The Eustace Diamonds (1871) adalah salah satu karya Anthony Trollope yang lahir di masa keemasannya sebagai penulis, ketika ia telah mencapai usia 58 tahun. Novel ini muncul jauh setelah seri Barchester yang melambungkan namanya, dan berkisah pada periode yang sama dengan The Way We Live Now, sebuah satire tajam tentang kehidupan masyarakat Inggris di masanya. Trollope sendiri mengakui bahwa ia terinspirasi oleh The Moonstone dengan intrik pencurian permata, dan karakter Becky yang licik dari Vanity Fair.
Di pusat kisah ini berkilau sebuah kalung berlian yang menjadi rebutan. Lizzie Eustace, janda muda nan jelita dari Sir Florian Eustace, mengklaim kalung itu sebagai hadiah dari mendiang suaminya. Namun, Tuan Camperdown, pengacara keluarga Eustace, menentangnya, menyatakan bahwa kalung itu adalah pusaka keluarga yang tak dapat dimiliki Lizzie. Perseteruan pun tak terelakkan, dan Lizzie, dengan segala kecantikan dan kelicikannya, bukanlah lawan yang mudah ditaklukkan.
Lizzie adalah sosok yang keras kepala, manipulatif, namun menawan. Ia bagaikan Bartleby dalam karya Melville, teguh pada pendiriannya, membuat frustrasi orang-orang di sekitarnya, bahkan para pembaca sekalipun. Trollope dengan cerdik menciptakan karakter yang sulit untuk disukai, namun juga sulit untuk diabaikan.
The Eustace Diamonds bukanlah kisah tentang transformasi karakter yang dramatis. Lizzie, dengan segala kekurangannya, pada akhirnya menuai akibat dari perbuatannya. Orang-orang yang ia harapkan akan terperangkap dalam jaring pesonanya, justru menjauh. Novel ini adalah potret satirical tentang ambisi, keserakahan, dan konsekuensi dari pilihan hidup.
Keunikan The Eustace Diamonds terletak pada ketidakmampuan Lizzie untuk belajar dari kesalahan atau memahami perbedaan antara dirinya dengan orang lain yang bermoral tinggi. Trollope dengan brilian melukiskan karakter Lizzie yang terobsesi pada diri sendiri, seakan dunia berputar di sekelilingnya. Namun, fokus Trollope sebenarnya bukanlah pada Lizzie semata, melainkan pada posisi sosial dan pengaruhnya terhadap orang lain. Dengan gaya bercerita yang tenang dan fasih, Trollope menganalisis karakter Lizzie secara mendalam, menghasilkan potret yang begitu nyata dan mudah dikenali pembaca. Lizzie seolah melompat keluar dari halaman buku, menjadi cerminan dari saudara, sepupu, atau teman yang perilakunya sering membingungkan kita.
Bukan hanya Lizzie, hampir semua karakter dalam novel ini begitu hidup dan nyata, jauh dari citra klise. Frank, sepupunya; Lucy, kekasih Frank; Lord George—semuanya digambarkan dengan detail yang tajam, menyingkap kehidupan batin mereka dengan cara yang hanya bisa dicapai oleh sebuah novel. Trollope menghindari jebakan konvensi teater, menciptakan karakter dan alur cerita yang bebas dari keterbatasan panggung drama.
Meskipun sering dikritik karena kebiasaannya menyimpang dan mengulang diri, gaya bercerita Trollope memiliki keunikan tersendiri. Ia menumpuk detail demi detail, mengingatkan pembaca pada apa yang telah diketahui, lalu menambahkan informasi baru dalam konteks yang familiar. Hal ini menciptakan pemahaman yang mendalam tentang situasi, karakter, dan masyarakat kelas atas Victoria di Inggris.
Trollope mungkin tidak sepuitis Proust, namun ia menawarkan eksplorasi yang komprehensif tentang sebuah tempat dan waktu tertentu. Dengan pendekatan yang lebih serebral dan ironis, Trollope menciptakan karya yang kaya akan detail dan wawasan mendalam tentang kondisi manusia.
Anthony Trollope, sang penulis yang kerap terlupakan, memiliki gaya yang berbeda dengan para sastrawan Victoria lainnya. Ia tidak sekomikal Dickens atau sesatir Thackeray, namun ketajaman pengamatannya terhadap kondisi manusia terpancar melalui ironi yang halus. Trollope mengamati karakter-karakternya dengan jujur dan cerdik, namun selalu ada sentuhan pemaaf dalam sorot matanya.
Tokoh-tokoh berbudi luhur dalam karyanya tidak digambarkan sempurna, sementara mereka yang jahat pun tidak melulu karena kebodohan atau kelicikan. Trollope memberikan ruang bagi karakternya untuk bertumbuh dan belajar, beberapa di antaranya berhasil mengambil pelajaran berharga, sementara yang lain tetap terperangkap dalam kekeliruan.
Menariknya, Trollope sendiri menganggap menulis novel bukanlah sebuah bentuk seni yang luhur, melainkan sebuah pekerjaan rutin layaknya profesi lainnya. Pandangan ini terungkap dalam autobiografinya yang ia tulis beberapa tahun setelah “The Eustace Diamonds”. Sayangnya, Trollope tidak pandai mempromosikan karyanya, sehingga popularitasnya menurun seiring berjalannya waktu. Namun, nilai hiburan dan ketajaman observasi sosial dalam tulisannya tetap bertahan melintasi zaman.
Karakter-karakter ciptaan Trollope memiliki kedekatan dan keintiman yang jarang ditemukan dalam karya penulis lain. Gaya penulisannya yang ramah dan mendetail menciptakan dunia yang begitu nyata dan mudah dikenali pembaca. Ia tidak segan mengungkapkan kekurangan manusia, namun juga menunjukkan bahwa hidup terus berlanjut meskipun alur cerita telah usai. Lizzie Eustace, misalnya, muncul kembali dalam novel The Prime Minister, tidak berubah secara moral, namun lebih dewasa dan bijaksana. Inilah yang membuat Trollope begitu istimewa: ia adalah seorang novelis yang menulis untuk orang dewasa, dengan segala kompleksitas dan nuansa kehidupan mereka.