Rabu, Oktober 9, 2024

Hikayat Planet Plastik [Catatan Hari Bumi 2018]

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.

Ketika tulisan ini mulai saya tuliskan, saya memandangi sekeliling seluruh isi ruangan. Ada setidaknya 40 barang yang terbuat dari plastik, seluruh atau sebagiannya. Kalau termasuk yang ketika dibeli juga dibungkus oleh plastik, jumlahnya bertambah sekitar 15 lagi.  Di ruangan yang luasnya tak lebih dari 20 meter persegi ini, plastik benar-benar dominan.

Dominasi plastik sebagai materi memang luar biasa dalam kehidupan manusia modern. Kita sangat terbiasa dengan barang-barang yang dibuat oleh plastik. Tentu ini juga terkait dengan materi asal plastik yang merupakan hasil ikutan dari kehausan manusia modern atas bahan bakar minyak. Tetapi, seandainya proses kimiawi lebih jauh tak membuatnya menjadi barang yang kuat, tahan lama, dan mudah dibentuk dan dimodifikasi menjadi apa pun, tentu plastik tak bakal jadi betul-betul populer seperti sekarang.

Lantaran industri, dan kita para konsumen, sangat diuntungkan dengan sifat-sifat plastik itu, maka produksi dan konsumsi plastik terus saja meningkat secara eksponensial. Sangat jarang terlintas di benak sebagian besar manusia akibat dari produksi dan konsumsi itu. Padahal, di tahun 1995—ketika konsumsi plastik belumlah semassif sekarang—saja Jeffrey L. Meikle telah menuliskan peringatan soal dampak sosial budaya dan (sedikit soal) lingkungan dari plastik lewat American Plastic: A Cultural History.

Kitab yang sangat bagus itu ditulis oleh Meikle yang sangat mumpuni secara teknis untuk bicara soal plastik, tetapi secara sengaja ditujukan kepada pembaca awam. Halaman-halaman awal buku itu bercerita tentang semangat utopian dalam pencarian dan optimisme luar biasa ketika plastik ditemukan di tahun 1907. Buku itu kemudian beranjak menceritakan bagaimana plastik kemudian menjadi materi yang mendominasi pembuatan material, terutama material pembungkus segala sesuatu.

Ada mengingat perasaan ganjil yang saya rasakan ketika membaca buku itu di penghujung 1990-an. Penulisnya seakan terus bergulat dengan ambiguitas emosi. Perasaan pertama jelas hendak merekam perasaan puas umat manusia yang berhasil menaklukkan alam dengan menciptakan materi yang lebih unggul daripada bentuk apa pun yang disediakan alam.

Plastik membentuk dan membungkus alam. Tetapi, saya juga jelas mendeteksi ketegangan dan kekhawatiran yang terus naik secara perlahan, bahwa ini semua akan berakhir dengan bencana. Plastik bakal mencekik Bumi hingga kehabisan nafas.

Setahun kemudian terbit buku Plastic: The Making of a Synthetic Century karya Stephen Fenichell. Buku ini menyatakan bahwa plastik adalah penanda terpenting abad ke-20. Sama dengan yang disajikan dalam buku Meikle, kitab ini juga menjadi semacam ensiklopedi atas apa saja yang dicapai oleh plastik, tetapi dia menyusun ceritanya dari sudut pandang aktor. Para ilmuwan, pekerja seni, politisi, dan konsumen adalah aktor-aktor yang ia hadirkan untuk melihat plastik.

Yang ia ceritakan itu memberi kesadaran kepada para pembacanya bahwa plastik bukan saja dibentuk oleh para aktor itu, melainkan juga membentuk para aktor itu (baca: kita semua). Saya tak ingat kritik yang diajukan Fenichell, tetapi tampaknya dia memang cuma mau bilang bahwa abad ke-20 adalah Abad Plastik.

