Sabtu, April 27, 2024

Logoterapi Pandemik, Makna Hidup di Bawah Bayang-bayang Covid-19

Akhmad Muzambik
Akhmad Muzambik
Tokoh JIB, Psikolog Literasi, dan CEO Pustakapedia

Indonesia situasinya kian mencemaskan. Kita saksikan pemberitaan media dan data gugus Covid-19 meningkatnya jumlah korban. Belum lagi dampak yang ditimbulkan. Selain kesehatan, dampak ekonomi paling menyengsarakan. Namun, tulisan ini tidak berpretensi mengajukan ulang soal itu. Pertanyaannya, adakah dampak psikologis dari pandemi ini dan bagaimana sikap kita?

Sejak Indonesia menekan tombol tanda bahaya pandemi, ruang diskusi, kajian dan dialog ramai di mana-mana. Ruang publik, media pemberitaan daring (online), media sosial dan grup-grup di whatsapp amat berisik. Di sini, kebebasan berpendapat dan berbicara menemukan habitatnya. Tidak ada yang salah, bahkan dengan tiba-tiba “siapapun bisa jadi pakar soal apapun” sekalipun.

Sayangnya, seringkali kita mendengar nyanyian koor; syair dan nada yang sama dinyanyikan banyak orang secara bersamaan. Namun, aransemennya buruk – fake news atau hoaks, tudingan yang tak berdasar atau perspektif yang ngawur bahkan suara sumbang di sana-sini adalah not balok yang menjadi dasar bagi nada-nada nyanyian itu.

Dalam ruang yang berisik itu, suara-suara paling lantang yang kita dengar adalah tentang kesehatan, tentang politik, tentang ekonomi bahkan agama. Soalnya adalah Kita menjadi kesulitan mendengar suara itu yang terucap dari ahlinya; dokter, politisi, ekonom atau agamawan yang kompeten.

Lalu, dimana psikologi dalam fenomena ini. Memang, sudah ada opini-opini dan kajian-kajian akademik psikologi terkait Covid-19 ini tapi volumenya terlampau kecil.

Tulisan ini diharapkan dapat menawarkan perspektif yang lebih optimistik, tidak turut serta menjadi bagian dari kebisingan koor. Fastami’u wa ansitu la’allakum turhamun.

Dampak Psikologis Pandemi Covid-19

Sebuah artikel yang ditulis William C. Sanderson dalam Psychology Today bertajuk The Toxic Effect of the Pandemic on Our Human Nature menarik untuk Kita cermati. Sanderson sendiri merupakan seorang profesional kesehatan mental.

Ia mengajukan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow menyangkut dampak psikologis dengan adanya pandemi. Maslow merupakan tokoh yang cukup populer bukan di kalangan pengkaji psikologi saja. Namanya dikenal di kalangan yang meminati bidang-bidang lain sebagaimana Sigmund Freud, Carl Gustav Jung atau Viktor Emil Frankl.

Menurut Maslow ada 5 (lima) kebutuhan (needs) manusia yang bersifat berjenjang atau hierarkis. Karenanya temuan Maslow ini kemudian disebut dengan Maslow’s Hierarchy of Needs. Dikatakan hierarkis karena setiap kebutuhan sedapat mungkin harus dipenuhi sebelum kebutuhan yang lebih tinggi menuntut untuk dipenuhi.

Kebutuhan-kebutuhan itu seperti fisik/ fisiologis seperti makan,minum dan kebutuhan dasar (basic needs) lainnya. Kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial seperti persahabatan, kekeluargaan, kebutuhan akan dihargai (esteem needs) dan puncaknya adalah aktualisasi diri.

Sanderson melihat bahwa selama pandemi kebutuhan-kebutuhan tersebut mengalami hambatan. PHK selama pandemi, usaha yang sepi pembeli atau kebijakan potong gaji tentu saja bagian dari kebutuhan fisiologis yang mengalami hambatan. Dalam konteks Indonesia, pemerintah hingga harus mengeluarkan kebijakan berupa bantuan. Meski karena alasan ekonomi tapi pada studi ini berarti menyelamatkan basic needs masyarakat Indonesia. Bagaimanapun konstelasinya soal bantuan tersebut, ia masih bermakna “membantu.” Tulisan ini tidak hendak turut membicarakan itu.

Jumlah pasien yang terus meningkat, kebijakan jaga jarak merupakan ejawantah dari kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan sosial yang sulit dipenuhi. Sanderson juga melihat beberapa hal dapat diatasi dengan pertemuan virtual tapi menurutnya secara psikologis kebutuhan sosial itu tidak seutuhnya terpenuhi. Masih ada ruang kosong dalam jiwa.

Tekanan sulitnya pemenuhan akan kebutuhan tersebut memicu masalah kesehatan mental. Kecemasan (anxiety) dan depresi (depression) mengalami peningkatan, setidaknya di Amerika Serikat. Di Indonesia, masalah tersebut juga tak terhindarkan. Belum ada data yang cukup dalam melihat dampak psikologis dari pandemi ini di Indonesia. Tapi, ada kecenderungan jika kita perhatikan dengan saksama lingkungan sosial sekitar kita. Beberapa, misalnya, mengalami obsesi kompulsif bahkan hingga paranoia.

