, ia mewakili hal-hal yang sepakbola kontemporer tidak inginkan. Seperti penyanyi rock yang masuk ke tengah-tengah pertunjukan opera.

Namun, jika sepakbola adalah olahraga yang dimainkan oleh kepala (seperti yang dikatakan Johan Cruijff), maka di balik rambutnya yang berkibar-kibar Fellaini punya segalanya. Memanglah secara kasat mata tak ada yang istimewa dengan penampilannya. Ia bukan pemain kreatif, bukan gelandang produktif, bukan holding mildfielder yang bisa menahan bola.

Selama 236 menit di atas lapangan selama Piala Dunia kali ini, kemampuannya menghilangkan bola (17) lebih tinggi dari pada keahliannya merebutnya kembali (11). Umpan-umpannya tidak buruk, tapi juga tidak juga istimewa. Dari total 82% umpan yang menemui sasaran, dua pertiganya dilakukan di daerah pertahanan sendiri. Tak ada assist, tak ada umpan menentukan.

Ia juga bukanlah pemain yang efisien. Dari total empat tembakan ke gawang, hanya ada satu yang tepat sasaran. Tidak seperti anggapan orang, ia juga bukan yang terbaik dalam mengarahkan bola di udara dengan kepala. Ia menang sundulan di kotak penalti lawan sebanyak 1.2 kali tiap pertandingan.

Namun, angka-angka tidak membuat manusia, tetapi manusialah yang membuat angka-angka. Statistik tak bisa mengukur nilai permainan Marouane Fellaini dan mengapa ia menjadi senjata rahasia Belgia. Angka tak bisa digunakan untuk mengukur keputusan yang tepat atau kecermatan posisi. Statistik juga tak bisa mengungkapkan momentum dan berubahnya irama permainan.

***

Fellaini punya senjata yang tak tertera oleh panca indra. Senjata itu jauh ada di dalam kepalanya dan jarang dideteksi oleh publik sepakbola. Tak lain, senjata itu adalah otak sepakbola. Dengan kecerdasan itu, Fellaini punya kehebatan membaca permainan.

Seperti yang ditunjukkan saat melawan Brasil, ia hampir selalu membuat keputusan yang tepat. Hampir selalu berada di momen yang tepat. Dan nyaris selalu hadir di tempat yang tepat. Saat diserang, ia stabil di zonanya. Saat menyerang, tiba-tiba saja ia merangsek menuju zona berbahaya. Ia tampak berada di mana-mana.

Kecerdasan sepakbola Marouane Fellaini tampak dari daya adaptasinya dengan taktik yang berbeda-beda. Ia memudahkan Roberto Martinez merancang beragam rencana. Ia menjadi dominan dengan taktik 3-5-2 saat lawan Inggris. Ia menjadi hantu bagi Jepang saat Belgia memainkan skema 4-4-2. Lalu saat bermain dengan racikan 4-3-3, ia menjadi monster menakutkan. Bukan kebetulan Martinez memilihnya dan meninggalkan Radja Nainggolan.

Ia memberi dimensi lain buat permainan Belgia. Dalam empat tahun terakhir, Belgia dihinggapi kecemasan besar: generasi emasnya gagal mewujudkan potensinya. Belgia punya segalanya. Mereka punya skil dan teknik. Mereka punya talenta. Namun, mereka juga punya pertanyaan yang tidak sukar dijawab: bagaimana meracik tim yang kokoh dan matang secara taktik.

Bagaimana Belgia akan bertahan? Apa yang akan mereka lakukan jika ada serangan balik? Bagaimana Martinez akan menjaga keseimbangan tanpa harus mengekang pemain kreatifnya? Siapa yang akan melindungi area tengah jika Axel Witsel keluar dari posisinya? Selama empat tahun terakhir, pertanyaan-pertanyaan itu menghantui mereka.

Marc Wilmots gagal menjawab pertanyaan tersebut di Piala Dunia Brasil 2014 dan Piala Eropa Prancis 2016. Ia dipandang memberi kebebasan tapi tidak menyuntikkan tanggung jawab. Ia bisa memotivasi Hazard tapi tidak punya rencana yang matang. Ia membuat Belgia punya bakat tapi tidak punya tim.

Sebagai pengganti Wilmots, Roberto Martinez dituduh mengulang kesalahan Wilmots. Ia dianggap tidak mampu meracik sebuah tim yang solid dan matang secara taktik. Publik Belgia juga tidak seluruhnya menyukainya. Daftar riwayat kepelatihannya kurang cemerlang. Salah satu kesuksesannya adalah membuat Wigan Athletic turun ke divisi dua.

Federasi sepakbola Belgia memilih Martinez karena anggaran. Sebagai negara kecil, mereka punya dana yang tak besar. Fabio Capello atau Luis van Gaal, dua incaran utama, memilih mundur karena bayarannya lima kali lebih kecil dari yang mereka dapat dari kontrak sebelumnya.

Selama dua tahun, rekor Martinez luar biasa: kalah sekali dari 18 laga. Namun, orang menganggap itu karena Belgia berada di grup kualifikasi yang ringan. Belum menemukan lawan sepadan. Taktik dengan tiga bek dan dua sayap dianggap ceroboh dan kontradiktif: berusaha bertahan tapi dengan memakai 6 penyerang.

November tahun lalu, Kevin de Bruyne mengkritiknya secara terbuka. Usai kalah dari Meksiko, de Bruyne menuntut Martinez merumuskan ulang gaya bermain Belgia. Kritik itu menggoyahkan tim dan memunculkan ketegangan.

