Leonardo DiCaprio ©instagram.com/leonardodicaprio
Pengantar:
Aktor kawakan dan pegiat perubahan iklim Leonardo DiCaprio akhir pekan lalu berkunjung ke Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh (27/3). Di sana, melalui akun Twitternya @Leonardodicaprio, peraih Piala Oscar 2016 lewat film The Revenant itu menyatakan dukungannya untuk “menyelamatkan ekosistem Leuser”, yang terancam punah karena beralih fungsi menjadi perkebunan sawit untuk memenuhi kebutuhan minyak kelapa sawit.
“(Padahal ekosistem ini adalah) tempat terakhir di planet Bumi bagi orangutan, harimau, badak, dan gajah Sumatera agar dapat bertahan hidup di alam liar,” tulis Dicaprio di akun Instagramnya.
DiCaprio juga mengunggah foto-fotonya yang sedang berpose dengan orangutan dan beberapa ekor gajah. Sejak lama aktor Hollywood ini memang dikenal sebagai aktivis lingkungan. Dia menjadi utusan PBB untuk perubahan iklim dan menyampaikan pidato pada Pertemuan Tingkat Tinggi untuk Perubahan Iklim di New York pada September 2014.
Saat pidato kemenangannya di ajang Oscar 2016, DiCaprio berbicara tentang pemanasan global, perubahan iklim, dan bagaimana manusia bertanggung jawab menyelamatkan Bumi.
Apa itu pemanasan global dan perubahan iklim? Benarkah Bumi kini di ambang malapetaka seperti dialami Titanic, kapal pesiar supermewah dalam film Titanic (1997)? Di film ini Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet menjadi bintang utamanya.
Mau tahu detailnya? Simak arsip majalah GeoTimes edisi 27, 29 September – 5 Oktober 2014.
Cegah Bumi bernasib seperti Titanic. Para pemimpin dan korporasi global tak punya banyak pilihan selain menyelamatkan dunia dari perubahan iklim.
Gelap malam mencekam. Pertolongan tak kunjung tiba. Akhirnya, Jack Dawson tak kuasa bertahan. Takdirnya hanya sampai di sini. Genggamannya terlepas dari jemari kekasihnya, Rose, yang berbaring di atas rakit. Di sekitar mereka, banyak jasad beku mengapung dan gerakan kecil orang-orang mencoba bertahan hidup. Perlahan tubuh Jack tenggelam ke dasar laut Atlantik Utara.
Jack, Rose, dan orang-orang lain yang meregang nyawa dihantam ombak dingin adalah para penumpang kapal Titanic yang tenggelam akibat tumbukan dengan gunung es. Titanic, kapal raksasa paling modern di zamannya, karam tepat pada pukul 02.20, 15 April 1912.
Pekan lalu, Leonardo DiCaprio, pemeran Jack Dawson dalam film legendaris lebih dari satu dekade lalu itu, berdiri di podium Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam rangkaian kegiatan Pertemuan Puncak Perubahan Iklim (Climate Summit). “Sebagai aktor, saya mencari nafkah dari berpura-pura menjadi orang lain. Saya memainkan karakter fiksi untuk memecahkan masalah yang sama fiktifnya,” kata Leonardo DiCaprio.
“Saya yakin manusia juga melihat perubahan iklim dengan cara pandang yang sama: seolah-olah perubahan iklim adalah fiksi, atau hanya terjadi di planet lain. Seolah-olah dengan berpura-pura bahwa perubahan iklim tidak nyata lantas akan membuatnya hilang.”
DiCaprio bicara dalam forum yang sama dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Presiden Amerika Serikat Barack Obama, dan mantan Wakil Presiden Al Gore. Sebanyak 120 pemimpin dunia, sebagian besar kepala negara, hadir dalam konferensi besar perubahan iklim itu.
Presiden Xi Jinping dan PM Narendra Modi, pemimpin Cina dan India yang kerap dituding sebagai penyumbang utama perubahan iklim global karena derap laju ekonomi mereka, tak hadir di New York. Cina, Amerika Serikat, dan India adalah penghasil emisi CO2 terbesar di dunia saat ini.
Di depan delegasi Climate Summit, DiCaprio mengingatkan tentang perubahan iklim sebagai penyebab meningkatnya kekeringan, menghangatnya lautan, dan memicu gas metana berlompatan keluar dari dasar samudra. Hal ini diperparah dengan peningkatan cuaca ekstrem hingga mencair lapisan es Greenland dan Antartika. Fakta ini jauh lebih cepat dari prediksi para ilmuwan. Bahkan, komando tertinggi militer Amerika Serikat di Pasifik menegaskan, perubahan iklim adalah ancaman tunggal terbesar terhadap keamanan dunia.
Bumi saat ini ibarat kapal Titanic yang sedang oleng. Sementara semua berfantasi masih banyak waktu dan kapal tak mungkin karam. Dunia tak bisa lagi menunggu. Itu sebabnya, ratusan ribu aktivis, politikus, musisi, dan selebritas film dunia turun ke jalan, dari New York, London, hingga Afghanistan. Lucunya, di Indonesia terkesan adem ayem saja. Ironis, karena Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia, akibat hutannya dibiarkan terbakar terus-menerus tiap tahun.
