Penggusuran di kawasan-kawasan yang diklaim “ilegal” tak bisa dilihat sebagai kasus-kasus tunggal. Apalagi dengan membawa alasan-alasan yang terdengar masuk akal: normalisasi kali, melindungi warga dari banjir, atau memanusiakan warga dengan merelokasi ke rusun.
Catatan berikut ini menunjukkan, bahwa menggusur dan menyingkirkan adalah paradigma atau watak kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tak pernah berubah. Bahkan dalam beberapa kasus makin buruk.
Catatan pertama adalah terbitnya Peraturan Gubernur tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka. Pergub Nomor 228 tahun 2015 yang ditandatangani Gubernur Basuk Tjahaja Purnama tepat pada peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015, itu hanya membolehkan kegiatan unjuk rasa di tiga lokasi: Parkir Timur Senayan, gedung DPR/MPR, dan Silang Selatan Monas.
Itu artinya, unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Balaikota, Bundaran Hotel Indonesia, Mabes Polri, Polda Metro Jaya atau lokasi lain yang selama ini kerap menjadi sasaran unjuk rasa, dilarang.
Idenya seperti Singapura, yang membolehkan unjuk rasa di sebuah lokasi yang disebut “Speakers’ Corner” di Taman Hong Lim.
Peraturan ini mengejutkan dan mendapat reaksi banyak pihak. Sebab, Pergub DKI itu melabrak Undang-Undang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tahun 1998 yang diperjuangkan susah payah selama reformasi. Bila UU hanya mengatur “lokasi yang dilarang”, peraturan Gubernur Basuki justru mengatur “hanya lokasi yang boleh”.
UU hanya melarang unjuk rasa di lingkungan Istana Presiden (bukan di tempat umum di depannya), tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan, bandara, stasiun, terminal, dan “obyek vital nasional”. Di luar itu, diizinkan.
Karena tekanan publik dan pelanggaran kaidah hukum tata negara yang nyata, Pergub yang hendak menggusur demonstran itu lalu direvisi.
Penggusuran berikutnya dilakukan terhadap pengendara motor dengan menyingkirkannya dari sejumlah ruas jalan protokol melalui Pergub 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor.
Alasannya: biang kesemrawutan dan kecelakaan. Alasan pertama sama sekali tidak bisa diukur. Parameter apa yang digunakan untuk menentukan sebuah kondisi semrawut dan tidak semrawut?
Dengan menggusur motor dari jalan protokol seperti MH Thamrin dan Merdeka Barat—tapi tetap dapat beroperasi di jalan-jalan lain—apakah “kesemrawutan” yang ditimbulkan oleh motor lantas hilang di Jakarta?
Alasan kedua: kecelakaan lalu-lintas. Ini alasan yang bisa diukur, tapi tidak relevan. Memang, 56 persen kecelakaan di jalan raya pada 2015 melibatkan sepeda motor. Tapi bagaimana menghubungkan logika pelarangan (hanya) di dua ruas jalan protokol terhadap usaha penurunan kecelakaan sepeda motor. Apakah tidak lebih efektif bila motor dilarang sama sekali di semua ruas jalan, agar angka kecelakaannya nol persen?
Ini belum menghitung faktor hilangnya akses dan pendapatan ojek, jasa kurir, dan kesulitan para karyawan (rendahan) yang bekerja di gedung-gedung sekitar jalan itu.
Sebagai gantinya—yang dianggap solusi atas masalah yang diciptakan sendiri—Pemprov DKI menyediakan transportasi bus. Bila tujuannya memang ingin mengurangi volume kendaraan dan menggantinya dengan angkutan umum, bukankah jauh lebih efektif juga melarang mobil dan meminta penumpangnya berganti bus?
Hanya tiga bulan, Peraturan Gubernur DKI ini direvisi menjadi Pergub 141 Tahun 2015, yang membolehkan motor melintas di jalan protokol antara jam 11 malam hingga jam 6 dini hari. Jam-jam sepi yang justru membuat motor bisa memacu kecepatan secara maksimal dan risiko kecelakaan menjadi semakin tinggi.
