Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok akan mencalonkan diri kembali merebut kursi DKI 1 melalu jalur partai politik. Ahok mengklaim sudah tiga partai politik yang mendukung pencalonannya: Hati Nurani Rakyat, Golongan Karya, dan Nasional Demokrat. Dukungan ketiga partai tersebut sudah mencapai 24 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, berarti sudah di atas batas minimal yang ditentukan Komisi Pemilihan Umum Daerah, yaitu 22 kursi.
Dukungan ketiga partai tersebut membuat Ahok “pede” dengan tidak terlalu mengharapkan dukungan partai lain. Di saat yang sama muncul gerakan #BalikinKTPgue di media sosial yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan sebagian kalangan yang menilai Ahok inkonsisten ihwal pencalonan dirinya lewat jalur perseorangan (independen).
Ahok dinilai “mengkhianati” pemilik KTP yang disetorkan ke Teman Ahok. Adapun soal “pengkhianatan” dan “inkonsistensi” ini pada akhirnya menjadi pertanyaan besar setelah diverifikasi secara rasional.
Kita bisa lihat dengan jelas sebenarnya pengumpulan 1 juta KTP melalui Teman Ahok adalah salah satu strategi dan secara politik taktis tidak “bertabrakan” dengan kepentingan partai politik. Teman Ahok sudah dengan sangat taktis menunda menyerahkan verifikasi KTP kepada KPUD tentu saja dengan pertimbangan sangat matang.
Gerakan Teman Ahok sejatinya adalah bagian dari manuver zig-zag Ahok yang memang sulit diduga oleh mereka yang awam dengan dunia politik. Keputusan Ahok untuk mencalonkan diri melalu partai bukan berarti menegasikan peran Teman Ahok, sebab gebrakan mereka sudah menunjukkan bahwa Ahok adalah calon yang memang bisa “dijual”.
Tanpa gerakan pengumpulan KTP Teman Ahok, bukan tidak mungkin partai politik tidak akan terlalu tertarik mencalonkan Ahok. Teman Ahok sudah berfungsi dengan baik sebagai kendaraan politik Ahok untuk dicalonkan ke partai politik. Hal ini tentu saja dilakukan karena syarat verifikasi faktual KTP melalui KPUD memang terlalu memberatkan. Tak ada yang salah secara hukum dengan strategi politik seperti ini.
Berdasarkan verifikasi alamat IP berbagai pihak di media sosial terkait gerakan #BalikinKTPgue, ternyata akun media sosial yang memperjuangkan tagar tersebut banyak yang berasal dari luar Jakarta. Hal ini menimbulkan tanda tanya, karena seharusnya ini menjadi urusan internal warga Jakarta sendiri. Jika ada pihak Teman Ahok yang terkesan kritis terhadap partai politik, pernyataan mereka tidak bisa jadi pegangan karena tidak memiliki kekuatan hukum.
Dinamika politik bisa berubah dalam hitungan detik, selama belum ada kesepakatan hukum. Sesuatu yang sangat menggelikan jika pernyataan dari media dianggap sebagai garis perjuangan politik yang permanen. Media adalah corong propaganda partai dan kepentingan politik, bukan diseminasi dari keputusan hukum dari lembaga negara. Sah-sah saja jika media memuat manuver politik yang berubah dalam hitungan detik.
Pihak yang menolak strategi propaganda seperti itu berarti tidak pernah belajar jurnalistik. Sikap yang bijaksana adalah mampu memisahkan strategi propaganda dengan ketetapan hukum, namun tetap mempertimbangkan korelasi di antara keduanya. Jika disatukan, yang muncul hanyalah emosi tak terkendali.
Jika ingin mengetahui kebenarannya, tunggulah verifikasi dari KPUD mengenai pencalonan resmi Ahok karena hal tersebut sudah berlandaskan hukum. Apabila ke depan ada statemen di media yang bertentangan dengan keputusan KPUD, barulah itu dapat disebut “salah secara moral”.
Jika dicermati seksama, manever zig-zag ala Ahok bukan sesuatu yang unik. Kita tentu tidak lupa dengan peristiwa kudeta gagal di Turki, 16 Juli 2016, yang akhirnya membuat kekuasaan Presiden Recep Tayyip Erdogan semakin kuat. Segera setelah kudeta digagalkan, Erdogan bergerak untuk normalisasi hubungan dengan Israel. Erdogan selama ini menggunakan manuver zig-zag juga, terutama dalam berhubungan dengan Israel dan Barat.
Jika manuver Erdogan yang bermitra dengan Israel disebut sebagai “strategi” untuk memperjuangkan ideologi dan kepentingan kelompok Islamis, maka yang dilakukan Ahok sebenarnya sama saja. Yakni bermitra dengan partai politik sebagai “strategi” untuk memperjuangkan program-programnya.
Dalam berpolitik tidak perlu “bawa perasaan” atau baper, dengan menuduh bahwa manuver lawan politik adalah salah secara moral. Selama tak ada pelanggaran hukum dan tidak ada pelanggaran moral yang dilakukan. Kembalikan apa yang disebut “asas kepatutan” dan moral kepada peraturan perundang-undangan kita yang disepakati bersama. Bukan kepada indikator subyektif yang disepakati oleh pihak tertentu saja.
Sama dengan Erdogan yang tetap Islamis walau bekerja sama dengan Israel, Ahok pun secara hakiki tetap independen, meski bekerja sama dengan Golkar, Hanura, dan Nasdem. Erdogan dan Ahok sudah menunjukkan bahwa politik adalah adu rasio secara komprehensif dan holistik, bukan adu emosi secara brutal maupun sporadis.
Kedua tokoh itu mampu berpikir strategis atau jangka panjang untuk memperjuangkan kepentingan konstituennya. Hanya saja sangat disayangkan seringkali pengikut mereka terlalu emosional dalam menyerang lawan politiknya dan kurang menggunakan rasio dalam melemparkan kritik. Ini tentu saja pekerjaan rumah (PR) besar bagi Erdogan dan Ahok untuk mendidik konstituennya.
Kendati Ahok adalah kandidat gubernur yang popularitas dan elektabilitasnya paling tinggi sampai hari ini menurut beberapa hasil lembaga survei, bukan berarti Ahok bisa “santai” menghadapi Pilkada DKI Jakarta. Berdasarkan media monitoring, akun-akun yang sangat anti-Ahok bertebaran di media sosial. Mereka tentu akan melakukan serangan tanpa henti untuk menjatuhkan Ahok.
Memang, Teman Ahok dan pendukung Ahok di partai tentu punya strategi propaganda untuk menghadapi smear campaign tersebut. Namun, kita tak bisa lupa bahwa sebagian kebencian terhadap Ahok juga muncul karena kesalahpahaman terhadap pernyataan-pernyataan Ahok di media maupun di berbagai forum yang terkesan kontroversial. Dalam konteks ini Ahok memang harus memperbaik pencitraan dirinya.
Menjadi vokal dan outspoken tentu sangat baik, terutama dalam menghadapi kejahatan dan kebobrokan moral. Namun, untuk mendulang dukungan politik dari berbagai etnis, agama, dan ras di Jakarta, strategi yang lebih simpatik tentu diperlukan. Secara pribadi, saya melihat penampilan dan pencitraan Ahok sudah jauh lebih simpatik dibanding sewaktu dia pertama kali menjabat sebagai wakil gubernur.
Akankah gaya ini bisa Ahok pertahankan hingga pemilihan gubernur Jakarta tahun depan?