Obsesi kompulsif yang nampak biasanya berupa sikap was-was; berlebihan dalam menggunakan hand sanitizer setiap usai memegang benda di sekitarnya dan paranoia muncul dalam bentuk ketakutan berlebih terhadap tubuhnya meskipun pada hal-hal sederhana, misalnya sakit lambung yang biasa ia alami, dalam pikirannya, disebabkan oleh virus atau hal lain yang dilebih-lebihkan.

Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan ini dan entah berakhir kapan juga memicu timbulnya harapan hidup yang rendah. Dalam Logoterapi disebut sebagai penghayatan hidup tanpa makna (meaningless life).

Lalu, bagaimana menjaga mental agar tetap sehat di masa pandemi Covid-19 ini?

Menemukan Makna Hidup di Tengah Pandemi

Hidup kita ini sebagaimana roda berputar; kadang di atas, kadang di bawah. Agar terus berputar, kita mesti terus bergerak. Aforisma ini diyakini sebagian besar orang. Dalam konteks oposisi biner, dalam hidup berarti ada suka – ada duka, ada senang – ada sedih, ada kaya – ada miskin, dan seterusnya. Artinya, manusia selalu dihadapkan pada dua pilihan yang amat berbeda walaupun tidak selalu ekstrem.

Namun, pada situasi tertentu seperti duka, susah, sedih atau sakit, beberapa orang menghayati hidupnya tanpa makna.

Adalah Viktor Emil Frankl, pendiri madzhab ketiga psikoterapi di Wina yang ia namakan Logoterapi, yang mengajak untuk hidup lebih optimistik. Lebih bermakna.

Makna hidup tetap harus diraih meski dalam kondisi tragis sekalipun. Selalu ada makna hidup meski dalam penderitaan.

Teori Frankl lahir dari pengalaman hidupnya yang pernah mendekam di Kamp konsentrasi. Di bawah Nazi, kamp konsentrasi merupakan ruang bagi penyiksaan dan pembunuhan masal (holocaust). Kamp konsentrasi adalah proyek dehumanisasi yang pernah dicatat sejarah.

Di sinilah orang bisa berkata bahwa kematian benar-benar di depan mata. Selama hidup di kamp konsentrasilah orang-orang itu merasakan puncak penderitaan. Begitu pula Frankl.

Ia pernah berujar bahwa kita memang tidak bisa mengubah keadaan tapi kita mempunyai kebebasan untuk menentukan sikap dari keadaan yang dialami. Kita bisa menentukan cara sendiri dalam menghadapi nasib.

Pandemi Covid-19, kita juga tidak dapat mengubahnya. Tapi, Kita memiliki kebebasan fundamental menjaga kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang secara naluriah ada dalam diri kita.

Meski dalam situasi sulit dan terbatas, Kita harus mencari dan menemukan makna hidup Kita sendiri. Kata Frankl, makna hidup setiap orang berbeda. Makna hidup bersifat unik, personal, spesifik, menantang, mutal dan universal. Artinya, setiap dari Kita dapat menemukan bahwa hidup yang berbeda dari peristiwa pandemi ini.

Jadilah, orang-orang yang hidup bermakna sampai pandemi ini berakhir umpama Frankl dan orang-orang kamp konsentrasi yang terus hidup dan dapat berbahagia usai kejatuhan Nazi. Dan mulailah menghayati hidup secara bermakna (meaningfull life). Bagaimanapun kita hari ini.

Frankl terinspirasi sebuah aforisma Nietzsche berbunyi: Sesuatu yang tak dapat membunuhmu, menguatkanmu.

Pengalaman dan aforisma itu pula yang turut mendasari lahirnya Logoterapi; sebuah pendekatan terapi untuk mengurangi atau menyembuhkan penyakit dengan jalan menemukan makna hidup.

Dalam logoterapi, kita bisa menemukan makna hidup dalam tiga nilai. Nilai-nilai ini bisa kita capai meskipun dalam masa pandemi ini. Pertama, nilai kreatif dan berkarya. Setiap kita mengerjakan sesuatu, saat kita produktif atau menjalankan kegiatan yang berguna bagi yang lain ada kebermaknaan hidup. Kita memang dihimbau untuk tetap di rumah dan menjaga jarak tapi itu tidak berarti kita tidak dapat melakukan apa-apa.

Kedua, nilai pengalaman atau penghayatan. Nilai ini mengajak kita untuk bersikap terbuka menerima apa yang disediakan dunia yang acap kali kita abaikan; desiran angin, suara rintik hujan, gemericik air, langit dan lainnya. Dalam kamp konsentrasi, Frankl baru merasakan bahwa hembusan angin adalah anugerah yang amat besar.

Pandemi ini tidak membatasi kita untuk “bercengkerama” dengan dunia yang telah disediakan Tuhan. Penghayatan ini meringankan beban psikologis.

Ketiga, nilai-nilai sikap. Sikap kita terhadap berbagai keadaan menentukan kebermaknaan hidup kita. Penerimaan terhadap hal tragis secara negatif hanya akan memicu amarah, kekecewaan dan frustrasi. Sebaliknya, penerimaan dengan sikap tabah dan pantang menyerah maka makna hidup berupa keteguhan hati dan keberanian menghadapi berbagai situasi akan kita raih.

Nampaknya, logoterapi Frankl lebih bersifat rohani dan spiritualistik tapi Frankl menolak. Katanya teorinya ini bersifat sekuler.

Akhmad Muzambik
Akhmad Muzambik
Tokoh JIB, Psikolog Literasi, dan CEO Pustakapedia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.