Saya tak ingat membaca apa pun buku tentang plastik setelah kedua buku itu. aya juga tak mendeteksi gerakan sosial—termasuk gerakan lingkungan—yang cukup serius soal plastik. Tentu, ada cukup banyak perhatian soal sampah, termasuk dan terutama soal pemilahan sampah organik dan anorganik yang dilakukan di seluruh dunia.  Tapi, kekhawatiran bahwa plastik akan mencekik Bumi, seperti yang saya deteksi dari buku Meikle, tampaknya tak cukup kuat.

Lalu, muncullah karya besar Susan Freinkel di tahun 2011, Plastic: A Toxic Love Story. Buku yang diganjar berbagai penghargaan itu mengingatkan kembali umat manusia pada persoalan yang terlalu dianggap enteng. Kita semua bukan saja menyukai plastik, melainkan sudah seperti jatuh cinta habis-habisan terhadap materi ini. Dan itu seperti cinta tanpa syarat. Kita memeluk erat plastik, dan tak rela berpisah dengan segala sifat “baik”-nya yang kompatibel dengan kehidupan modern.

Tetapi, Freinkel menampar pipi kita semua dengan satu pesan kuat: plastik bukanlah pasangan cinta yang baik. Ia bertutur tentang 8 benda plastik yang kita cintai, termasuk sisir, kursi, dan botol minuman. Setelah di bagian awal dia menuturkan bahwa penemuan plastik di awalnya disambut sebagai jalan keluar dari pemanfaatan sumberdaya alam yang langka, dia kemudian membawa pembaca kepada konsekuensi yang tak pernah dipikirkan oleh para penemu plastik itu. Plastik mulai digambarkan seperti pacar yang banyak tingkahnya.

Semua masalah terkait plastik, yaitu dibuat dari bahan bakar minyak, mengandung racun dari bahan aditif, meracuni laut, berbahaya bagi hewan liar, sangat sedikit yang didaur ulang, dan seterusnya. Freinkel tidak hanya berbicara soal dampak lingkungan, melainkan juga kondisi para pekerja Tiongkok yang bekerja di pabrik-pabrik yang membuat kita nyaman dengan produk plastik.  Dan, seperti yang diketahui juga dari sumber-sumber lain, kondisi itu jauh dari nyaman.

Ketika Freinkel bicara soal dampak kesehatan, rasanya mustahil pembacanya tidak mual. Detail tentang apa yang terjadi di dalam tubuh manusia—termasuk bayi yang ruang neonatal-nya dipenuhi plastik—begitu nyata dan mengganggu pikiran. Plastik adalah pacar umat manusia yang mengerikan.

Dari tahun yang sama ada juga buku penting tentang plastik yang diterbitkan, namun baru saya baca beberapa tahun sesudahnya.  Plastic Ocean: How a Sea Captain’s Chance Discovery Launched a Determined Quest to Save the Oceans ditulis bersama oleh Charles Moore dan Cassandra Phillips.

Seingat saya, inilah buku pertama yang bertutur tentang fenomena yang mengerikan yang dikenal sebagai the Great Pacific Garbage Patch. Charles Moore adalah kapten kapal yang menemukan bahwa sampah plastik ternyata berkumpul dalam jalur tertentu sepanjang ribuan kilometer di Samudera Pasifik.

Dengan bantuan Phillips, seorang penulis profesional, Moore menyajikan pemandangan mengerikan di samudera itu. Dia menghadirkan kengerian yang ia lihat—saya ingat bahwa deskripsinya yang mengerikan itu tidak berlebihan, setelah menyaksikan sebuah dokumenter di National Geographic Channel—dengan tepat, membincangkan dampaknya terhadap laut dan fauna yang tinggal di dalamnya, juga dampaknya pada manusia yang menkonsumsi sebagian fauna tersebut.

Dia melacak ke hulu permasalahan, termasuk mendiskusikan apa saja kandungan berbahaya di dalam plastik. Saya ingat perasaan seperti mabuk laut ketika membaca buku ini.