Revisi Peraturan Gubernur ini justru menunjukkan semakin lemah alasan rasional di balik beleid ini.
Apalagi meledaknya populasi motor di kota-kota besar seperti Jabodetabek (4.500 unit per hari) adalah respons publik atas masalah transportasi umum. Masyarakat mencari solusi-solusi individual akibat puluhan tahun absennya kebijakan transportasi massal. Tentu saja ini menimbulkan masalah baru. Namun, masalah baru akibat akumulasi masalah selama puluhan tahun itu, hendak diselesaikan dengan jalan pintas.
Logika yang sama terjadi pada sejarah terbentuknya kampung-kampung kumuh yang merupakan akumulasi dari masalah sosial dan ekonomi yang kompleks. Namun, usaha menghapuskannya dilakukan dengan metode-metode instan yang berdarah-darah.
Padahal, motor yang distigma sebagai “biang kesemrawutan” itu sendiri posisinya setara dengan mobil: sama-sama pembayar pajak.
Aneka pajak terkait kendaraan bermotor di DKI Jakarta mencapai Rp 12,3 triliun, atau 40 persen dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2015. Akumulasi pajak kendaraan ini (termasuk bea balik nama dan pajak bahan bakar) jauh lebih besar dari perolehan Pajak Bumi dan Bangunan yang hanya Rp 6,7 triliun.
Pemprov DKI tampak hipokrit dan diskriminatif: mau pajaknya, emoh motornya. Apalagi jumlah motor saat ini mencapai 13 juta unit, sedangkan mobil hanya 3,2 juta.
Jalan Umum Berbayar
Peraturan diskriminatif terhadap pemotor dengan menghilangkan hak-hak mereka terhadap akses jalan umum tertentu sejatinya terkait dengan rencana ambisius Electronic Road Pricing (ERP), alias “jalanan umum berbayar”.
Negara yang dicontoh adalah (lagi-lagi) Singapura.
Kebijakan “jalan umum berbayar” juga memiliki watak penggusuran yang sama: yang tak sanggup bayar dilarang lewat. Hanya saja kali ini sasarannya bukan warga pinggir kali, demonstran, atau pemotor, melainkan pemilik mobil pribadi.
Idenya adalah mengurangi kemacetan. Sepintas terdengar masuk akal. Tapi, seperti halnya 3 in 1 atau ganjil-genap, tak ada kemacetan yang dikurangi. Kemacetan hanya digeser dari satu titik atau ruas jalan tertentu, ke ruas jalan lain. Terutama karena 3 in 1 dan ganjil-genap selalu mengecualikan taksi yang notebene adalah angkutan umum yang sangat pribadi.
Bayangkan, mobil berplat ganjil yang diisi 7 orang tetap akan ditilang atau kalah dengan taksi yang berisi 1 orang di tanggal genap, hanya karena taksi disebut angkutan “umum”.
Nah, kini ditambah ERP yang logikanya lebih kacau lagi: seleksi kendaraan yang diprioritaskan, bukan ditentukan oleh banyak sedikitnya penumpang, tapi oleh mekanisme harga.
Maka, Lamborghini dua pintu dengan satu penumpang, akan melenggang di jalanan umum (yang dibangun dari pajak bersama), hanya karena sanggup membayar dibanding, misalnya, Panther yang dipakai antar-jemput sekolah, meski berisi tujuh orang anak.
Sulit disangkal bahwa konsep “jalanan umum berbayar” adalah pajak ganda bagi warga yang sudah membayar pajak kendaraan. Alih-alih mendapat ruas jalan tambahan, tax payer justru menghadapi beban baru. Mereka pun masih harus menghadapi tol dalam kota yang tarifnya terus naik.