Roberto Martinez hampir saja membayar mahal kepala batunya. Jepang, dengan taktik yang cerdas dan rencana permainan yang dieksekusi oleh pemain berpengalaman, dengan sempurna menangkal kreatifitas talenta-talenta emas Belgia. Andai mereka kalah, hampir bisa dipastikan Martinez akan kehilangan pekerjaan.

Hingga momen itu tiba. Keputusan memasukkan Fellaini (dan Nacer Chadli) dan mengganti formasi menjadi 4-4-2 mengubah segalanya.

Jika ada seorang pengamat yang mengatakan Fellaini mengubah tim Belgia hanya dengan kontrol dada dan sikunya, ia harus menonton ulang pertandingan itu dengan seksama. Fellaini mengubah dinamika dengan cara mendekatkan posisinya di sekitar Shinji Kagawa. Dengan berada di sekitar Kagawa, Fellaini memotong pasokan umpan diagonal dari belakang yang merepotkan Belgia di babak pertama. Dengan Kagawa berada di jangkauan, sumber kreativitas Jepang mengering.

Masuknya Fellaini saat melawan Jepang adalah titik balik permainan Belgia. Dengan Fellaini, Belgia tidak hanya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tetapi juga sekaligus mengajukan pertanyaan balik kepada lawannya. Bagaimana menembus pertahanan Belgia? Bagaimana menangkal serangan balik mereka, siapa yang menjaga Lukaku dan siapa yang menjaga de Bruyne? Dan pada akhirnya apa dan siapa yang harus dilakukan untuk menjaga Fellaini jika mereka memiliki tendangan penjuru?

Saat melawan Brasil, dengan main dari menit pertama, kita menyaksikan bahwa kecerdasan sepakbola Fellaini bukan kebetulan. Permainannya kolosal. Ia memberi kombinasi otot dan otak. Terutama di area kanan-tengah. Mirip singa jantan yang lapar dan birahi, ia melindungi wilayahnya dengan cara mengusir Coutinho ke luar teritorinya dan hampir selalu menang duel dengan Neymar.

Sepanjang 30 menit, tak ada satu pun pemain Brasil yang berhasil melewatinya. Meskipun kakinya tak lincah, ia pintar menempatkan posisi dan membaca pergerakan. Satu-dua kali kalah langkah, namun ia masih tetap bisa merebut bola atau mengatur badan untuk tidak membuat lini belakangnya rentan oleh umpan terobosan.

Kehadiran Fellaini mengubah momentum. Dalam semalam, ia mengubah Roberto Martinez si pelatih semenjana menjadi seorang jenius. Secara taktik, ia membuat Belgia lebih fleksibel. Dengan skema 4-3-3 atau variannya, Belgia tampak siap menghadapi lawan yang kreatif maupun defensif. Dengannya di lapangan tengah, Belgia punya banyak opsi dan rencana.

Dari segi mental, Fellaini mengubah kecemasan Belgia menjadi kekuatan. Fellaini membuat Belgia lebih yakin dan percaya diri. Dan membuktikan bahwa mereka bisa bertahan. Ia tidak hanya membuat lini belakangnya merasa aman. Atau membuat rekan-rekannya yang lebih bertalenta lebih bebas dan tenang saat menyerang.

Ia mentransformasikan penampilan Belgia yang rentan (melawan Jepang) menjadi tim yang lini pertahanannya sulit dibongkar (melawan Brasil). Ini membuat Belgia memiliki apa yang dipunyai tim-tim juara: kesiapan dan kemampuan untuk menderita menghadapi tekanan lawan tanpa harus kehilangan keyakinan untuk menang.

Bagi sepakbola dunia, permainan Fellaini juga memberi dimensi yang berbeda. Dekade terakhir ini kita sulit mengimajinasikan sepakbola tanpa tiki-taka, pressing tinggi, atau variannya. Pemain dituntut untuk membuat ratusan umpan di setiap pertandingan. Permainan harus disusun dari belakang. Kehilangan bola dianggap sebagai bencana.

Bersama para gelandang Uruguay, Fellaini membuktikan bahwa pengusaan bola dan pertukaran posisi bukanlah segalanya. Itu hanyalah satu cara, di antara banyak cara, memainkan bola. Gelandang yang bagus tidak hanya ada dalam diri Paul Pogba atau Luca Modric. Bola-bola mati, pergerakan tanpa bola, kekuatan fisik juga bagian penting dalam permainan. Umpan panjang, tekel, duel-duel udara, kedisiplinan menjaga area, kemauan untuk terus berlari dan membuat jengkel lawan dengan beragam cara juga adalah resep jitu meraih kemenangan.

Jadi, awasi kepalamu, Pogba! Awasi tengkukmu, Mbappe! Siku-siku lancip yang berkeliaran di udara itu hanyalah senjata Belgia yang kasat mata. Siku itu hanyalah permukaan. Di balik lonjakan ke udara dan rentangan tangan yang panjang dengan tulang-tulang yang menonjol itu, Marouane Fellaini punya kedisiplinan taktik, pengambilan keputusan dan kecerdasan membaca permainan. Itu adalah senjata rahasia Belgia yang utama.

Darmanto Simaepa
Darmanto Simaepa
Penulis buku "Tamasya Bola: Cinta, Gairah, dan Luka dalam Sepakbola"; Pengelola blog Belakanggawang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.