Tetapi, baik Freinkel maupun Moore dan Phillips memang hanya bertujuan untuk menggambarkan betapa dunia sedang berada dalam krisis lingkungan dan kesehatan lantaran plastik. Mereka tidak beranjak jauh ketika bicara soal solusi. Buat Freinkel, permasalahan genting itu tidak membuatnya menyarankan umat manusia segera putus hubungan dengan pacar kita bersama, plastik. Ia tahu itu tidak mungkin.

Dia bicara soal bagaimana menjinakkan keganasan sang pacar, secara perlahan menjauhinya, lalu menggandeng pacar lain yang lebih baik ketika dia sudah ditemukan. Moore dan Phillips pun tak detail menjelaskan bagaimana kengerian di bagian utara Samudera Pasifik itu bisa dihentikan.

Tugas itu jatuh ke tangan Beth Terry, yang mengedukasi dirinya habis-habisan tentang plastik—termasuk dengan membaca kedua buku yang saya sebut belakangan—ketika terbaring di rumah sakit setelah menjalani operasi. Hasilnya adalah Plastic-Free: How I Kicked the Plastic Habit and How You Can Too yang terbit di pertengahan 2012.  Ia adalah aktivis lingkungan yang mengelola blog terkenal My Plastic-Free Life. Kalau blognya berisi catatan terserak tentang bagaimana ia habis-habisan menghindari plastik di dalam kehidupannya, bukunya mendeskripsikan secara lebih terstruktur.

Di dalam buku itu Terry memberikan seluruh daftar dan inforgrafis yang bisa menjadi referensi andal di dalam menekan penggunaan plastik. Ia mengajari pembacanya bagaimana membuat gerakan di tingkat komunitas dan yang lebih luas lagi. Sejumlah individu yang disebutnya plastic-free heroes dia buatkan profilnya, membuat siapa pun bisa mengambil keteladanan dari hidup mereka.

Buku ini juga berisikan panduan psikologis untuk tidak merasa putus asa di hadapan masalah lingkungan yang mengepung, juga untuk melepaskan diri dari perasaan bersalah atas perilaku kita terhadap plastik di masa lampau.

Saya tak pernah menjumpai buku tentang panduan “gaya hidup” ramah lingkungan sebaik dan sedalam yang ditulis Terry. Saya terutama terpesona pada cara bagaimana ia menjelaskan perjalanan ruhani dari perasaan tak berdaya menjadi berdaya, bahkan digdaya, di hadapan permasalahan plastik.

Ada beberapa buku lagi yang dibuat dengan tujuan memberikan panduan seperti yang dituliskan Terry, termasuk yang Life Without Plastic: The Practical Step-by-Step Guide to Avoiding Plastic to Keep Your Family and the Planet Healthy karya Chantal Plamondon dan Jay Sinha yang terbit di akhir tahun lalu. Tetapi, buat saya, buku Terry masihlah yang paling unggul. Maka, kalau hanya ada satu buku panduan yang bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dipreteli setiap babnya, dibuat menjadi infografis yang lebih banyak lagi, inilah dia.

Bagaimanapun Indonesia ada di tengah-tengah masalah ini. Plastik asal Indonesia adalah nomor dua terbanyak yang mengotori Samudera Pasifik. Kalau Kapten Moore memungut sembarang plastik di perjalanannya mengikuti ribuan kilometer sampah di tengah samudera itu, peluangnya memungut sampah dari Indonesia sangatlah besar.

Jauh-jauh hari sebelum Hari Bumi 2018, Indonesia telah menjadi sorotan dunia. September lalu kasus ini mencuat, dan membuat Indonesia berjanji menggelontorkan US$1 miliar per tahun untuk menangani dosa kolektif kita mencemari Pasifik. Tujuannya, agar di tahun 2025 kita bisa mengurangi 70% sampah plastik kita yang mengambang di lautan.

