Seperti hujan, gunung juga punya waktu untuk meletus. Adakah waktu yang benar-benar tepat untuk menyatakan kapan manusia siap akan gunung yang tiba-tiba meletus? Inilah siklus yang tidak bisa ditentang. Kita hanya bisa melihat apakah gunung masih bisa tenang atau melakukan hal terbaik sebelum keadaan terburuk datang.
Sepekan sudah warga Karangasem, Bali, dihinggapi rasa cemas tak berkesudahan. Kabar Gunung Agung yang indah itu, katanya, tak lagi ramah. Gunung tertinggi di Bali itu siap memuntahkan panasnya, hingga informasi terkini berada pada level awas. Semua warga resah, gelisah, bahkan media sosial pun dipenuhi doa-doa. Ini membuat warga getun. Untungnya, Gunung Agung yang maha pemurah ini memberi kesempatan warganya bersiap-siap.
Ia bertahan menahan segala isinya sebelum semua warga menjauh dari kaki gunung bahkan lembah gunung. Sudah waktunya manusia jangan egois. Imbauan untuk menjauh, tidak mendaki, bahkan lekas mengungsi tak bisa dianggap remeh. Trauma psikologis 1963 juga turut membawa ringan langkah kaki para pengungsi. Mereka dipaksa meninggalkan rumah, ladang, ternak, bahkan bangunan yang belum rampung, dan menyelamatkan nyawa yang cuma ada satu.
Media sosial, facebook, instagram menjadi ramai, meski setiap harinya selalu ramai. Kabar gempa, pengungsian, cerita hujan abu, hingga kebakaran banyak bertebar di media sosial. Sayangnya, banyak yang mengabarkan hoaks. Katanya, Gunung Agung telah meletus, lengkap dengan foto-foto yang dicomot sembarang. Kabar serta surat tak bertuan ikut menjadi penyemangat hoaks. Entah… apa untungnya bagi penyebar kebohongan ini. Tidakkah mereka memiliki bahan mainan yang lain?
Media sosial semakin membuat riuh juga gundah, terutama mereka yang di rantauan dan memiliki sanak saudara di kampung halaman Karangasem, Bali. Banyak yang akhirnya memutuskan untuk tidak membaca media sosial. Sayangnya, mereka yang tidak membuka media sosial justru tak mendapat info terkini perkembangan Gunung Agung.
Bagai makan buah simalakama. Pilihan satu-satunya, tetap memantau media sosial dan memilih berita yang benar-benar terkonfirmasi kebenarannya. Dengan tenang dan melakukan evakuasi sebaik mungkin, mungkin bisa menyelamatkan mereka yang ingin selamat.
Satu per satu pengungsi datang membawa pakaian seadanya juga surat-surat berharga. Raut mereka beragam. Ada yang tersenyum karena masih diberi waktu berkemas-kemas, ada yang gusar sebab keluarga lainnya memilih tetap tinggal, dan paling banyak kaum tua yang sempat merasakan getir letusan Gunung Agung 1963 berkumpul dan berbagi cerita.
Saya tidak mampu melihat banyak, hanya rasa syukur yang mendalam. Inilah ciri orang Bali, seburuk apa pun takdir serta nasib menghampiri, mereka masih memiliki rasa syukur, masih mengucapnya dengan begitu lantang. “Untung kita masih diberi waktu bersiap-siap”, kalimatnya lantang terucap.
Ada pula cerita orang tua ringkih yang ternaknya dibeli murah. Ia menjual ternaknya tanpa prasangka. Sang pembeli pun meraup untung tiada kira. Sapi yang biasanya dijual paling murah 10 hingga 12 juta rupiah kini dalam situasi genting dihargai 6 juta saja. Nenek ini tak menyesal menjualnya murah, sebab ia lebih berpikir ternak-ternak kesayangannya akan selamat pada tempat yang lebih baik. Jika ia memaksa membawa ternak-ternaknya, tubuhnya bisa jadi tak selamat.
Di tempat pengungsian darurat, dindingnya hanya kain, cukup melindungi diri dari panas dan tetesan hujan, serta petak-petak yang dibagi bersama ribuan pengungsi lainnya, di tempat inilah manusia kembali menyadari bahwa mereka tidak memiliki apa-apa. Mereka tidak terbagi berdasarkan kasta maupun warna. Status sosial cepat memudar, si kaya dan miskin tak memiliki batasan. Mereka membaur dalam doa yang sama, selamat dari bencana.
Trauma psikologis yang membuat tenda-tenda pengungsian menjadi haru. Mereka berlinang air mata mengingat 54 tahun lalu Bali luluh lantak sebab Gunung Agung yang murka. Panasnya menelan ribuan jiwa. Banyak kehilangan yang tidak bisa diobati hingga kini. Sungai lahar telah membuat jasad-jasad tak bernama mati sia-sia. Air putih serta sesuap nasi jadi barang paling penting untuk menyelamatkan yang bertahan hidup. Kuasa alam, kuasa yang paling tak bisa ditentang.