Padahal, setelah periode tertentu, jalan tol yang telah balik modal dan fungsinya tak lagi sebagai jalan alternatif semestinya digratiskan. Sebagai jalan umum untuk merespons pertambahan populasi dan volume kendaraan, perawatan jalan ini dibiayai oleh angggaran negara dari pajak kendaraan. Bukan dengan tarif khusus.
Konsepnya BOT: Build-Operate-Transfer. Pertama, dibangun oleh swasta atau BUMN, lalu dioperasikan dengan tarif hingga mencapai keuntungan dan periode waktu tertentu, dan terakhir harus dialihkan ke negara sebagai aset publik.
Tapi bukan itu yang terjadi. Meski jalan tol setiap hari macet (sebagai tanda bahwa ia telah mencapai fase jalan utama, bukan lagi sekadar jalan alternatif) dan setelah lebih 25-30 tahun, statusnya masih saja jalan berbayar.
Kini, ditambah lagi dengan ERP yang justru hendak menyulap jalanan umum menjadi jalanan berbayar. Pajak berlipat ganda.
Di Singapura atau negara lain, ERP atau tarif parkir premium diberlakukan sebagai jurus pamungkas setelah negara menyediakan sistem transportasi umum massal yang terkoneksi. Singkat kata, alasan untuk memiliki kendaraan pribadi harus dihilangkan dulu.
Setelah alasan memiliki kendaraan pribadi hilang, barulah diberlakukan dis-insentif seperti pajak kendaraan atau asuransi yang tinggi seperti di Jerman. Bila belum cukup, seleksi terhadap beban lalu lintas dilakukan melalui pembatasan tahun mobil atau tarif parkir premium di sejumlah lokasi. Atau melalui aturan-aturan larangan parkir di tempat-tempat tertentu yang membuat pengguna kendaraan pribadi menjadi lebih repot dari pengguna angkutan umum, meski mereka punya uang untuk bayar parkir.
Dengan demikian, penerapan “jalanan umum berbayar” sesungguhnya adalah jurus pamungkas—kalau tidak bisa disebut langkah frustasi—yang diterapkan setelah semua dis-insentif diberlakukan.
Lantas, apakah kebijakan tranportasi kita sudah menghilangkan alasan orang untuk terus membeli kendaraan pribadi?
Kuda Delman
Maret 2016, Gubernur Basuki menggusur delman wisata dari kawasan Silang Monas dengan alasan banyak kuda yang terserang penyakit berbahaya. Dari 31 kuda, 28 ekor mengandung parasit (strongyloides) yang disebut-sebut bisa menular melalui kulit dan menyerang sistem syaraf manusia. Risikonya: mati.
Diteror seperti itu, media manggut-manggut dan tak melengkapi beritanya dengan mencari kasus, misalnya, kusir delman atau keluarganya yang sakit atau meninggal dunia akibat penyakit kuda. Tak ada keresahan umum yang memicu keluarnya kebijakan ini.
Tapi baiklah, mencegah tentu lebih penting sebelum tragedi terjadi. Tapi mari kita geledah logika kebijakan ini:
Karena mengandung parasit, kuda-kuda dan delman dipinggirkan dari Monas ke Ragunan untuk diobati. Bagi kuda yang sembuh, harus tetap di Ragunan atau Ancol. Sedangkan yang tak bisa sembuh, akan dimusnahkan.
Di sinilah letak masalahnya. Bila benar alasan penggusuran delman karena penyakit, semestinya setelah sembuh delman-delman wisata ikon Betawi ini boleh kembali ke kawasan Silang Monas yang notabene hanya beroperasi di malam hari atau hari-hari libur. Dengan menggusurnya ke Ragunan dan Ancol, alasan semula bahwa kuda berpotensi mengancam kesehatan masyarakat, memiliki logika yang tidak konsisten bahkan berbahaya. Ini sama dengan atas nama keamanan nasional, menjauhkan sebuah bom dari depan Istana ke pasar Tanah Abang atau Pasar Baru.