Mengapa Climate Summit penting dan menjadi perhatian besar? Secara umum, pertemuan puncak PBB ini memang tak menghasilkan keputusan substantif. Namun, pertemuan ini menjadi strategis, karena menjadi persiapan menuju perhelatan besar berikutnya tahun depan di Paris, dengan agenda negosiasi menyangkut iklim.
Konferensi Paris diharapkan menghasilkan kesepakatan pemangkasan karbon, untuk menggantikan Protokol Kyoto yang dianggap gagal. Jadi, Climate Summit pada pekan lalu adalah “pemanasan” menuju pertempuran sesungguhnya tahun depan.
Hal lain yang membuat Climate Summit patut disambut adalah karena laporan mutakhir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang menyebutkan perubahan iklim dunia telah mencapai titik puncak. Artinya, dunia tak akan mampu lagi mengendalikan pemanasan global dan dampak ikutannya, seperti bencana alam akibat cuaca ekstrem. Hanya aksi luar biasa dramatis yang melibatkan seluruh dunia yang mampu membalikkan keadaan ini.
IPCC adalah badan saintifik antarpemerintah yang dibentuk United Nations Environment Programme dan World Meteorological Organization pada 1988. IPCC memberikan pandangan saintifik mutakhir kepada dunia tentang kondisi perubahan iklim dan potensi dampaknya terhadap lingkungan dan sosio-ekonomi.
Menyatukan pandangan antara negara maju dan negara berkembang jelas tidak mudah. Faktanya, para pemimpin dunia saat ini masih sibuk berdebat dan saling menyalahkan. Cina menyatakan berkomitmen mengurangi emisi, namun menuntut negara-negara maju untuk menjadi teladan di depan. Intinya, negara-negara miskin dan berkembang menolak ikut memikul beban sejarah sebagai penghasil CO2 di masa silam.
Secara kasatmata, berbagai konflik dan masalah kesehatan akibat dampak langsung perubahan iklim kian kentara belakangan ini. Associated Press melaporkan draf awal US Centers for Disease Control and Prevention yang menyebut jumlah kasus Ebola bisa mencapai 1 juta hingga akhir Januari 2015, utamanya berpangkal di Liberia dan Sierra Leone.
Virus Ebola awalnya menyebar akibat interaksi langsung antara manusia dan hewan di wilayah-wilayah konflik dan kawasan yang mengalami deforestasi. Hutan yang kian sempit telah menjadi tempat pelarian pengungsi, yang kemudian berburu primata seperti simpanse untuk dimakan. Sementara di kawasan yang mengalami deforestasi terjadi perpindahan habitat kawanan satwa seperti kelelawar ke permukiman penduduk.
Konflik bersenjata di Timur Tengah dan Afrika juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perubahan iklim, meski para pemimpin politik Barat dan media massa global umumnya melakukan simplifikasi dengan menyebut konflik di kawasan itu lebih kental nuansa ideologinya. Laporan IPCC menyebutkan, perubahan iklim bisa meningkatkan konflik sumber daya dan perang saudara akibat kemiskinan yang semakin parah.
Konflik di Suriah, misalnya, diawali oleh kekeringan panjang selama beberapa tahun dan berakibat hancurnya sumber penghidupan para petani di perdesaan. Musnahnya ladang pertanian berdampak pada kenaikan harga bahan pangan dan menyebabkan jutaan orang jatuh miskin.
Untuk menyelamatkan hidup, warga berduyun-duyun pindah ke kota, lalu memunculkan konflik sosial dan akhirnya berubah menjadi perlawanan bersenjata terhadap rezim Bashar al-Assad. Konflik berkembang tak terkendali hingga memunculkan kelompok radikal misterius Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), dan akhirnya kini melibatkan Amerika Serikat dan sekutunya di Timur Tengah.
Nigeria adalah contoh lain dampak perubahan iklim yang memicu konflik seolah bernuansa ideologi. Kekeringan panjang menyebabkan rebutan lahan subur antara suku petani yang dominan beragama Kristen dan suku peternak Fulani yang umumnya Muslim.
Kekeringan panjang menyebabkan kedua suku eksodus dari wilayah selatan ke utara. Namun, sumber daya di utara juga kian menyusut. Jumlah penduduk bertambah, sumber-sumber air untuk pertanian dan ternak menyusut karena suhu udara semakin panas, curah hujan tak bisa diramalkan, ditambah kekeringan panjang berulang dan gagalnya pemerintah mengelola irigasi, menyebabkan kemiskinan parah. Munculnya kelompok radikal Boko Haram tak bisa dilepaskan dari krisis akibat kemiskinan dan kegagalan pemerintah Nigeria mengatasi persoalan konflik sumber daya.
Walhasil, kewarasan para pemimpin dan korporasi global diharapkan lebih diutamakan ketimbang ego dan keserakahan. Bumi tak punya cukup ruang untuk menunggu lebih lama. Tak ada pilihan lain, dunia tak boleh membiarkan Bumi bernasib seperti kapal Titanic, karam dan tak menyisakan kehidupan di dalamnya.
Di akhir pidatonya di depan para pemimpin dunia di markas besar PBB di New York, DiCaprio tak lagi berbasa-basi. “Anda bisa membuat sejarah… atau digilas olehnya,” kata Leonardo. “Jika kita tidak bertindak bersama-sama, kita semua akan musnah. Sekaranglah saatnya bagi kita untuk bertindak.”