Pemerintah, badan terkait, serta masyarakat bahu membahu membawa pengungsi meninggalkan daerah rawan bencana untuk sementara. Bantuan makanan, pakaian, pelayanan kesehatan menjadi prioritas. Inilah pengamalan Pancasila yang paling nyata yang harus termuat dalam soal-soal CPNS yangs sedang merebak. Gunung Agung sedang menerka, apakah manusia masih mau membantu sesamanya?
Nyatanya, kemanusiaan kita belum sepenuhnya raib. Puluhan gempa-gempa kecil sebagai pertanda yang, konon, nyaris sama saat 1963 itu. Binatang-binatang gunung mulai turun, serupa dengan sebelum Gunung Agung meletus 54 tahun silam. Adakah yang masih sangsi untuk tak lekas mengungsi?
Gunung Agung memiliki pandangan yang meneduhkan. Cerita pendaki tak pernah buruk. Selalu ada tantangan, ada keindahan yang luar biasa sehingga jalur pendakian Gunung Agung tak pernah sepi. Sejak 54 tahun silam cerita meletusnya Gunung Agung selalu menarik diperdengarkan kembali.
Menurut laporan Kepala Bagian Vulkanologi Direktorat Geologi Djajadi Hadikusumo ke UNESCO, letusan Gunung Agung 1963 itu telah menewaskan 1.549 orang. Sekitar 1.700 rumah hancur, sekitar 225.000 jiwa kehilangan mata pencaharian, dan sekitar 100.000 jiwa harus dievakuasi dari zona bahaya. Dampak susulan berupa banjir lahar kemudian menghancurkan perkampungan di lereng selatan Gunung Agung dan menewaskan 200 orang. Delapan jembatan hancur. Karangasem terisolasi total. Pasokan bahan pangan dan obat-obatan terpaksa dilakukan melalui laut (Kompas.com).
Tak hanya wilayah Karangasem saja yang lumpuh, bencana itu juga memukul seluruh Pulau Bali. Sebanyak 316.518 ton produksi pangan hancur. Bencana itu diperparah dengan gempa bumi yang melanda Bali pada 18 Mei 1963, lalu Gunung Batur pun meletus pada September 1963 hingga Mei 1964.
Tak banyak anak muda yang tahu bahwa sebelum Bali seindah saat ini, Bali pernah terpuruk berkali-kali. Bencana alam 1963 salah satunya, setelah itu menyusul 2 tahun kemudian (1965), pembantaian massal terjadi di Bali. Pembantaian 1965 meninggalkan dendam sejarah yang sampai saat ini belum jelas muaranya. Banyak wanita yang tiba-tiba jadi janda. Laki-laki dituduh berdasarkan suara angin. Anak-anak harus hidup mandiri tanpa kedua orangtua. Pergolakan politik benar-benar melumpuhkan Bali.
Barisan Tani Indonesia, organisasi di bawah payung Partai Komunis Indonesia yang sedang memperjuangkan reformasi agraria, mendapat sambutan luas di kalangan masyarakat Bali yang disesaki penderitaan. Gerakan itu akhirnya berujung pada pembantaian massal yang menewaskan 80.000 jiwa. Tameng 1965 itu tak memberi Bali jeda untuk kehilangan.
Di tengah kehancuran dan kekacauan, warga di lereng Gunung Agung kembali ke desanya. Hanya setahun desa-desa itu dikosongkan. Kuburan massal korban letusan di Badeg Dukuh dibongkar dan warga yang selamat kemudian menggelar upacara besar sebelum mengubur kembali jasad korban.
Letusan yang dulu dianggap murka dewa-dewa kini dipandang sebagai anugerah. Batu dan pasir yang dimuntahkan oleh letusan menjadi penyangga utama pembangunan hotel, restoran, dan vila-vila yang menopang pariwisata Pulau Bali. Abu vulkanik yang pernah menyelimuti nyaris seluruh pulau ini juga disyukuri sebagai penyubur alami. Warga di lereng Gunung Agung, bahkan Bali secara menyeluruh, seolah tak pernah mengalami petaka yang menewaskan ratusan leluhur mereka.
Anak-anak muda hanya mengerti kisah itu samar-samar. Yang mereka pahami bahwa Bali memang ditakdirkan indah dan keindahan itu tercipta begitu saja. Bukankah ini satu bentuk peringatan bahwa alam tak bisa diajak main-main. Mau diubah menjadi apalagi Bali ini?
Trauma 1963 benar-benar untuk mengingatkan, letusan yang hampir berlangsung selama setahun itu sudah waktunya dihayati sebagai panggilan bahwa alam Bali patut disayangi. Bahkan menurut penuturan salah satu warga sebelum meletus tahun 1963, Gunung Agung sempat meletus 50 tahun sebelumnya. Mereka menyebutnya dengan “gejer gede” atau getaran dahsyat.
Apakah mungkin 50 tahun adalah angka yang menjadi siklus meletusnya Gunung Agung? Entahlah…