Ya, Gubernur Basuki telah memindahkan 31 delman yang pernah terkena parasit mematikan ke pusat-pusat populasi wisata yang jauh lebih padat dibanding Silang Monas. Tahun 2015 lalu, pengelola Ragunan melaporkan jumlah pengunjungnya mencapai 5,1 juta orang atau 13 ribu pengunjung per hari, yang merupakan rekor terbanyak dalam sejarah Kebun Raya Ragunan.
Bagaimana dengan Ancol? Di musim libur, jumlah wisatawan bisa mencapai 106 ribu orang, dan sebagian besar anak-anak.
Padahal di Time Square, jantung kota New York pun, delman tetap diizinkan beroperasi untuk wisata. Kemegahan dan image gedung (eks) Lehman Brothers sama sekali tak terganggu dengan hadirnya kuda-kuda dan delman itu. Sementara kini di sekitar Monas sisi Merdeka Barat, Anda tak lagi bisa melihat delman dan sepeda motor.
Yang sudah melipir ke pinggir pun tetap dikejar oleh Pemprov DKI.
Januari 2016, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merazia becak-becak yang masih beroperasi di wilayah DKI Jakarta. Pembatasan becak memang sudah ada sejak Mei 1970 ketika Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan instruksi penghentian produksi dan datangnya becak baru (zero growth).
15 tahun kemudian, tepat 1 Januari 1985, Gubernur Suprapto mencanangkan Jakarta bebas becak dengan mengirim 5.000 becak ke dasar Teluk Jakarta sebagai rumpon ikan. Gubernur Wiyogo Atmodarminto menggenapinya lewat Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum.
Sejak itu, hampir setiap gubernur membuat perda yang mengukuhkan larangan becak beroperasi di Jakarta, hingga Perda terakhir Nomor 8 Tahun 2007. Inilah dasar yang digunakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
Tapi sebelum itu, saat krisis ekonomi, pada Juni 1998 Gubernur Sutiyoso mengizinkan secara lisan pengoperasian becak di Jakarta. Tapi izin itu hanya berlaku 6 hari, dari 24-30 Juni. Sebuah terobosan kebijakan yang ganjil. Seolah dalam tempo 6 hari, ekonomi rakyat sebagai penarik, becak sudah pulih dari krisis moneter. Sementara Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang menjadi “pusat rehabilitasi” aset-aset sektor finansial bermasalah saja umurnya bertahan sampai 6 tahun.
Juli 2000, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan tukang becak yang membolehkan becak beroperasi di lokasi terbatas seperti permukiman dan pasar. Namun meski kalah di pengadilan, Gubernur DKI dari Sutiyoso hingga kini tetap merazia becak dan melarangnya.
Sama dengan nelayan Muara Angke yang harus menelan kenyataan menang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tetapi proyek reklamasi jalan terus. Juga warga Bukit Duri yang memenangi putusan sela dan sedang berproses di PTUN, tapi penggusuran dilakukan.
Bunyi pasal larangan becak di Peraturan Daerah bahkan terdengar seperti urusan bahan peledak: “Setiap orang atau badan dilarang membuat, merakit, menjual, dan memasukkan, serta mengoperasikan dan menyimpan becak.”
Seingat saya ada becak dipajang di beberapa food court yang didesain tradisional ala kampung-kampung di mal-mal tertentu. Apakah ini termasuk delik “menyimpan becak”?
Sebelum dikejar-kejar belakangan ini, becak diberi kelonggaran beroperasi di sekitar pasar tradisional dan jalan-jalan kecil di perkampungan untuk melayani kegiatan masyarakat, terutama segmen ibu-ibu dan lanjut usia, atau antar-jemput sekolah.
Tapi kini ruang itu ditutup total. Tukang becak, seperti halnya warga bantaran kali, distigma sebagai warga pendatang yang tak perlu selalu didengar. Seolah setiap gubernur Jakarta bukan pendatang alias asli keturunan langsung Si Pitung atau Si Jampang.
Libido menggusur tampaknya lebih besar dari pertimbangan-pertimbangan sosial yang paling rasional sekalipun.
Terkait