Awal Maret lalu, seorang penyelam asal Inggris, Rich Horner, mengunjungi Nusa Penida, Bali, lalu nyemplung ke Manta Point.  Di situ dia bertemu dengan banyak makhluk laut menarik, termasuk, tentu saja, pari manta. Tetapi, dia mendapat bonus bertemu banyak “makhluk” laut lainnya: sampah plastik. Kantong, botol, sedotan, gelas, dan lembaran plastik bertebaran di mana-mana.

Memang, Bali mengenal musim sampah di lautan sekitarnya, dan itu sangatlah menyedihkan. Gerakan pembersihan sampah di pantai, bahkan pelarangan plastik di seantero Bali tetap tak akan menyelesaikan masalah ini, lantaran sampah itu datang dari berbagai tempat, bak turis yang berkunjung ke sana.

Selang dua minggu kemudian, Indonesia digegerkan oleh temuan bahwa mikroplastik dalam jumlah tertentu ditemukan di dalam merek-merek air minum dalam kemasan yang dijual di sini. Sempat membuat geger beberapa hari, lalu hilang dari kesadaran kita semua. BPOM sendiri mengeluarkan pernyataan yang “menenangkan”, yaitu bahwa belum ada studi yang secara konklusif menjelaskan dampak kesehatan bagi manusia. Namun, tentu saja, belum ada hasil penelitiannya, bukan berarti tak ada bahaya yang mengintai.

Mikroplastik telah disinggung oleh Freinkel, juga Moore dan Phillips.  Mereka mengingatkan kemungkinan bahayanya. Penelitian dalam skala kecil, yaitu di industri bir di Jerman, menemukan bahwa di seluruh sampel merek bir mikroplastik telah ditemukan. Itu di tahun 2014, tiga tahun setelah buku Freinkel terbit.

Setahun kemudian, diluncurkan studi yang jauh lebih besar, dan ditemukanlah fakta bahwa 83% air minum di seluruh dunia mengandung mikroplastik.

Di Amerika Serikat bahkan angkanya mencapai 94%. Jadi, kalau kemudian studi di air minum dalam kemasan Indonesia menemukan hal yang sama, itu tak mengherankan. Kalau di kemudian hari ditemukan bahwa sebagian besar air minum lainnya juga mengandung mikroplastik, itu juga bukan sesuatu yang aneh.

Plastik memang tidak biodegradabel. Karenanya, alih-alih benar-benar terurai di alam, ia hanya menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, semakin kecil, hingga menjadi mikroskopik. Tetapi, persis di situ masalahnya: tak kelihatan bukan berarti tidak ada, dan belum ada hasil penelitian tentang dampak kesehatannya bukan pula berarti tak ada dampak itu. Dan itu berarti kita tak bisa berpangku tangan hingga seluruh masalahnya tampak jelas.

Mendekati Hari Bumi 2018, kita kembali dibuat terkejut dengan makalah Lebreton dkk yang bertajuk Evidence That the Grate Pacific Garbage Patch is Rapidly Accumulating Plastic di jurnal Nature. Makalah yang terbit di akhir Maret lalu mengumumkan bahwa volume sampah plastik Pasifik itu setidaknya 4 kali lipat, bahkan hingga 16 kali lipat, dari yang selama ini diperkirakan.

Tema Hari Bumi 2018, Mengakhiri Polusi Plastik, menurut saya, tak bisa lebih tepat waktu lagi. Kita perlu lebih cerdas dalam mengelola sampah plastik—tak seperti sekarang di mana kita mendaur ulang 9%-nya, membakar 12%-nya, dan membiarkan 79% plastik berserakan mengotori Bumi.

Selamat Hari Bumi 2018.

Kolom terkait:

Hari Bumi dalam Kesadaran Antroposene

Dunia Terancam Sampah Plastik*

Sampah adalah Wajah Kita

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.